BEBAN PEMBUKTIAN DALAM BEBERAPA PRAKTIK PERADILAN
Dr. Syaiful Bakhri.S.H.,M. H.
BAB
PERTAMA
PROLOG
Hukum
merupakan suatu perangkat norma norma, yang benar dan yang salah, yang
dibuat atau diakui eksistensinya oleh pemerintah, yang dituangkan baik
secara tertulis maupun tidak tertulis, yang mengikat dan sesuai dengan
kebutuhan masyarakatnya secara keseluruhan, serta dengan ancaman sanksi
bagi pelanggar aturan itu. Sehingga hukum bukanlah hanya undang
undang,tidak harus diciptakan oleh pemerintah, tetapi cukup diakui,
meliputi pula perkembangan dari konvensi konvensi internasional.
Pengertian
hukum beraneka ragam disampaikan oleh para ahli. Tetapi hukum dengan
segala aktivitasnya telah lama memasuki ruang kehidupan sosial, dalam
masyarakatnya dimanapun di dunia ini. Kehadiran hukum dalam ruang
sosial berlangsung terus menerus. Hukum sebagai sistem formal modern,
dirancang bangun secara sentral nasional, hadir dalam budaya lokal, yang
informal khas lokal. Rancang bangun hukum nasional, yang berporos pada
politik kodifikasi dan univikasi telah berhasil menerapkan bangunan
hukum yang bercirikan modern.
Hukum yang telah dikodifikasi dan
univikasi, dimaksudkan, untuk lebih memudahkan, penerapannya, walaupun
hukum tidak tertulis menjadi perhatian, karena juga telah mencerminkan
keadilan pada masyarakatnya.Pekikan yang paling lantang, terjadi diabad
ini, adalah seruan keadilan, dan tidak ada hujatan yang lebih sering
terlontar daripada teriakan, Ketidak- adilan. Ungkapan ungkapan moral
modern, harus dipahami sebagai rangkaian fragmen fragmen pergulatan
hidup masa lalu, memang masih bertahan, namun tidak ada perekat sosial
yang sanggup memberinya kekuatan. Sayangnya jeritan keadilan dan hujatan
ketidak-adilan muncul di dalam serpihan serpihan tersebut.
Hukum
bukanlah sesuatu yang dipilih dan dipertimbangkan, sebelum dianut oleh
negara, tetapi sistem itu, ikut berevolusi bersama dengan masyarakat
negara itu sendiri. Dalam sistem hukum yang dianut oleh suatu negara,
terutama negara negara bekas jajahan, sering terdapat beberapa hal yang
kurang sesuai dengan kebiasaan dan nilai nilai tradisional masyarakat
setempat. Setiap negara dalam prakteknya mengembangkan sistem peradilan
pidananya sendiri sendiri, yang ditentukan oleh perkembangan
kepercayaan, agama, kebiasaan, budaya dan tadisi, pengalaman sejarah
bangsa tersebut, struktur ekonomi dan organisasi politik negara
tersebut.
Hukum, selalu berkaitan erat dengan kepastian dan
keadilan, sebagai dua poros yang saling berlawanan, bahkan saling
melengkapi, dari berbagai sudut pandang. Biasanya perlawanan keduanya,
dipahami dalam pergulatan dengan kekuasaan, terlebih kekuasaan yang
absolut dibidang ketatanegaraan. Perkembangan yang paling dasyat, Pada
setiap negara hukum, maka terselenggaranya kekuasaan, yang berkaitan
erat dengan kedaulatan hukum atau prinsif hukum sebagai kekuasaan
tertinggi. Maknanya hukum sebagai pemandu, pengendali, pengontrol dan
pengatur dari segala aktivitas berbangsa dan bernegara. Prinsif
pembagian kekuasaan yang penting dari ciri negara hukum, yakni, adanya
peradilan yang bebas dan tidak memihak. Adanya peradilan Tata usaha
negara, dan peradilan tata negara. Perlindungan HAM. Demokrasi. Negara
Kesejahteraan. Transparansi dan kontrol sosial. Berarti tindakan
tindakan penguasanya harus didasarkan atas hukum, bukan atas kekuasaan
belaka. Dengan maksud untuk membatasi kekuasaan penguasa dan bertujuan
melindungi kepentingan masyarakat, yaitu perlindungan terhadap HAM,
anggouta masyarakat dari tindakan sewenang wenang.
Negara negara
yang baru lepas dari kekuasaan otoritarian, selalu dihadapkan pada
tuntutan penyelesaian masalah masalah politik, hukum dan hak asasi
manusia dalam negeri yang kompleks, warisan rezim otoritarian itu. Pada
aspek hukum didesakan agenda pembaharuan sistem hukum, atau paling tidak
penegakan hukum menuju tegaknya supremasi hukum, dan pada hak hak asasi
manusia, muncul tekanan untuk menegakan, penghormatan, pemenuhan dan
perlindungan HAM.
Hukum dan HAM, merupakan satu kesatuan yang sulit
untuk dipisahkan, keduanya seperti dua sisi mata uang. Apabila suatu
bangunan hukum dibangun tanpa memperhatikan penghormatan terhadap
prinsif prinsif dalam HAM, maka hukum tersebut dapat menjadi alat bagi
penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya (abuse of power). Sebaliknya
apabila HAM dibangun tanpa didasarkan pada suatu komitmen hukum yang
jelas, maka HAM tersebut akan rapuh dan mudah untuk disimpangi. Demikian
juga dalam sebuah negara hukum, muncul sebuah korelasi yang sangat erat
antara negara hukum dan penegakan HAM.
Tindakan yang sewenang
wenang dalam praktek peradilan, pada umumnya, adalah berkaitan dengan
penggunaan alat alat bukti, dan masalah penerapan beban pembuktian dalam
hukum acaranya. Masih terdapat pelanggaran hak asasi manusia.Ilmu
hukum, pada dasawarsa sekarang ini, telah terkonsentrasi pada peradilan.
Karenanya kecenderungan memahami lika liku peradilan, dengan segala
aktivitasnya, menarik untuk dikaji, ditelaah, guna mendapatkan kedalaman
makna yang terkandung dalam segala proses peradilan.
Hukum
semestinya harus ditegakkan, untuk mencapai kepastian dan keadilan.
Sebagai dua pasangan dalam perjuangan hukum. Adanya keharusan
keseimbangan pasangan antara kepastian dan keadilan, mendekatkan
keadilan dalam masyarakat, yang pencahariannya terjadi setiap waktu,
tempat dan diseluruh pelosok dunia. Beban pembuktian merupakan suatu
titik sentral, dilapangan hukum acara, bahkan untuk kepentingan Ilmu
pengetahuan.Pada tataran penerapan hukum yang dilakukan oleh hakim, maka
Hakim dapat dilihat sebagai manusia yang akan memahami nilai nilai
hukum yang hidup, dalam masyarakatnya. Tugas hakim secara konkrit adalah
mengadili perkara, yang pada dasarnya melakukan penafsiran terhadap
realitas, disebut juga sebagai penemuan hukum.
Dalam pandangan
kenegaraan maupun kemasyarakatan. Hakim senantiasa ditempatkan pada
posisi sentral dalam penegakkan hukum. Seolah-olah adil tidak adil, baik
buruk, lancar-tidak lancar penegakkan hukumnya, semuanya bersumber pada
hakim. Sehingga secara manusiawi kedudukan dan tanggungjawab semacam
itu sungguh berat. Dalam rangka menjamin tercapainya hakim yang sentral
dan maha penting itu, maka diperlukan berbagai kondisi dan persyaratan
yang harus ada pada atau melekat atau dilekatkan pada hakim, seperti
jaminan kebebasan hakim, kedudukan hukum an syarat syarat pengetahuan
yang perlu dimiliki oleh hakim.
Hakim adalah Ahli hukum yang
terpilih, yang mewakili dirinya serta di bawah kendali administrasi dan
segala pembinaannya oleh Mahkamah Agung. Ikatan moral sangat melekat,
pada dirinya, selain itu, berfungsi pula untuk mengisi dan memperbaiki
undang undang, yang dibuat,untuk waktu tertentu, dan diuji oleh
jamannya. Juga menengok pada ketentuan ketentuan yang tidak tertulis,
guna mendapatkan makna hukum dan keadilan, yang berdiri tegak, di atas
kepastian hukum. Karenanya polemik keadilan harus dirasakan oleh hakim,
melalui hati nurani yang adil, jujur, bersih, dan putusannya melampaui
eranya. Dapat dirasakan dan dikenang sepanjang sejarahnya. Menjadi
rujukan dalam kajian generasi hukum akan datang. Serta tidak menafikan
pembuktian yang rasional, yang diyakini kebenarannya.
Tugas hakim
adalah memberi keputusan, dalam setiap perkara atau konflik yang
dihadapkan kepadanya, menetapkan hal hal seperti hubungan hukum, nilai
hukum dari perilaku, serta kedudukan hukum pihak pihak yang terlibat
dalam suatu perkara, sehingga untuk dapat menyelesaikan perselisihan
atau konflik, secara imparsial berdasarkan hukum yang berlaku. Maka
hakim harus selalu mandiri dan bebas dari segala pengaruh pihak
manapun, terutama dalam mengambil suatu keputusan.
Pada praktek
hukum. Hakim memainkan peranannya sebagai penyeimbang dalam menegakkan
prinsif kebenaran formiil maupun materiil. Melalui suatu keyakinannya,
dengan pembuktian sebagai sandaran utamanya.Masalah yang paling menonjol
dalam praktek peradilan, adalah munculnya beberapa peradilan khusus.
Hal demikian terjadi, karena perkembangan masyarakat yang sedemikian
pesat. Sehingga seluruh persoalan yang timbul dalam masyarakat, selalu
bermuara dalam sidang pengadilan. Kesadaran ini membuktikan bahwa
kesadaran untuk beracara di muka pengadilan, bukan lagi sesuatu yang
baru, dan sebaliknya masalah pro dan kontra, perlu dan tidak perlunya
peradilan tidak lagi ada sentuhan signifikasinya di dalam tata dunia
abad 21. Jika dapat dikatakan, bahwa masyarakat dunia saat ini, telah
terjebak dalam kejenuhan, untuk saling bersengketa dihadapan pengadilan,
yang ditenggarai juga adanya judicial corruption dan miscarriage of
justice. Dalam praktek peradilan sehari hari, pada beberapa kasus
perkara pidana tertentu, tampaknya lambang dewi keadilan berubah menjadi
srigala berbulu domba, sehingga pedangnya yang seharusnya di bawah
ditempatkan di atas, dan timbangan yang seharusnya seimbang tampak berat
sebelah.
Tujuan utama peradilan, khususnya pidana, adalah
memutuskan apakah seseorang bersalah atau tidak. Peradilan pidana
dilakukan melalui prosudur yang diikat oleh aturan aturan ketat tentang
pembuktian, yang mencakup semua batas batas konstitusional, dan berakhir
pada proses pemeriksaan di pengadilan. Proses yang berkaitan dengan
syarat syarat dan tujuan peradilan yang fair (due process), meliputi
antara lain asas praduga tidak bersalah, cara kerja yang benar, dimana
seseorang yang dituduh mengalami pemeriksaan atau pengadilan yang jujur
dan terbuka. Proses itu harus sungguh sungguh, tidak pura pura atau
bukan kepalsuan tersencana, mulai dari penangkapan sampai penjatuhan
pidana, harus bebas dari paksaan atau ancaman sehalus apapun.
Pembatasan
kesewenangan para penegak hukum, menjadi tolak ukur adalah, ketaatan
mereka pada beban pembuktian, yang diterapkan secara objektif, terukur
dan rasional, serta manusiawi. Karena pembuktian bagian dari titik
sentral, dalam proses mencapai keadilan yang berada ditengah tengah
masyarakat.KUHAP. Diharapkan berlaku secara efektif mengubah mental para
aparat penegak hukum, sehingga dapat terbina, satuan tugas penegak
hukum ang berwibawa yang mampu bertindak atas landasan pendekatan yang
manusiawi, memahami rasa tanggung jawab. Menghindari sikap yang congkak
akan kekuasaan atau memanifestasikan sikap kesewenangan, dengan cara
berperilaku over acting, Tidak segan segan melakukan perbuatan tercela,
menyalahgunakan kekuasaan untuk mengejar kepentingan pribadi.
Penjernihan pada bidang tugas masing masing. Polisi selaku penyidik
tunggal, kejaksaan sebagai lembaga penuntut umum, advokat sebagai
penjaga dari kecongkakan kekuasaan, serta pengadilan memainkan peranan
dalam mebatasi kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan.
Dalam hukum
acara, perkara pidana, perdata, Tata Usaha Negara, peradilan di
Mahkamah Konstitusi, maupun hukum islam. Hakim memerlukan pembuktian.
Sebagai suatu alasan yang dipergunakannya, untuk memutuskan sengketa,
yang menjadi tugas dan beban yang sangat mulia sekaligus kontroversial,
atas tugas dan fungsinya. Karenanya putusan hakim harus berdasarkan
bukti-bukti yang sah, dan hakim, berkeyakinan menjatuhkan hukuman.
Hukum
pembuktian, dalam berperkara, merupakan bagian yang sangat kompleks
dalam proses litigasi. Keadaan kompleksitasnya makin rumit, karena
pembuktian berkaitan dengan kemampuan merekonstruksi kejadian atau
peristiwa masa lalu, sebagai suatu kebenaran. Meskipun kebenaran yang
dicari dan diwujudkan dalam proses perdata, bukan kebenaran yang
bersifat absolut, tetapi bersifat kebenaran relatif, atau bahkan cukup
bersifat kemungkinan, namun untuk mencari kebenaran yang demikianpun,
tetap menghadapi kesulitan. Kesulitan itu disebabkan beberapa faktor;
1.
Sistem adversarial,, sistem ini yang mengharuskan memberi hak yang sama
kepada para pihak, yang berperkara untuk saling mengajukan kebenaran
masing masing, serta mempunyai hak untuk saling membantah, kebenaran
yang diajukan pihak lawan sesuai dengan proses adversarial.
2. Pada
prinsifnya, kedudukan hakim dalam proses pembuktian, adalah lemah dan
pasif. Tidak aktif mencari dan menemukan kebenaran,di luar dari apa yang
diajukan dan disampaikan para pihak dalam persidangan.
3. Mencari
dan menemukan kebenaran semakin lemah dan sulit, disebabkan fakta dan
bukti, yang diajukan para pihak, tidak dianalisis dan dinilai oleh para
ahli. Terkadang bukti dan keterangan yang disampaikan saksi, penuh emosi
dan prasangka yang berlebihan. Bahkan dalam kenyataan, kebenaran yang
dikemukakan dalam alat bukti sering mengandung, dugaan dan prasangka,
kebohongan dan kepalsuan.
Hakim pidana dalam menjalankan
pembuktian memegang peranan yang bebas sepenuhnya. Sedangkan hakim
perdata yang menjalankan tugasnya dibatasi oleh alat bukti yang mengikat
atau memaksa seperti halnya akte otentik, pengakuan di muka hakim,
sumpah, sehingga hanya cukup dengan kebenaran formil (formiel
waarheid). Masalah yang pembuktian adalah beban pembuktian yang harus
adil, dan merupakan suatu persoalan yuridis yang dapat diperjuangkan,
hingga tahap kasasi ke Mahkamah Agung, guna membatalkan putusan ataupun
menguatkan putusan pengadilan di bawahnya.
Sifat hukum acara pidana
yang berbasis pada pembuktian, dengan mengacu pada aspek kepentingan
umum, maka hukum acara pidana disebut sebagai Ketentuan-ketentuan yang
bersifat memaksa, karena melindungi kepentingan bersama guna menjaga
keamanan, ketenteraman, kedamaian hidup masyarakat. Selanjutnya,
mempunyai dimensi perlindungan Hak asasi manusia, dengan perlindungan
terhadap hak-hak dasar, yakni kewajiban untuk didampingi oleh penasehat
hukum, hak untuk diadili dan terbuka untuk umum, mengajukan saksi-saksi,
dan melakukan upaya hukum, sehingga terdapat keadilan, menghindari
error in persona, dan menerapkan asas praduga tidak bersalah secara
ketat.
Dimaksudkan dengan membuktikan. Adalah tentang kebenaran
dalil dalil yang dikemukakan pada suatu persengketaan. Sehingga
pembuktian, diperlukan dalam suatu persengketaan atau perkara dimuka
pengadilan. Pembuktian diperlukan bilama terjadi perselisihan. Hakim
sebagai suatu perlengkapan dalam suatu negara hukum, yang ditugaskan
untuk memutuskan suatu perkara. Beban pembuktian merupakan suatu
ketidakpastian dan kesewenangan, bilamana hakim dalam memutuskan suatu
perkara atas keyakinannya semata mata. Maka diperlukan suatu
keseimbangan dalam pembebanan kewajiban. Sehingga pembuktian itu
dimaksudkan sebagai rangkaian tata tertib yang harus diindahkan dalam
melangsungkan pertarungan di pengadilan.
Pengadilan hingga sekarang
ini, tidak mampu mengangkat isyu keadilan seperti yang diharapkan
masyarakat. Para hakim hanya memproses sebuah perkara secara formalitas
saja. Sehingga keputusannya pun hanya formal saja. Padahal yang
diinginkan masyarakat adalah hal yang sangat substansial, bukan hanya
sekedar aturan formal. Semenjak banyak masalah yang muncul, sejak adanya
istilah mafia peradilan, putusan hakim yang kontroversial, mahalnya
biaya perkara, proses upaya hukum melalui peradilan berjalan lambat,
petugas administrasi dan hakim yang tidak berdisiplin, serta adanya ikut
campur pihak lain. Pemeriksaan perkara pidana umumnya berlangsung lama,
berbelit belit dan rumit, tidak sederhana, seperti yang disebutkan
aturan aturan formal/prosudur, normatif sesuai dengan KUHAP. Sehingga
masalah menegakkan peradilan tidak dapat dibicarakan secara parsial,
tetapi menyangkut masalah lebih luas.
Sehingga kedudukan hakim
sangat penting dalam suatu sistem hukum, termasuk dalam sistem hukum
Indonesia, fungsi hakim adalah untuk melengkapi ketentuan ketentuan
hukum tertulis melalui penemuan hukum, yang mengarah kepada penciptaan
hukum baru. Fungsi menemukan hukum itu, harus diartikan mengisi
kekosongan hukum, dan mencegah tidak ditanganinya suatu perkara dengan
alasan hukumnya tidak jelas atau tidak ada.
Tentang beban
pembuktian dalam perkara praktik peradilan pidana, perdata, tata usaha
negara, hukum islam maupun peradilan Mahkamah Konstitusi, semuanya
memerlukan pembuktian, dengan beban pembuktian yang dianut dengan ciri
cirinya masing masing.Beban pembuktian dalam hukum acara perdata,
dikenal beberapa alat alat pembuktian sebagaimana ditentukan pada pasal
1865 KUH Perdata, beban pembuktian diatur dalam pasal 1244, 1365, 1394,
1769, 1977(1), 252, 489, 533, 535, 468(1), KUH Perdata. Sedangkan
pembuktian dalam Peradilan Tata Usaha Negara meliputi; Surat atau
tulisan; keterangan ahli; keterangan saksi; pengakuan para pihak, dan
pengetahuan hakim. Sebagaimana ditentukan dalam pasal 100 hingga 107
Undang-undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Fungsi peradilan tata negara, adalah sebagai kontrol yuridis, terhadap
administrasi lembaga baik struktural maupun non struktural, sedangkan
kontrol non yuridis meliputi,proses pembuatan perundang undangan,
keputusan, baik sebelum maupun setelah dibuatnya keputusan.
Pada
Mahkamah Konstitusi ragam alat bukti diatur dalam pasal 36 (1) UU No. 24
Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Sebagai alat bukti yang syah,
dijadikan sebagai bahan pertimbangan oleh hakim konstitusi dalam
memeriksa dan memutuskan setiap perkara konstitusi yang dimihonkan
kepadanya. Aslat bukti itu meliputi; suarat atau tulisan, keterangan
saksi, keterangan ahli, keterangan para pihak, petunjuk, alat bukti lain
berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan
secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
Adapun
tempat hukum pembuktian dalam sistem hukum kita. Dalam suatu tata hukum
yang primitif, orang mempertahankan haknya dengan kekuatan sendiri.
Siapa yang dipukul akan memukul kembali. Orang yang barangnya diambil
akan mengejar si pencuri dan merebutnya kembali. Keadaan demikian
dinamakan bertindak menjadi hakim sendiri. Dalam suatu masyarakat yang
teratur, tidak akan dibiarkan orang bertindak menjadi hakim sendiri
seperti ini, kecuali dalam keadaan yang luar biasa. Sejak zaman dahulu,
masyarakat sudah memiliki sesuatu cara untuk mempertahankan hukumnya.
Penguasa mewujudkan badan-badan yang diberikan tugas untuk
mempertahankan hukum. inilah yang disebut kekuasaan kehakiman.
Hukum
kita, hampir tidak pernah membiarkan orang bertindak menjadi hakim
sendiri. Di dalam B.W, kita akan menemukan hanya beberapa bekas tentang
peradilan bentuk lama ini, misalnya dalam ayat kedua dari pasal 613 dan
ayat ketiga dari pasal 714. Juga dalam hal berat lawan (overmacht: pasal
40S) dapat dikatakan ada perbuatan bertindak menjadi hakim sendiri.
Selain dalam hal-hal di mana peraturan di dalam peraturan hukum
diizinkan bertindak menjadi hakim sendiri, maka perbuatan tersebut,
merupakan perbuatan melanggar hukum. Pada masa lalu orang tidak
membedakan antara kekuasaan membuat perundang-undangan, kekuasaan
pengadilan dan kekuasaan pemerintah, menurut fungsinya atau menurut
badannya.
Pada waktu, orang tidak membutuhkan perbedaan yang
demikian, karena badan penguasa tunggal mencakup ketiga fungsi tersebut
dalam pelaksanaannya. Kemudian datanglah tuntutan spesialisasi, yang
disebabkan karena semakin menjadi berseluk-beluknya hubungan
kemasyarakatan, sehingga diperlukan juga badan-badan kemasyarakatan yang
berseluk-beluk. Badan-badan penguasa yang khusus dibebani dengan tugas
yang khusus pula. Akan tetapi ini belum berarti bahwa pemisahan antara
tugas pembuatan undang-undang (legislatif), tugas pengadilan
(yudikatif), dan tugas pelaksanaan (eksekutif) langsung menjadi jelas.
Baru setelah berkembang pikiran analistis ada perbedaan yang tegas.
Dalam proses pertumbuhan yang berabad-abad lamanya, terjadilah
bagian-bagian yang terpisah dari badan yang semula tidak terbentuk itu,
dan keluar dengan ciri-cirinya sendiri.Dengan adanya perbedaan-perbedaan
ini, maka taraf yang terakhir dari proses tersebut, berubah dari tahun
ke tahun.
Ajaran Trias Politika dari Montesquieu, didahului oleh
perbedaan-perbedaan yang lain. Perbedaan dalam kekuasaan-kekuasaan
pembuatan undang-undang, pengadilan, dan eksekutif yang sampai sekarang
lebih dari dua abad, ajarannya masih memadai, dan sudah menjadi milik
umum. Tetapi belum merupakan titik terakhir. Pada suatu waktu, bersamaan
dengan pertumbuhan terus-menerus dalam hubungan-hubungan masyarakat,
menjelma pula pembagian yang lain, yang akan menggantikan ajaran
Montesquieu. Permulaan perubahan itu sudah dapat dilihat dari sekarang.
Hukum Pembuktian, tercantum dalam Buku keempat dari B.W, yang mengandung
segala aturan-aturan pokok pembuktian dalam perdata. Jadi haruslah
selalu diingat, bahwa pembuktian ini hanya berhubungan dengan perkara
saja. Masuknya di dalam B.W. sebetulnya tidak pada tempatnya. Penempatan
ini, tentunya akan mendatangkan persangkaan, bahwa pembuktian yang
disebut dalam Buku keempat ini dapat juga dipakai untuk hal-hal di luar
suatu perkara. Sebenarnya bukanlah demikian, pembuktian dalam arti
sebagaimana telah diatur oleh pembuat undang-undang, hanya dapat dipakai
di dalam suatu perkara. Hal ini ternyata dari aturannya sendiri, dan
pertumbuhannya dalam sejarah. Istilah hukum materil dan istilah hukum
formil, keduanya dalam dua macam arti.
1. Di satu pihak orang
memakai istilah itu dalam arti, bahwa hukum materil adalah hukum dalam
suasana damai dan hukum formil adalah hukum dalam suasana pertentangan.
Dalam arti yang demikian, hukum pembuktian termasuk dalam hukum formil,
karena ia adalah satu bagian dari hukum acara, dan hukum acara
mengandung aturan tentang hukum dalam suasana pertentangan,
2. Di
lain pihak orang mengatakan, bahwa aturan hukum materil adalah suatu
aturan mengenai isi; aturan hukum formil adalah suatu aturan mengenai
bentuk luar.
Dengan demikian, maka pembuktian dengan menentukan
bebannya, menjadi suatu perhatian yang utama, dalam praktik berbagai
peradilan. Penerapan beban pembuktian, yang ditentukan dalam perundang
undangan secara ketat, dimaksudkan, agar terhindar dari kesewenang
wenangan, dari perilaku penguasa, maupun hakim dalam penerapannya.
Karena itu, dalam pencarian keadilan dan kepastian hukum, dalam
falsafahnya, berkeinginan untuk mengedapankan keadilan, diatas kepastian
hukum, sehingga tercapai tujuan yang lebih jauh dari setiap sistem
peradilan, yakni, mendekatkan keadilan yang sesungguhnya, yang tercermin
dalam putusan putusan peradilan.
Karena itu rezim hakim dalam
menutuskan suatu perkara, yang dipikulnya, adalah tercapainya tujuan
terjauh dari hukum, yakni keadilan. Karena capaian keadilan, terus
diperjuangkan oleh masyarakat, hingga tingkat yang tertinggi, yakni
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Keadilan adalah sesduatu yang abstrak,
tetapi dapat dirasakan dan bahkan diperjuangkan secara konkrit.
BAB
KEDUA
BEBAN PEMBUKTIAN DALAM
PRAKTIK PERADILAN PIDANA.
A. Urgensi Beban Pembuktian
Pembuktian,
dalam hukum acara pidana, merupakan bagian yang sangat esensial, guna
menentukan nasib seseorang terdakwa. Bersalah atau tidaknya seorang
terdakwa, sebagaimana yang didakwakan dalam surat dakwaan, ditentukan
pada proses pembuktiannya. Pembuktian merupakan suatu upaya untuk
membuktikan kebenaran dari isi surat dakwaan, yang disampaikan oleh
jaksa penuntut umum, yang kegunaannya adalah untuk memperoleh kebenaran
sejati (materiil) terhadap pertanyaan. Perbuatan perbuatan manakah yang
dianggap terbukti menurut pemeriksaan persidangan. Apakah telah
terbukti, bahwa terdakwa telah bersalah. Tindak pidana apakah yang
dilakukan. Hukuman apakah yang dijatuhkan.
Hukum pidana, mempunyai
tempat dan peran yang penting dalam ruang lingkup hukum publik, karena
hukum pidana turut memanifestasikan unsur filosofis ketatanegaraan sejak
awal negara dibentuk, selain unsur yuridis dan sosiologisnya. Bangsa
Indonesia sejak menyatakan kemerdekaannya, telah memilih untuk
menggunakan undang-undang pidana yang pernah diberlakukan pada masa
kolonial, sebagaimana dikukuhkan dalam undang-undang No. 1 Tahun 1946,
Memperlakukan
Wetboek van Starafrecht (W.v.S.), menjadi kitab undang-undang hukum
pidana, sebagai induk dari segala hukum pidana sampai hari ini termasuk
criminal justice systemnya, meskipun telah diperbaharui melalui KUHAP
tahun 1981 .
Pemberlakuan KUHAP, sebagai hukum acara yang bersifat
sangat nasional, telah menaroh harapan akan perjuangan dan penerapan hak
asasi manusia. Mengurangi budaya dan pengaruh kolonial, dengan
penerapan beban pembuktian, yang berkecenderungan dengan penggunaan
pemaksaan secara berlebihan, dan mengingkari hak asasi manusia. Dalam
hukum pembuktian, tidak dapat dipisahkan secara tajam antara kepentingan
umum dan kepentingan perseorangan, maka inisiatif untuk melindungi
kepentingan umum, melalui suatu alat negara yang khusus, yakni kejaksaan
dibebani tugas untuk melakukan beban pembuktian, guna melakukan
tuntutan pidana, sehingga hakim dalam perkara pidana diwajibkan untuk
mencari kebenaran materiil, berbeda dengan peradilan perdata, dimana
hakim tidak mencampuri pelanggaran hak-hak perdata, selama para pihak
tidak melakukan gugatan di depan pengadilan.
Hakekat pembuktian
dalam hukum acara pidana teramat urgen, bilamana dijabarkan, dengan
suatu pembuktian, yang merupakan suatu proses, untuk menentukan dan
menyatakan tentang kesalahan seseorang. Konklusi pembuktian ini,
dilakukan melalui proses peradilan, sehingga akan menentukan apakah
seseorang dapat dijatuhkan pidana, atau dapat dibebaskan dari dakwaan,
karena tidak terbukti, melakukan tindak pidana, ataukah dilepaskan dari
tuntutan hukum, karena apa yang didakwakan terbukti, tetapi perbuatan
itu bukan merupakan suatu tindak pidana.
Dalam perkara pidana, maka
Kepolisian dan kejaksaan, terlibat, untuk melihat sifat dan kekuatan
alat alat pembuktian dan mengatur tentang beban pembuktian. Sehingga
kedua alat negara ini, diberikan hak hak dan kewajiban sekaligus
prosudur yang ditempuh oleh Polisi, Jaksa dan Hakim, serta Lembaga
Pemasyarakatan.
Penyidik dan penuntut umum, mewakili kepentingan
publik, terhadap suatu peristiwa pidana. Sekaligus sebagai alat
perlengkapan negara, mempunyai kewenangan yang besar, luas untuk
melakukan serangkaian kegiatannya, walaupun dibatasi secara ketat, oleh
ketentuan normatif perundang undangan, tetapi sifat dan karakter
kekuasaan, hingga sekarang masih lekat, karena kekuasaan sangat sulit
untuk dijaga, sehingga selalu terbuka lebar, keleluasaan pikiran, idea
yang liar dari pintu belakang kewenangan, kekuasaan, hanya untuk
kepentingan kelompok, tertentu, bahkan kepentingan pribadi, yang jauh
dari rasa keadilan.
Praktek itu, masih disaksikan terus menerus
hingga sekarang. Karenanya pengawasan publik, adalah model yang paling
efektif, dibandingkan dengan pengawasan intenal. Penggunaan, pembuktian
dengan alat alat bukti, sebagai persyaratan untuk dinilai kebenaran
materiilnya oleh hakim, semestinya selalu terjaga dari koridor
kemanusiaan, yang terukur oleh instrumen hak asasi manusia secara
universal. Sehingga nuansa berhukum para pemangku kepentingan dalam
mengungkapkan kejahatan, tetap dalam ukuran norma norma hukum, tidak
pada pendekatan kekuasaan.Hukum adalah suatu sistem, yaitu sistem
norma-norma.Hukum pidana merupakan bagian dari sistem hukum atau sistem
norma-norma. Sebagai sebuah sistem, hukum pidana memiliki sifat umum
dari suatu sistem yaitu menyeluruh, memiliki beberapa elemen, semua
elemen saling terkait, dan kemudian membentuk struktur, substansi dan
budaya hukum. Ketiga elemen tersebut saling mempunyai korelasi erat,
sistem hukum tersebut diumpamakan sebuah mesin bahwa budaya hukum
sebagai bahan bakar yang menentukan hidup dan matinya mesin tersebut.
Konsekuensi aspek ini, budaya hukum begitu urgen sifatnya. Oleh karena
itu, tanpa budaya hukum, sistem hukum menjadi tidak berdaya, seperti
seekor ikan mati yang terkapar di dalam keranjang, bukan seperti seekor
ikan hidup yang berenang di lautan. Suatu sistem hukum terdiri atas
tiga unsur yang memiliki kemandirian tertentu, yakni memiliki identitas
dengan batas-batas yang relatif jelas, yang saling berkaitan, dan
masing-masing dapat dijabarkan. Unsur-unsur yang mewujudkan sistem hukum
tersebut pada hakikatnya, berupa;
1. Unsur idiil, terbentuk oleh
sistem makna dari hukum, yang terdiri atas aturan-aturan, kaidah-kaidah
dan asas-asas. Unsur inilah yang oleh para yuris disebut “sistem hukum”.
Bagi para sosiolog hukum, masih ada unsur lainnya.
2. Unsur
operasional, terdiri dari keseluruhan organisasi-organisasi dan
lembaga-lembaga, yang didirikan dalam suatu sistem hukum. Yang termasuk
ke dalamnya adalah juga para pengemban jabatan (ambstsdrager), yang
berfungsi dalam kerangka suatu organisasi atau lembaga.
3. Unsur
aktual, adalah keseluruhan putusan-putusan dan perbuatan-perbuatan
konkret yang berkaitan dengan sistem makna dari hukum, baik dari
pengemban jabatan maupun dari para warga masyarakat, yang di dalamnya
terdapat sistem hukum itu.
Sistem hukum pidana abad XX masih
baru diciptakan. Sistem demikian hanya dapat disusun dan disempurnakan
oleh usaha bersama semua orang yang beritikad baik dan juga oleh semua
ahli di bidang ilmu-ilmu sosial. Sistem Hukum Pidana asasnya memiliki
empat elemen substantif yaitu nilai yang mendasari sistem hukum
(philosophic), adanya asas-asas hukum (legal principles), adanya norma
atau peraturan perundang-undangan (legal rules) dan masyarakat hukum
sebagai pendukung sistem hukum tersebut (legal sociaty). Keempat elemen
dasar itu tersusun dalam suatu rangkaian satu kesatuan yang membentuk
piramida, bagian atas adalah nilai, asas-asas hukum, peraturan
perundang-undangan yang berada di bagian tengah, dan bagian bawah adalah
mayarakat. Korelasi asas hukum dengan hukum, menentukan isi hukum dan
peraturan hukum positif hanya mempunyai arti hukum jika dikaitkan
dengan asas hukum. Asas hukum merupakan “jantungnya” peraturan hukum.
Asas hukum sebagai pikiran-pikiran dasar, yang terdapat di dalam dan di
belakang sistem hukum, masing-masing dirumuskan dalam aturan
perundang-undangan dan putusan-putusan hakim, yang berkenaan dengannya,
ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang
sebagai penjabarannya.
Asas hukum mewujudkan sejenis sistem
sendiri, yang sebagian termasuk dalam sistem hukum, tetapi sebagian
lainnya tetap berada di luarnya, sehingga asas-asas hukum itu berada
baik di dalam sistem hukum maupun di belakangnya. Asas-asas hukum dari
berbagai sistem hukum merupakan disiplin tengah yang mula-mula membentuk
ajaran hukum umum (algemene rechtsleer).Setiap aparat hukum membentuk
hukum, asas ini selalu dan terus-menerus mendesak masuk ke dalam
kesadaran hukum dari pembentuk. Sejauh mempunyai sifat-sifat
konstitutif, tidak dapat dilanggar oleh pembentuk hukum, atau tidak
dapat dikesampingkannya. Jika hal itu dilakukannya, terjadilah yang
disebut non hukum atau yang kelihatannya saja sebagai hukum. Walaupun
sistem hukum pidana masih harus diciptakan. Pengertian sistem hukum
pidana dalam tiap masyarakat yang terorganisir memiliki sistem hukum
pidana yang terdiri dari: Peraturan-peraturan hukum pidana dansanksinya;
a. Suatu prosedur hukum pidana, dan;
b. Suatu mekanisme pelaksanaan (pidana).
Aspek
hukum pembuktian asasnya sudah dimulai sejak tahap penyelidikan perkara
pidana, ketika penyelidik untuk mencari dan menemukan peristiwa yang
duduga sebagai tindak pidana guna dapat atau tidaknya, dilakukan
penyidikan, pada tahap ini sudah terjadi pembuktian, dengan tindakan
penyidik untuk mencari barang bukti, maksudnya guna membuat terang suatu
tindak pidana serta menentukan atau menemukan tersangkanya. Sehingga
konkritnya pembuktian berawal dari penyelidikan dan berakhir pada
penjatuhan pidana (vonnis) oleh hakim di depan persidangan, baik pada
tingkat pengadilan negeri, pengadilan tinggi maupun upaya hukum ke
Mahkamah Agung. Proses pembuktian hakekatnya memang lebih dominan pada
sidang pengadilan, guna menemukan kebenaran materiil (materiel waarheid)
akan peristiwa yang terjadi dan memberi keyakinan kepada hakim tentang
kejadian tersebut sehingga hakim dapat memberikan putusan yang
seadilnya.
Pembuktian adalah ketetuan-ketentuan yang berisi
penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang,
membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian
merupakan suatu ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan
oleh undang-undang, dipergunakan oleh hakim dalam membuktikan kesalahan
yang didakwakan dalam persidangan, dan tidak dibenarkan membuktikan
kesalahan terdakwa dengan tanpa alasan yuridis dan berdasar keadilan.
Penerapan
pembuktian dalam praktek peradlan pidana, haruslah berpedoman pada hal
hal, yang secara limitatif ditentukan secara yuridis. Bilamana
menyimpang, maka ada mekanisme kontrol, yang juga secara ketat
ditentukan oleh Perundang undangan.Secara umum dapat diketahui, bahwa
pembuktian yang berarti bukti, yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran
suatu peristiwa, sehingga pembuktian, bermakna suatu perbuatan untuk
membuktikan sesuatu kebenaran, melaksanakan, menandakan, menyaksikan
serta meyakinkan.
Dengan demikian maka dapat dimengeti, bahwa
pembuktian dilihat dari perspektif hukum acara pidana yakni; Ketentuan
yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan
kebenaran, baik oleh hakim, penuntut umum, terdakwa dan penasehat hukum,
kesemuanya terikat pada ketentuan dan tata cara, penilaian alat bukti
yang ditentukan oleh undang-undang. Tidak dibenarkan untuk melakukan
tindakan yang leluasa sendiri dalam menilai alat bukti, dan tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang. Terdakwa tidak diperkenankan untuk
mempertahankan sesuatu yang dianggap benar di luar ketentuan yang
ditentukan oleh undang-undang. Hakim dalam putusannya harus sadar,
cermat dalam menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang
ditemukan selama pemeriksaan persidangan. Hakim dalam meletakkan
kebenaran yang ditemukan dalam pemeriksaan sidang di pengadilan, maka
kebenaran itu harus diuji dengan alat bukti yang ditemukan dalam undang
undang sebagaimana Pasal 184 KUHAP,
Setidaknya secara limitatif.
Cara mempergunakan dan menilai kekuatan pembuktian yang melekat pada
setiap alat bukti, dilakukan dalam batas-batas yang dibenarkan
undang-undang, agar dalam mewujudkan kebenaran yang hendak dijatuhkan,
Hakim terhindar dari pengorbanan kebenaran yang yang harus dibenarkan.
Hakim harus senantiasa berpedoman pada pembuktian, dan menghindari dari
pikiran subjektif.KUHAP telah menggariskan pedoman dalam proses
peradilan pidana, yakni; Penuntut umum bertindak sebagai aparat yang
diberi wewenang untuk mengajukan segala daya upaya untuk membuktikan
kesalahan terdakwa. Sebaliknya terdakwa dan penasehat hukum mempunyai
hak untuk melumpuhkan pembuktian yang diajukan penuntut umum, sesuai
dengan cara-cara yang ditentukan oleh undang-undang, sanggahan,
bantahan, eksepsi harus beralasan sesuai hukum dengan saksi yang
meringankan (adecharge) ataupun alibi sesuai dengan fakta
yuridis.Pembuktian, berarti penegasan bahwa ketentuan tindak pidana lain
yang harus dijatuhkan kepada terdakwa. surat dakwaan penuntut umum
bersifat alternatif, dan dari hasil kenyataan pembuktian yang diperoleh
dalam persidangan pengadilan, maka kesalahan yang terbukti adalah
dakwaan pengganti. Berarti apa yang didakwakan pada dakwaan primair
tidak sesuai dengan kenyataan pembuktian. Maknanya adalah bahwa arti dan
fungsi pembuktian merupakan penegasan tentang tindak pidana yang
dilakukan terdakwa, serta sekaligus membebaskan dirinya dari dakwaan
yang tidak terbukti dan menghukumnya berdasarkan dakwaan tindak pidana
yang tidak dapat dibuktikan.
KUHAP menentukan ketentuan tentang
pengakuan tidak melenyapkan kewajiban pembuktian sebagaimana ditentukan
menurut pasal 189 ayat (4).
Tentang hal hal yang secara umum telah diketahui tidak perlu dibuktikan, sebagaimana ditentukan dalam pasal 184 ayat (1),(2).
Pembuktian
dalam beberapa hal dapat menyangkut atau menjadi tolak ukur dalam
menyelenggarakan pekerjaan pembuktian yakni; sebagai dasar atau prinsif
prinsif pembuktian yang tersimpul dalam pertimbangan keputusan
pengadilan (bewijsgronden). Alat-alat pembuktian yang dapat dipergunakan
hakim untuk memperoleh gambaran tentang terjadinya perbuatan pidana
yang sudah lampau. (bewijsmiddelen). Penguraian cara bagaimana
menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di sidang pengadilan.
(bewijsvoering). Kekuatan pembuktian dari masing-masing alat-alat bukti
dalam rangkaian penilaian terbuktinya suatu dakwaan. (bewijskracht).
Beban pembuktian yang diwajibkan oleh undang-undang untuk membuktikan
tentang dakwaan di muka sidang pengadilan. (bewijslaast) Suatu masalah
yang sangat penting dalam hukum pembuktian adalah masalah pembagian
beban pembuktian, dan semestinya harus dijalankan dengan adil dan tidak
berat sebelah, karena bilamana berat sebelah, maka berarti a priori
menjerumuskan pihak yang menerima beban pembuktian ini dianggap sebagai
suatu persoalan yuridis, yang dapat diperjuangkan sampai tingkat kasasi,
yaitu Mahkamah Agung. Melakukan pembagian beban pembuktian yang tidak
adil dianggap suatu pelanggaran hukum atau undang-undang yang merupakan,
alasan bagi Mahkamah Agung untuk membatalkan putusan hakim atau
pengadilan yang bersangkutan.
Tentang beban pembuktian, maka
penuntut umum harus mempersiapkan alat-alat bukti dan barang bukti
secara akurat, yang bertujuan untuk meyakinkan hakim dalam memutuskan
kesalahan terdakwa. Konsekwensi prinsif ini, berhubungan erat dengan
asas praduga tidak bersalah dan aktualisasi tidak mempersalahkan diri
sendiri, teori ini dikenal dalam pasal 66 .Hak hak tersangka/terdakwa
yang bersumber pada asas praduga tidak bersalah, yaitu setiap orang yang
disangka, ditangkap, ditahan dan dituntut dan atau dihadapkan di muka
sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah, sampai adanya putusan
pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.
Kaitan dengan pembuktian, yang paling erat adalah asas
legalitas, sebagaimana ditentukan menurut Pasal 1(1) KUHP. Sehingga
proses pembuktian hakekatnya, memang lebih dominan pada sidang
pengadilan, guna menemukan kebenaran materiil (materieele waarheid) akan
peristiwa yang terjadi, dan memberi keyakinan keyakinan kepada hakim
tentang kejadian tersebut. Pada proses pembuktian, terhadap korelasi dan
interaksi mengenai apa yang akan diterapkan hakim dalam menemukan
kebenaran materiil, melalui tahap pembuktian, alat alat bukti dan proses
pembuktian terhadap aspek aspek sebagai berikut;
1. Perbuatan perbuatan manakah yang dapat dianggap terbukti.
2. Apakah telah terbukti, bahwa terdakwa bersalah atas perbuatan perbuatan yang didakwakan kepadanya.
3. Delik apakah yang dilakkan sehubungan dengan perbuatan perbuatan itu.
4. Pidana apakah yang harus dijatuhkan kepada terdakwa.
Selanjutnya beban pembuktian juga ada pada terdakwa, dengan berperan
secara aktif sebagai pelaku tindak pidana, dengan menyiapkan segala
sesuatu yang berhubungan dengan beban pembuktian, Hal ini disebut
sebagai teori pembalikan beban pembuktian, dalam teori dan praktek beban
pembuktian ini dapat diklasifikasikan menjadi beban pembuktian yang
bersifat murni maupun yang bersifat terbatas,dan pada hakekatnya beban
pembuktian ini merupakan suatu penyimpangan hukum pembuktian, dan
merupakan suatu tindakan luar biasa terhadap tindak pidana korupsi.
Beban pembuktian lainnya adalah pembuktian berimbang, bahwa penuntut
umum maupun terdakwa dan/atau penasehat hukum saling membuktikan di
depan persidangan. Lazimnya penuntut umum akan membuktikan kesalahan
kesalahan terdakwa sedangkan sebaliknya terdakwa beserta penasehat
hukumnya akan membuktikan sebaliknya, bahwa terdakwa tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang
didakwakan. Pembuktian berimbang ini dikenal dalam praktek peradilan di
Indonesia dan juga di Amerika Serikat. Secara historis, asas beban
pembuktian terbalik, dikenal pada negara-negara Anglo Saxon atau
negara-negara yang menganut case law atau kasus tertentu khususnya
terhadap tindak pidana gratification atau pemberian uang, suap.
Dimensi
asas beban pembuktian hendaknya dilakukan secara hati-hati dan
selektif karena sangat rawan terhadap pelanggaran HAM dan dilakukan
dalam rangka proceeding ( dalam kedudukan sebagai terdakwa), hanya
karena tidak dapat membuktikan asal usul kekayaannya. Dengan demikian
sekalipun dalam hal ini berlaku asas praduga bersalah (presumption
guilt) dalam hal presumption of corruption, tetapi beban pembuktian
terbalik tersebut harus dalam kerangka proceeding kasus atau tindak
pidana tertentu yang sedang diadili berdasarkan undang-undang
pemeberantasan tindak pidana korupsi yang berlaku (presumption of
corruption in certain cases) tanpa adanya pembatasan, maka akan
menimbulkan miscarriage of justice yang bersifat krimonagen.
Pembuktian
yang lain adalah beban pembuktian keseimbangan kemungkinan, yang
diperlakukan terhadap pelaku tindak pidana korupsi, dengan mengedepankan
keseimbangan secara proporsional antara perlindungan kemerdekaan
individu disatu sisi, dan perampasan hak individu disatu sisi, dengan
keharusan membuktikan asal usul pembuktian kekayaan pelaku disisi
lainnya, sehingga tidak berdasarkan asas pembuktian negatif. Hal ini
dipraktekkan di pengadilan tinggi Hongkong. Dalam hukum acara perdata,
maka dapat diketahui masalah pokok dalam pembuktian, yakni pembuktian
yang dilakukan hakim dalam mengadili perkara adalah untuk menentukan
hubungan hukum yang sebenarnya terhadap pihak-pihak yang berperkara,
tidak hanya kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa saja yang dapat
dibuktikan, akan tetapi adanya suatu hak juga dapat dibuktikan. Sehingga
dalam ilmu hukum pembuktian itu ada, apabila terjadi bentrokan
kepentingan yang diselesaikan melalui pengadilan, karena adanya suatu
perkara.
Beban pembuktian, mengalami perkembangannya, dalam rangka
meneguhkan sistem peradilan pidana yang lebih modern, dan humanistis,
dengan tetap memperhatikan perlindungan hak hak asasi manusia.
Pencapaian beban pembuktian, masih dijalankan dengan prinsif prinsif,
pemaksaan terhadap kesewenangan, sehingga cara cara pemberlakuan beban
pembuktian, masih menjadi perhatian, dan terus mengalami perbaikan
sepanjang masanya, dengan berbagai rezim kekuasaan.Pengaruh rezim
politik, sangat dominan, dalam upayanya untuk mengukuhkan kekuasaannya,
sehingga dalam praktik peradilan pidana, sangat terasa, para pemangku
kepentingan yang berkuasa, dari tahap penyidikan hingga pelaksanaan
putusan pidana, diselimuti oleh intervensi intervensi kekuasaan.
Karenanya urgensi beban pembuktian dalam sistem peradilan pidana, masih
terus dikaji dan ditingkatkan, model model penerapannya hingga mencapai
keadilan yang sebenarnya. Tetapi yang menjadi perhatian adalah rezim
hakim di pengadilan, yang menggunakan keyakinan atas suatu bukti bukti,
guna dipakai sebagai alat keyakinan hakim dalam memutuskan suatu
sengketa apapun, termasuk pencarian kebenaran materiil dalam hukum
pidana.
Hal mana konplik kepentingan dapat diakhiri dengan kekuasaan
kehakiman yang mandiri, profesional dan dapat dipertanggungjawabkan.
Hakim dalam menerapkan makna beban pembuktian, selalu berlindung atas
keyakinan dan kebebasannya dalam memutuskan suatu perkara pidana.
Karenanyalah pada diri hakim, diletakkan pengakhiran dari pergumulan
kemanusiaan, dalam proses mengadili, antar sesama manusia, dengan segala
keterbatasannya. Sehingga diharapkan cara cara pembuktian dengan
berbagai doktrin pembuktian, dapat diterapkan dengan prinsif prinsif
yang adil, memuaskan dan bertanggungjawab.
B. Pembuktian dan Asas Legalitas
Secara
universal beberapa asas penting dalam hukum pidana yang berkaitan erat
dengan ketentuan pembuktian adalah asas legalitas.
Pada dasarnya,
asas legalitas diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP yang
berbunyi: “Tiada suatu peristiwa dapat dipidana selain dari kekuatan
ketentuan undang-undang pidana yang mendahuluinya.” (Geen feit is
strafbaar dan uit kracht van een darn voorafgegane wetteljke
strafbepaling). Dalam perspektif tradisi civil law, ada empat aspek asas
legalitas yang diterapkan secara ketat, yaitu terhadap peraturan
perundang-undangan, retroaktifitas, lex certa dan analogi. Asas
legalitas mengandung tiga pengertian, yaitu: Pertama. Tidak ada
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih
dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.Kedua. Untuk
menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh menggunakan analogi
(kiyas). Ketiga. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
Pemahaman
asas legalitas dalam hukum acara pidana, seringkali memiliki polemik,
bahkan ada pemahaman, bahwa asas legalitas dan asas retro aktif, tidak
dikenal dalam hukum acara pidana, sehingga pemahaman asas tersebut,
hanya ada dalam hukum acara pidana materiil, tentunya hal ini didasarkan
sikap konkordansi Indonesia terhadap Ned. Strafrecht, yang menyatakan
bahwa.Tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana selain
berdasarkan kekuatan ketentuan perundang undangan pidana yang wettelijke
strafbepalinging. Maknanya, bahwa segala peraturan yang berada di bawah
undang undang dalam artian formal, dapat memuat rumusan dalam hukum
acara pidana. Yang menyatakan bahwa undang undang diartikan secara
definitif dari wet, memuat mengenai aturan acara pidana, artinya
persoalan prosudural Undang Undang. Semua ini menegaskan, bahwa larangan
retroaktif dalam hukum acara pidana, jauh lebih ketat dan limitatif
dibandingkan dengan larangan yang sama dalam hukum pidana materiil.
Pada
dasarnya, perkembangan asas legalitas eksistensinya diakuinya dalam
KUHP Indonesia baik asas legalitas formal (Pasal 1 ayat (1) KUHP) maupun
asas legalitas materiil (Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP Tahun 2008).
Akan
tetapi, Utrecht keberatan dengan dianutnya asas legalitas di Indonesia,
alasannya ialah banyak sekali perbuatan yang sepatutnya dipidana
(strafwaardig) tidak dipidana karena adanya asas tersebut serta asas
legalitas menghalangi berlakunya hukum pidana adat yang masih hidup dan
akan hidup. Lebih terinci, Utrecht mengatakan bahwa: “Tehadap asas
nullum delictum itu dapat dikemukakan beberapa keberatan. Pertama-tama
dapat dikemukakan bahwa asas nullum delictum itu kurang melindungi
kepentingan-kepentingan kolektif (collective belangen).Akibat asas
nullum delictum itu hanyalah dapat dihukum mereka yang melakukan suatu
perbuatan yang oleh hukum (peraturan yang telah ada) disebut secara
tegas sebagai suatu pelanggaran ketertiban umum. Jadi, ada kemungkinan
seorang yang melakukan suatu perbuatan yang pada hakikatnya merupakan
kejahatan, tetapi tidak disebut oleh hukum sebagai suatu pelanggaran
ketertiban umum. Asas nullum delictum itu menjadi suatu halangan bagi
hakim pidana menghukum seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang
biarpun tidak “strafbaar” masih juga “strafwaardig”. Ada lagi satu
alasan untuk menghapuskan Pasal 1 ayat 1 KUHPidana, yaitu suatu alasan
yang dikemukakan oleh hakim pidana di daerah bahwa Pasal 1 ayat 1
KUHPidana menghindarkan dijalankannya hukum pidana adat.”
Walaupun
demikian, pada umunya asas legalitas, diterima dalam KUHP Indonesia
meskipun merupakan dilema, karena memang dilihat dari segi hukum adat
yang masih hidup, sehingga tidak mungkin dikodifikasikan seluruhnya
karena perbedaan antara adat pelbagai suku bangsa, akan tetapi dari
sudut lain, yaitu kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak asasi
manusia dari perlakuan yang tidak wajar dan tidak adil dari penguasa dan
hakim sehingga negara berkembang yang pengalaman dan pengetahuan para
hakim masih sering dipandang kurang sempurna sehingga sangat berbahaya
jika asas itu ditinggalkan.” Hukum pidana dalam perundang undangan
Malaysia, yakni semua kesalahan ditentukan dalam undang undang, sehingga
bermakna semua kesalahan akan diperuntukkan dengan jelas dalam hukum
tertulis sebagai suatu pidana, sehingga sekiranya tidak ditentukan maka
bukanlah suatu pidana. Tidak semua kesalahan dalam moral, adat, budaya
dalam masyarakat merupakan pidana, selagi perbuatan itu bukanlah
kesalahan dalam hukum pidana.
Perumusan ketentuan Pasal 1 ayat (1)
KUHP mengandung di dalamnya asas “legalitas formal”, asas “lex certa”,
dan asas “Lex Temporis Delicti” atau asas “nonretroaktif”. Muladi
menyebutkan bahwa dalam makna asas legalitas tersebut hakikatnya
terdapat paling tidak ada 4 (empat) larangan (Prohibitions) yang dapat
dikembangkan asas tersebut, yaitu:
1. nullum crimen, nulla poena sine lege scripta” (larangan untuk memidana atas dasar hukum tidak tertulis-unwritten law);
2. “nullum crimen, nulla poena sine lege stricta” (larangan untuk melakukan analogy);
3. “nulla poena sine lege praevia” (larangan terhadap pemberlakuan hukum pidana secara surut);
4. “nullum crimen poena sine lege certa” (larangan terhadap perumusan hukum pidana yang tidak jelas-unclear terms).
Ketentuan asas legalitas ini dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP
Tahun 2005 perumusannya identik dengan Pasal 1 ayat (1) KUHP. Ketentuan
Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP Tahun 2005 menyebutkan asas legalitas dengan
redaksional sebagai berikut: “Tiada seorangpun dapat dipidana atau
dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan
sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku
saat perbuatan itu dilakukan”. Kemudian ketentuan asas legalitas ini
lebih lanjut menurut penjelasan Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP Tahun 2008
disebutkan, bahwa: “Ayat ini mengandung asas legalitas.Asas ini
menentukan bahwa suatu perbuatan hanya merupakan tindak pidana apabila
ditentukan demikian oleh atau didasarkan pada undang-undang.
Dipergunakan asas tersebut, karena asas legalitas merupakan asas pokok
dalam hukum pidana. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan pidana
atau yang mengandung ancaman pidana harus sudah ada sebelum tindak
pidana dilakukan. hal ini berarti bahwa ketentuan pidana tidak berlaku
surut demi mencegah kesewenang-wenangan penegak hukum dalam menuntut dan
mengadili seseorang yang dituduh melakukan suatu tindak pidana”.
Asas
legalitas konteks KUHP Indonesia mengacu kepada ide dasar adanya
kepastian hukum (rechtzekerheids). Akan tetapi, dalam implementasinya
ketentuan asas legalitas tersebut tidak bersifat mutlak. Pengecualian
asas legalitas terdapat dalam hukum transistor (peralihan) yang mengatur
tentang lingkungan kuasa berlakunya undang-undang menurut waktu (sphere
of time, tijdgebied) yang terdapat pada Pasal 1 (2) KUHP yang berbunyi:
“bilamana perundang-undangan diubah setelah waktu terwujudnya perbuatan
pidana, terhadap tersangka digunakan ketentuan yang paling
menguntungkan baginya. Hal demikian diartikan dalam terminologi
melemahnya/bergesernya asas legalitas antara lain karena sebagai
berikut:
1. Bentuk pelunakan/penghalusan pertama terdapat di dalam KUHP sendiri, yaitu dengan adanya Pasal 1 ayat (2) KUHP;
2. Dalam praktik yurisprudensi dan perkembangan teori, dikenal adanya ajaran sifat melawan hukum yang materiil;
3.
Dalam hukum positif dan perkembangannya di Indonesia (dalam
Undang-Undang Dasar Sementara 1950; Undang-Undang No. 1 Drt 1951;
Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 jo Undang-Undang No. 35 Tahun 1999; dan
konsep KUHP Baru), asas legalitas tidak semata-mata diartikan sebagai
“nullum delictum sine lege”, tetapi juga sebagai “nullum delictum sine
ius” atau tidak semata-mata dilihat sebagai asas legalitas formal,
tetapi juga legalitas materiil, yaitu dengan mengakui hukum pidana adat,
hukum yang hidup atau hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum;
4.
Dalam dukumen internasional pada KUHP negara lain juga terlihat
perkembangan/pengakuan kearah asas legalitas materiil (lihat Pasal 15
ayat (2) International Convention in Civil and Political Right (ICCPR)
dan KUHP Kanada );
5. Di beberapa KUHP negara lain (antara lain KUHP
Belanda, Yunani, Portugal) ada ketentuan mengenai “pemaafan/pengampunan
hakim” (dikenal denga berbagai istilah, antara lain “rechterlijk
pardon”, Judicial pardon”, “Dispensa de pena” atau “Nonimposing of
penalty” ) yang merupakan bentuk “Judicial corrective to the legality
principle”.
6. Ada perubahan fundamental di KUHP Perancis pada tahun
1975 (dengan Udang-Undang No. 75-624 tanggal 11 Juli 1975) yang
menambahkan ketentuan mengenai “pernyataan bersalah tanpa menjatuhkan
pidana” (”the declaration of guilt without imposing a penalty”);
7.
Perkembangan/perubahan yang sangat cepat dan sulit diantisipasi dari
“cyber-cryme” merupakan tantangan cukup besar bagi berlakunya asas “lex
certa”, karena dunia maya (cyber-cryme) bukan dunia
riel/realita/nyata/pasti.
Khusus terhadap pengecualian asas
legalitas ditentukan asas “lex temporis delicti” sebagaimana ketentuan
Pasal 1 ayat (2) KUHP. Konklusi dasar asas ini menerapkan apabila
terjadi perubahan perundang-undangan, diterapkan ketentuan yang
menguntungkan terdakwa. Ketentuan Pasal 1 ayat (2) memberikan jawaban
dalam artian bahwa bila undang-undang yang berlaku setelah tindak pidana
ternyata lebih menguntungkan, pemberlakuannya secara surut
diperkenankan. Pandangan demikian diakui dan diterima di Belgia dan
Jerman.
Aspek hukum pembuktian asasnya sudah dimulai sejak tahap
penyelidikan perkara pidana. Pada tahap penyelidikan ketika tindakan
penyelidik untuk mencari dan menemukan sesuatu peristiwa yang diduga
sebagai tindak pidana guna dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan, di
sini sudah ada tahapan pembuktian. Begitu pula halnya dengan penyidikan,
ditentukan adanya tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan
bukti dan dengan bukti tersebut membuat terang tindak pidana yang
terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Oleh karena itu, ketentuan
Pasal 1 angka 2 dan angka 5 KUHAP menegaskan bahwa untuk dapat dilakukan
tindakan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan
bermula dilakukan penyelidikan dan penyidikan sehingga sejak tahap awal
diperlukan adanya pembuktian dan alat-alat bukti. Konkretnya, pembuktian
berawal dari penyelidikan dan berakhir sampai adanya penjatuhan pidana
oleh hakim di depan sidang pengadilan baik ditingkat Pengadilan Negeri
atau pengadilan Tinggi, melalui upaya hukum banding. Dalam hukum
pembuktian beberapa prinsip yang terkandung dalam KUHAP. Yakni;
1.
Asas legalitas. Bermakna negara Indonesia adalah negara yang menjunjung
tinggi hak asasi manusia serta menjamin segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menujunjung
tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
2.
Asas Keseimbangan, bermakna bahwa dalam penegakkan hukum harus
berlandaskan prinsif keseimbangan yang serasi antara perlindungan
terhadap harkat dan martabat manusia, dan perlindungan terhadap
kepentingan dan ketertiban masyarakat.
3. Asas praduga tidak
bersalah, bermakna, bahwa setiap orang yang sudah disangka, ditangkap,
ditahan, dituntut dan atau dihadapkan disidang pengadilan, wajib
dianggap tidak bersalah sampai adanya keputusan pengadilan yang
menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
4.
Prinsif pembatasan penahanan, bermakna, bahwa perampasan kebebasan dan
kemerdekaan orang yang ditahan, menyangkut nilai-nilai perikemanusiaan
dan harkat dan martabat kemanusiaan, juga menyangkut nama baik dan
pencemaran atas kehormatan diri pribadi, dan KUHAP telah menetapkan
secara limitatif dan terperinci wewenang penahanan yang boleh dilakukan
oleh jajaran penegak hukum dalam setiap tingkat pemeriksaan.
5. Asas
Ganti Rugi dan Rehabilitasi, bermakna bahwa tuntutan ganti rugi
disebabkan oleh penangkapan, penahanan secara melawan hukum,yang tidak
dilakukan berdasarkan undang-undang dan bertujuan untuk kepentingan yang
tidak dapat dipertanggungjawabkan. Ganti rugi akibat
penggeledahan/penyitaan.
6. Asas Penggabungan Pidana Dengan Tuntutan
Ganti Rugi, bermakna untuk memberikan prosudur hukum bagi korban tindak
pidana, bercorak perdata, dengan terbatas pada kerugian yang dialaminya
secara material.
7. Asas unifikasi. Bermakna peningkatan,
penyempurnaan hukum nasional dalam keutuhan persatuan yang mengabdi pada
kepentingan wawasan nusantara.
8. Prinsif diferensiasi fungsional. Bermakna penjernihan dan modifikasi fungsi dan wewenang instansi penegak hukum.
9.
prinsif saling kordinasi. Bermakna adanya koordinasi atas wewenang
antar penegak hukum, kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga
Pemasyarakatan dan Advokat sesuai peraturan perundang-undangan.
10.
Asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Bermakna hak tersangka
harus segera mendapatkan pemeriksaan, penyerahan pada penuntut umum,
dan segera diadili.
11. Prinsif peradilan terbuka untuk umum.
Bermakna bakwa tindakan penegakan hukum didasari oleh jiwa persamaan
dan keterbukaan, dengan asas demokrasi dan transparansi.
12.
Ketertiban dan kepastian hukum. Bermakna bakwa tindakan penegakan hukum
didasari oleh jiwa persamaan dan keterbukaan, dengan asas demokrasi dan
transparan.
Dengan demikian maka dapat diketahui, bahwa hukum
harus dilaksanakan berdasarkan moral, dan menghindari kesewenangan
bebas yang tidak berlandaskan peraturan perundang-undangan, dengan
tujuan, agar kebebasan yang terdapat dalam setiap rangkaian pembuktian,
harus melepaskan diri dari kekuasaan semata-mata, dan terbebas dari
intervensi, rekayasa dari pihak manapun, tidak terkecuali dari kekuasaan
eksekutif, legislatif bahkan yudikatif.Dalam menjalankan proses
pembuktian, maka kewenangan dari pelbagai tahap dalam proses peradilan
pidana, dalam pergeseran perkembangan modernisasi diawasi pula oleh
masyarakat, melalui media elektronik yang semakin canggih, sehingga
upaya rekayasa apapun akan terungkap dan mendapat perhatian secara luas,
bahkan menimbulkan perlawanan publik dengan celaan atas dasar
transparansi dan akuntabilitas, demi hukum dan keadilan prosudural
maupun substantif. Pengawasan ini selain dilakukan oleh masyarakat
melalui media massa, juga dilakukan melalui lembaga lembaga yang
dibentuk, khusus bertugas untuk itu, sehingga setiapa tahapan, proses
penyidikan, penuntutan, pemidanaan, bahkan hingga pelaksanaan pidana,
selalu mendapatkan pengawasan yang sistemik. Guna menjaga keadilan dari
sisi sisi gelap rekayasa hukum, yang hingga kini belum juga mendapatkan
hasil yang memuaskan, adil dan berkemanusiaan.
C. Beban Pembuktian Dalam Tindak
Pidana Korupsi
Dalam
perjuangan prinsip negara hukum, maka tercermin dari sejumlah proses
peradilan pidana yang wajar, transparan dan tidak berbasiskan kekuasaan,
oleh karena itu Pembuktian, merupakan masalah yang penting dalam
proses peradilan pidana di Indonesia, dengan melalui pembuktian, yang
bermakna sebagai titik sentral pemeriksaan di sidang pengadilan, guna
menentukan posisi terdakwa, apakah telah memenuhi unsur-unsur yang
ditentukan dalam hukum acara pidana. Pada tahap inilah nasib terdakwa,
atau tersangka akan dinilai oleh hakim, dengan kecermatan untuk
mempertimbangkan fakta-fakta dan seluruh alat bukti sebagaimana yang
ditentukan pada pasal 184
Perspektif sistem peradilan pidana,
pembuktian sangat memegang peranan penting untuk menyatakan kesalahan
terdakwa, apabila dilihat dari visi letaknya dalam kerangka yuridis
aspek pembuktian terbilang unik karena dapat diklasifikasikan dalam
kelompok hukum acara pidana, dikaji secara mendalam karena dipengaruhi
oleh adanya pendekatan dari hukum perdata. Aspek pembuktian telah
dimulai pada tahap penyelidikan, hingga penjatuhan vonis oleh hakim, dan
secara dominan terjadi pada sidang dipengadilan, dalam rangka hakim
menemukan kebenaran materiil, selain itu aspek pembuktian juga
bermanfaat pada kehidupan sehari-hari maupun kepentingan lembaga
penelitian.
Pembuktian dalam pengertian hukum acara pidana adalah,
ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan
mempertahankan kebenaran, baik oleh hakim, penuntut umum, terdakwa
maupun penasehat hukum, dari semua tingkatan itu, maka ketentuan dan
tata cara serta penilaian alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang,
dengan tidak diperkenankannya untuk leluasa bertindak dengan cara
sendiri dalam menilai pembuktian, termasuk terdakwa tidak leluasa untuk
mempertahankan sesuatu yang dianggapnya benar di luar dari
undang-undang.. Karenanya hakim harus cermat, sadar dalam menilai dan
mempertimbangkan kekuatan pembuktian, yang ditemukan selama dalam
pemeriksaan persidangan, dan mendasarkan pada alat bukti yang secara
limitatif dtentukan menurut pasal 184 KUHAP.
Hukum pembuktian adalah
seperangkat kaedah hukum yang mengatur tentang pembuktian, yakni segala
proses, dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah, dilakukan tindakan
dengan prosedur khusus, guna mengetahui fakta dipersidangan.
Undang-undang
tidak memberikan pengertian resmi mengenai hukum acara pidana. “Hukum
Acara Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu
negara, yang memberikan dasar-dasar dan aturan-aturan yang menentukan
dengan cara apa dan prosedur macam apa, ancaman pidana yang ada pada
suatu perbuatan pidana dapat dilaksanakan, apabila ada sangkaan bahwa
orang telah melakukan delik tersebut.” Hukum acara pidana dalam, dapat
dipahami: Pertama: Pengertian sempit, yaitu peraturan hukum tentang
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan sidang sampai putusan
pengadilan, dan eksekusi putusan hakim. Kedua: Pengertian yang luas,
diartikan bahwa di samping memuat peraturan hukum tentang peneyelidikan,
penyidikan, penuntutan, pemeriksaan siding sampai putusan pengadilan,
eksekusi putusan hakim, juga termasuk peraturan hukum tentang susunan
peradilan, wewenang pengadilan, serta peraturan-peraturan kehakiman
lainnya sekedar peraturan itu ada kaitannya dengan urusan
perkara
pidana. Ketiga: Pengertian yang makin diperluas, yaitu mengatur tentang
alternatif jenis pidana, ukuran memperingan atau memperberat pidana,
dan cara menyelenggarakan pidana sejak awal sampai selesai menjalani
pidana sebagai pedoman pelaksanaan pidana.
Pengertian hukum acara
pidana dapat pula dibedakan dalam pengertian formiil dan materiil. Hukum
acara pidana dalam pengertian formil menunjukkan bahwa hukum acara
pidana merupakan serangkaian aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan
prosedur penyelesaian perkara pidana. Dengan demikian, hukum acara
pidana dalam artian formil membatasi ruang lingkup pada proses
penyelesaian perkara pidana yang dimulai dengan tindakan penyidikan,
penyelidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan sampai pada
pelaksanaan putusan. Sementara itu, hukum acara pidana dalam artian
materiil menunjukkan bahwa hukum acara pidana merupakan serangkaian
aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan prosedur penyelesaian perkara
pidana. Dengan demikian, hukum acara pidana dalam artian formil
membatasi ruang lingkup pada tataran proses penyelesaian perkara pidana
yang dimulai dengan tindakan penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
pemeriksaan di sidang pengadilan, sampai pada pelaksanaan putusan. Andi
Hamzah mengemukakan, hukum pidana formal mengatur tentang bagaimana
negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan
menjatuhkan pidana.
Hukum acara pidana dalam artian materiil,
menunjukkan bahwa hukum acara pidana merupakan serangkaian aturan hukum
yang berkaitan dengan pembuktian. Fokus perhatiannya pada ketentuan
pembuktian, melalui serangkaian sistem pembuktian, pengertiannya serta
beberapa teori yang mendasarinya, tentang alat-alat bukti dan
kekuatannya, dalam hal keterangan saksi, syarat syahnya keterangan
saksi, cara menilai kebenaran saksi, nilai pembuktian keterangan saksi.
Keterangan ahli, tata cara pemberian keterangan ahli, keterangan ahli
sebagai alat bukti, sifat dualisme alat bukti keterangan ahli, nilai
kekuatan pembuktian keterangan ahli. Alat bukti surat, beberapa
pengertian surat sebagai alat bukti, nilai kekuatan pembuktian. surat,.
Bukti petunjuk, dan pengertiannya, cara memperoleh alat bukti petunjuk,
kapan diperlukannya, serta nilai pembuktiannya. Keterangan terdakwa,
pengertian dan asas penilaian keterangan terdakwa, dasar atau asas-asas
pembuktian, ketentuan tentang beban pembuktian, tentang kekuatan dan
alat-alat bukti, dan sebagainya. Sehingga tujuan hukum acara pidana,
untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran
materiil, yakni kebenaran yang selengkap lengkapnya dari suatu perkara
pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan
tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat dijadikan
terdakwa dalam suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta
pemeriksaan dan putusan pengadilan guna menemukan terbukti atau tidaknya
dakwaan yang dapat dipersalahkan.
Dalam sistem peradilan pidana
Indonesia, menganut asas bahwa kasus pidana adalah sengketa antara
individu dengan masyarakat (publik) dan sengketa itu akan diselesaikan
oleh pemerintah sebagai wakil dari publik, dengan menganut dan mengikuti
civil law atau disebut juga dengan sistem enacted law yang dibangun
dengan satu doktrin, bahwa pemerintah akan selalu berbuat baik, hukum
direnungkan oleh ahli politik, ahli hukum merencanakannya dalam bentuk
tertulis.
Sedangkan dalam sistem common law sengketa itu
diselesaikan oleh pihak ketiga yang disebut jury kecuali yang
bersangkutan memilih lain. Pilihan selalu ada pada pihak terdakwa
sebagai konsekwensi dari asas due process of law. Hukum bukan dibuat
oleh ahli politik atau ahli hukum akan tetapi oleh orang awam yang jujur
yang disebut jury. Oleh karenya hukum dibuat dari kasus-kasus yang
diproses melalui pengadilan, disebut common law atau judge made law.
Sistem
peradilan pidana yang pertama kali istilah itu diperkenalkan di Amerika
Serikat oleh pakar hukum pidana dalam criminal justice science,
menyebutkan criminal justice system merupakan sistem dalam masyarakat
untuk menanggulangi masalah kejahatan (substantive law) sedangkan
criminal justice process, diartikan sebagai pengamanan penerapan dari
hukum substantive. Dengan demikian sistem peradilan pidana Indonesia
dapat dilihat dari Institusi Kepolisian, Kejaksaan, Peradilan, Advokat,
dan Lembaga Pemasyarakatan.
Terhadap pelaksanaan fungsi
penyelidikan dan penyidikan, maka ketentuan perundang-undangan
memberikan hak istemewa atau ”hak privilese” kepada polisi untuk
memanggil, memeriksa, menangkap, menahan, menggeledah, menyita terhadap
tersangka, atas dugaan bukti yang kuat telah melakukan tindak pidana,
terhadap pelaksanaan hak istemewa itu, harus taat dan tunduk pada
prinsif the right of due process. Setiap tersangka berhak diselidiki dan
dilakukan penyidikan di atas landasan sesuai dengan hukum acara, dan
ide penghormatan terhadap due process of law bersumber pada cita-cita
”negara hukum” yang menjunjung tinggi supremasi hukum, yang menegaskan
pemerintahan diatur oleh hukum, dan bukan pada perseorangan (government
of law and not a man). Dengan demikian maka, konsep esensi due process
of law dalam pelaksanaannya, para penegak hukum harus memedomani dan
mengakui, serta menjamin berbagai hak yang ditentukan oleh KUHAP, yakni
prinsif; “the right of self incrimination”, without due process of law”,
unresonible searches and seizures”, the right of conform”,the right to a
speedy tria”l, equal protection and equal treatment of the law”, the
right to have assistance of cuonsil.”
Dalam perkara pidana maupun
perkara perdata, hakim memerlukan pembuktian, khususnya hukum acara
pidana sebagai hukum publik, dipakai system negative menurut
undang-undang, sistem ini terkandung dalam pasal 294 (1) RIB (Reglemen
Indonesia yang diperbaharui).
Sistem negatif menurut undang-undang,
mempunyai maksud, yakni untuk mempersalahkan terdakwa, diperlukan suatu
minimum pembuktian yang ditetapkan dalam undang-undang, dan walaupun
pembuktian itu melebihi minimum yang ditentukan oleh undang-undang, jika
hakim tidak berkeyakinan mempersalahkan terdakwa, maka tidak dibenarkan
menjatuhkan hukuman, oleh karenanya putusan hakim harus berdasarkan
bukti-bukti yang sah, dan hakim berkeyakinan menjatuhkan hukuman. Hakim
pidana dalam menjalankan pembuktian memegang peranan yang bebas
sepenuhnya, tidak demikian halnya dengan hakim perdata yang menjalankan
tugasnya dibatasi oleh alat bukti yang mengikat atau memaksa seperti
halnya akte otentik, pengakuan di muka hakim, sumpah, sehingga dalam
perkara pidana hakim mencari kebenaran hakiki (materiele waarheid)
sedangkan pada hukum acara perdata hanya cukup dengan kebenaran formil
(formiel waarheid).
Sistem Hukum Pidana secara umum, berlaku dan
melandasi Sistem Hukum Pidana Indonesia Asas Pembalikan beban pembuktian
dalam tindak pidana korupsi menurut Sistem Hukum Pidana Indonesia
mencakup pengertian sistem pemidanaaan dan pembaharuan hukum pidana.
Pada
sistem pemidanaan, asas pembalikan beban pembuktian berorientasi kepada
subsistem Hukum Pidana Formal dan subsistem Hukum Pidana Materiil. Pada
sub sistem Hukum Pidana Formal, praktik asas pembalikan beban
pembuktian di Indonesia tidak pernah diterapkan. Akan tetapi, pada
praktik peradilan perkara tindak pidana korupsi di Hongkong dan India
diterapkan terhadap pembuktian asal usul harta kekayaan pelaku yang
diduga berhubungan dengan tindak pidana korupsi.Kemudian pada sub sistem
Hukum Pidana Materill khususnya terhadap peraturan hukum positif tindak
pidana korupsi ditemukan adanya ketidakjelasan dan ketidaksinkronan
perumusan norma asas pembalikan beban pembuktian pada ketentuan Pasal
12B. ”Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah,
padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan
sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan
kewajibannya”.
Pasal 37, Pasal 37A37, (1) terdakwa mempunyai hak
untuk membuktikan, bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, (2)
dalam hal terdakwa dapat membuktikan, bahwa ia tidak melakukan tindak
pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan
sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti; Pasal 37 a,
(terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya
dan harta benda istri dan suami, anak dan harta benda setiap orang atau
korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan;
(2) dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang
tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya,
maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dugunakan untuk
memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan
tindak pidana korupsi;(3) ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dan ayat (2) merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2, 3, 4, 13, 14, 15 dan 16 UU No. 31 Tahun 1999
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan pasal 5 sampai dengan
Pasal 12, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan
dakwaannya. dan Pasal 38b UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun
2001.(1) setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana
korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13,
Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Membuktikan sebaliknya
terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga
berasal dari tindak pidana korupsi; (2) Dalam hal terdakwa tidak dapat
membuktikan bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, harta benda tersebut
dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang
memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk
negara; (3) Tuntutan perampasan harta benda sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) diajukan oleh penuntut umum pada saat membacakan tuntutannya
pada perkara pokok; (4) Pembuktian bahwa harta benda sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) bukan berasal dari tindak pidana korupsi
diajukan oleh terdakwa pada saat membacakan pembelaannya dalam perkara
pokok dan dapat diulangi pada memori banding dan memori kasasi; (5)
Hakim wajib membuka persidangan yang khusus untuk memeriksa pembuktian
yang diajukan terdakwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4); (6) Apabila
terdakwa dibebaskan atau dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum
dari perkara pokok, maka tuntutan perampasan harta benda sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus ditolak oleh hakim;
Tentang
perampasan aset dalam peraturan perundang undangan pidana di Indonesia,
sebelum ratifikasi konvensi PBB anti korupsi 2003, berdasarkan UU No. 7
Tahun 2006, telah berlaku beberapa peraturan perundang undangan pidana
yang berhubungan dengan perampasan aset hasil tindak pidana. Walaupun
ruang lingkup pengembalian aset, belum diatur secara rinci dan memadai,
termasuk pembuktian terbalik dalam perampasan aset tindak pidana.
Instrumen hukum nasional itu, yakni sebagai berikut;
1. UU No. 73
Tahun 1958 Tentang pemberlakuan KUHP, dan perubahannya dengan UU No. 27
Tahun 1999 Tentang perubahan KUHAP, yang berkaitan dengan kejahatan
terhadap keamanan negara.
2. UU No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP.
3. UU No. 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan, yang telah diubah dengan UU No. 17 Tahun 2006.
4. UU No. 31 Tahun 1999, diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
5. UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Nakotika.
6. UU No. 5 Tahun 1997 Tentang Psikotrapika.
7. UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
8. UU No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.
Dalam
Perkara tindak pidana korupsi, berlaku hukum acara pidana (KUHAP).,
selain itu diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan
terdakwa, khusus perkara TIPIKOR, dapat diperoleh;
1. Alat bukti lain
yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan
secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, tetapi
tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronik data
interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks dan faksimili;
dan
2. Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat
dilihat, dibaca, dan / atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau
tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda
fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik yang
berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda,
angka atau perforasi yang memiliki makna.
Asas pembalikan
beban pembuktian diterapkan dalam lingkup perdata (civil procedure)
khususnya dalam pengembalian harta pelaku tindak pidana korupsi, dan di
sini ditemukan ketidakharmonisan peraturan pembalikan beban pembuktian
di Indonesia. Oleh karena itu, setelah berlakunya KAK 2003 diharapkan
adanya kejelasan dan keharmonisan peraturan pembalikan beban pembuktian
sehingga ditemukan adanya sinkronisasi antara das sollen dan das sein
dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Harmonisasi dan
sinkronisasi diperlukan dalam rangka untuk menindak pelaku tindak pidana
korupsi dengan melalui pembalikan beban pembuktian sehingga diharapkan
adanya aspek ideal antara kebijakan legislasi dan kebijakan aplikasi.
Oleh karena itu, memang relatif diperlukan adanya pembaharuan hukum
pidana khususnya terhadap peraturan tindak pidana korupsi dalam Sistem
Hukum Pidana Indonesia agar menjadi harmonis dan sinkron.
Permasalahan
krusial Sistem Hukum Pidana Indonesia dalam arti perspektif sistem
pemidanaan dan pembaharuan hukum pidana. Hakekat pembuktian dalam hukum
pidana, adalah teramat urgen, karena pembuktian merupakan suatu proses
untuk menentukan dan menyatakan tentang kesalahan seseorang dapat
dijatuhkan pidana, karena dari hasil persidangan terbukti secara sah dan
meyakinkan melakukan tindak pidana, kemudian dapat dibebaskan dari
dakwaan, karena tidak terbukti melakukan tindak pidana ataukah
dilepaskan dari segala tuntutan hukum, karena apa yang didakwakan
terbukti, tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana.
Secara sederhana dapat dikatakan terdapat anasir erat antara asas-asas
hukum pidana dengan dimensi pembuktian yang merupakan rumpun hukum acara
pidana (formeel strafreht /strafproceesrecht).
Pemulihan
aset korupsi dalam konvensi PBB anti korupsi 2003, didahului oleh tiga
resolusi sidang majelis umum PBB yakni sebagai berikut;
1. Resolusi
sidang umum PBB. No 5 / 188, tanggal 20 desember 2000, Preventing and
combating corrupt practices and illegal transfer of punds and
repatriation of such funds to countries of origion.
2. Resolusi
sidang majelis umum PBB. No 56/260, tanggal 31 januari 2002, yang
meminta komite adhoc negoisiasi draft konvensi PBB anti korupsi untuk
memasukkan suatu pendekatan multi disiplin termasuk pencegahan dan
penindakan terhadap transfer aset beraal dari korupsi.
3. Resolusi
Badan Ecosoc Tahun 2001/13 tanggal 24 juli 2001. Strenghtening
internasional cooperation in preventing and combating the transfer of
funds of illicit origin, including loundering of funds.
Ketiga resolusi itu ditindaklanjuti dengan loka karya tehnis, dengan
topik. Transfer abroad of funds or asset of illicit origin. Return of
funds or asset of illicit origin. Prevention of the transfer of funds or
assets of illicit origin. Adapun sejarah perkembangan asset recovery,
dapat ditelusuri dari beberapa instrumen internasional mengenai korupsi
dan pencucuian uang sebagai berikut;
1. United nations convention againts transnational organized crime tahun 2000.
2. The convention of loundering, search, seizure and confiscation of the proceeds from crime.
3. Criminal law convention on corruption of the council of europe.
4. Civil law convention on corruption of the council of europe.
5. The inter-american convention againts corruption of the organization of American state.
6.
The convention on combating bribery of foreign public officials in
international business transaction of the organization economic
coorperation and depelopment.
Sejak diterapkannya regulasi
tersebut, Maka regulasi mengenai perampasan aset tindak pidana, telah
mengalami perkembangan baru, dari sisi teori pembuktian maupun dari sisi
praktek, peradilan di beberapa negara, terhadap perkara tindak pidana
serius, seperti tindak pidana narkotika, pencucian uang dan dibidang
perpajakan. Tentang pembuktian dalam perkara pidana, dapat diikuti Pasal
66 KUHAP.
Ikhwal pembuktian terbalik diatur dalam ketentuan pasal
37 (1) UU No. 31 Tahun 1991 jo. UU No. 20 Tahun 2001, yang menyatakan,
terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan, bahwa dia tidak melakukan
tindak pidana korupsi. Karenanya, dalam hal terdakwa dapat membuktikan
bahwa ia, tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian
tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan,
bahwa dakwaan tidak terbukti (pasal 37(2) UU No. 31 Tahun 1991 jo. UU
No. 20 Tahun 2001). Pembuktian terbalik bersifat Premium remedium, dan
sekaligus mengandung sifat prefensi khusus terhadap pegawai negeri, yang
diperlakkan pada tindak pidana baru, tentang gratifikasi dan pada
tuntutan perampasan harta benda terdakwa, yang diduga berasal dari salah
satu tindak pidana (predicate crime).
Dalam perkembangannya,
terhadap hal hal tertentu, beban pembuktian dapat diperlakukan kepada
tersangka/terdakwa, yang dikenal sebagai pembuktian terbalik (omkering
van de bewijslast). Pembuktian terbalik merupakan sistem pembuktian,
dengan pola baru, yang diterapkan dinegara negara Anglo Saxon, dan
berhasil dipraktekkan di Hongkong, Inggris, Malaysia serta Singafore.
Beban pembuktian bertumpu pada terdakwa, sehingga terdakwalah yang
membuktikan, bahwa dirinya tidak bersalah, sehingga konsekwensinya
adalah beban pembuktian ada pada terdakwa, dengan suatu pengingkaran,
penyimpangan, pengecualian terhadap Presumtion of innocence dan Non
self incrimination.
Kebijakan legislasi tenang pembalikan beban
pembuktian, mulai terdapat dalam UU No. 24 Tahun 1960 Tentang
Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.
Sebagaimana ketentuan pasal 5(1) UU No. 24 Tahun 1960.’Setiap tersangka
wajib memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda
istrinya/ suaminya dan anak dari harta benda sesuatu badan hukum yang
diurusnya apabila diminta oleh jaksa.’ Selanjutnya dalam UU No. 3 Tahun
1971 Tentang Tindak Pidana Korupsi. Pasal 17 menentukan;
1. Hakim
dapat memperkenankan terdakwa untuk kepentingan pemeriksaan memberikan
keterangan tentang pembuktian, bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak
pidana korupsi.
2. Keterangan tentang pembuktian yang dikemukakann
oleh terdakwa, bahwa ia tidak bersalah seperti dimaksud dalam ayat 1
hanya diperkenankan dalam hal. Aapabila terdakwa menerangkan dalam
pemeriksaan, bahwa perbuatannya itu menurut keinsyafannya yang wajar
tidak merugikan keuangan atau perekonomian negara, atau apabila terdakwa
menerangkan dalam pemeriksaan, bahwa perbuatannya itu dilakukan demi
kepentingan umum.
3. Dalam hal terdakwa dapat memberikan keterangan
tentang pembuktian yang dimaksud dalam ayat 1, maka keterangan tersebut
dipergunakan sebagai hal yang setidak tidaknya menguntungkan baginya.
Dalam hal kemudian penuntut umum tetap mempunyai kewenangan untuk
memberikan pembuktian yang berlawanan.
4. Apabila terdakwa tidak
dapat memberikan keterangan tentang pembuktian seperti dimaksud dalam
ayat 1, maka keterangan tersebut, dipandang sebagai hal yang setidak
tidaknya merugikan baginya. Dalam hal demikian penuntut umum tetap
diwajibkan memberi pembuktian, bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak
pidana korupsi.
Politik hukum kebijakan legislasi mengenai
pembalikan beban pembuktian diatur dalam ketentuan pasal 38B ( 1 ) uu
no. 20 Tahun 2001, yakni;
”Setiap orang yang didakwa melakukan salah
satu tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, 3,4,13,
14, 16 UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dan pasal 5 sampai dengan pasal 12 UU ini, wajib membuktikan sebaliknya,
terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga
beasal dari tindak pidana korupsi.”
Pada hakekatnya ketentuan pasal
ini, merupakan pembalikan beban pembuktian, yang dikhususkan pada
perampasan harta benda, yang diduga keras berasal dari tindak pidana
korupsi.
Pembuktian dalam perkara korupsi, terus menuai
permasalahan, karena para penegak hukum, masih bekerja, dengan kerangka
tebang pilih, dengan menafsirkan pembuktian secara subjektif. Padahal
kunci pokok yang paling utama dalam penegakkan tindak pidana korupsi,
adalah, suatu komitmen dari penegak hukum, untuk bekerja secara
profesional, memberikan penelusuran alat alat bukti, dengan cerdas.
Sehingga pengungkapan alat alat bukti, sangat mudah untuk ditelusuri,
karena peraturan perundang undangan yang terkait, sudah cukup memadai,
karenanya komitmen penegakkan hukum oleh aparatur, harus dalam semangat
moral yang tinggi dan harus jauh dari dimensi dan pernik pernik politis.
Penegakkan
hukum, dengan fokus pada penggunaan beban pembuktian, masih menjadi
alat rekayasa, dengan pertautan pada kepentingan dan tekanan
politis.Tekanan politis, adalah suatu benturan dari suaru konspigurasi
kekuatan politik, dengan pengaruh pengaruh dan tekanan kekuatan politik,
untuk mencapai tujuannya. Kebebasan aparatur penegak hukum dari
intervensi kekuasaan apapun dalam artian yang luas, masih menyisahkan,
persoalan yang belum terpecahkan. Padahal peraturan perundang undangan
telah cukup ketat dan sangat limitatif, menentukan jalan dan proses
pembuktian, guna pencapaian tujuannya, untuk membantu sistem peradilan
pidana, guna menentukan pelaku kejahatan, yang selalu juga berkembang
seirama dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan
tekhnologi.Hukum Pembuktian sangat relevan, untuk dikaji dan didalami,
sehingga tidak hanya pengetahuan tehnis yang meningkat, tetapi makna
filosofis, pemanfaatan beban pembuktian dalam praktik peradilan,
dipahami, dengan memeperhatikan segi segi kemanusiaan, dan perlindungan
terhadap hak hak asasi manusia. Dalam beban pembuktian, semua pihak di
pengadilan memerlukan pembuktian sebagai suatu argumentasi logis dan
rasional, untuk membuktikan bersalah atau tidaknya seorang tersangka,
oleh hakim.
D. Beban Pembuktian Menurut KUHAP
Tujuan
sistem pembuktian adalah untuk mengetahui, bagaimana cara meletakkan
hasil pembuktian terhadap perkara pidana yang sedang dalam pemeriksaan,
dimana kekuatan pembuktian yang dapat dianggap cukup memadai membuktikan
kesalahan terdakwa melalui alat-alat bukti, dan keyakinan hakim.Ilmu
pengetahuan hukum, mengenal empat sistem pembuktian, yakni;
1. Conviction-In Time.
Adalah sistem pembuktian yang menentukan kesalahan terdakwa semata-mata
ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim, dengan menarik keyakinannya
atas kesimpulan dari alat bukti yang diperiksanya dalam sidang
pengadilan. Alat bukti dapat saja diabaikan olehnya, dan menarik
kesimpulan dari keterangan terdakwa. Kelemahan sistim ini adalah, hakim
dalam putusannya mendasarkan pada keyakinan belaka tanpa didukung oleh
alat bukti yang cukup, dan sekaligus bebas menentukan putusan bebas
kepada terdakwa dari tindak pidana, walaupun kesalahan terdakwa telah
terbukti. Dengan bertumpu pada keyakinan semata-mata tanpa didukung alat
bukti yang syah, telah cukup membuktikan atau tidak membuktikan
kesalahan terdakwa, sehingga dengan menyerahkan sepenuhnya kepada hakim
atas nasib terdakwa, maka keyakinan hakim yang menentukan ujud kebenaran
sejati dalam sistim pembuktian. Andi Hamzah, menyebutkan bawa teori ini
berhadap-hadapan dengan teori pembuktian menurut undang-undang secara
positif, disadari bahwa alat bukti berupa pengakuan terdakwa sendiripun
tidak selalu membuktikan kebenaran. Pengakuanpun kadang-kadang tidak
menjamin terdakwa benar-benar telah melakukan perbuatan yang didakwakan.
Oleh karena itu, diperlukan bagaimanapun juga keyakinan hakim sendiri.
Bertolak
pangkal demikian itulah, maka teori ini didasarkan pada keyakinan hati
nuaraninya sendiri ditetapkan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan
yang didakwakan. Dengan sistem ini, pemidanaan dimungkinkan tanpa
didasarkan pada alat-alat bukti dalam undang-undang. Hal ini dianut pada
pengadilan juri di Perancis. Serta pengadilan adat dan swapraja memakai
sistem ini, selaras dengan kenyatanya bahwa pengadilan tersebut
dipimpin oleh hakim-hakim yang bukan ahli yang berpendidikan hukum,
sistem itu memberikan kebebasan kepada hakim terlalu besar, sehingga
sulit diawasi, dan bagi terdakwa maupun penasehat hukumnya sulit untuk
melakukan pembelaan. Dalam praktek peradilan di Perancis pertimbangan
berdasarkan sistem ini mengakibatkan banyaknya putusan-putusan bebas
yang sangat aneh. Dalam praktek peradilan di Indonesia, system ini
pernah berlaku pada pengadilan distrik, dan pengadilan kabupaten,
sehingga system ini sangat memungkinkan hakim menyebut apa saja yang
menjadi dasar keyakinannya, misalnya keterangan medium atau dukun.
Sistem ini sangat memberikan kebebasan yang luas kepada hakim sehingga
sulit untuk diawasi.
Menurut sejarah hukum acara pidana di Belanda,
sistem pembuktian menurut undang undang yang bersifat negatif,
menggantikan sistem conviction in time yang mereka kenal dalam perundang
undangan Prancis yang pernah diperlakukan di Belanda.
2. Conviction La Raisonee.
Dikenal
juga, sebagai sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan
yang logis. Hakim memegang peranan penting dalam menentukan bersalah
atau tidaknya terdakwa, tetapi faktor keyakinan hakim dibatasi dengan
dukungan-dukungan dan alasan yang jelas. Hakim berkewajiban
menguraikan, menjelaskan alasan-alasan yang mendasari keyakinannya
dengan alasan yang dapat diterima secara akal dan bersifat yuridis.
Sistem ini oleh Andi Hamzah, disebut sebagai sistem yang bebas , karena
hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya (vrije
bewijstheorie), atau disebut juga sebagai jalan tengah berdasarkan
keyakinan hakim sampai batas tertentu, dan terpecah menjadi dua jurusan
yakni pertama, berdasarkan atas keyakinan hakim (conviction in time) dan
yang kedua adalah teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara
negatif (negatief wettelijk bewijstheorie). Kesamaan keduanya adalah
sama- sama berdasarkan atas keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak
mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakim, bahwa terdakwa dinyatakan
bersalah. Keyakinan hakim harus didasarkan pada suatu kesimpulan
(conclusive) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang-undang tetapi
ketentuan-ketentuan berdasarkan ilmu pengetahuan hakim itu sendiri,
tentang pilihannya terhadap alat bukti yang dipergunakan, sehingga
menurut undang-undang telah ditentukan secara limitative, dan harus
diikuti oleh keyakinan hakim. Sistem ini berpangkal tolak pada keyakinan
hakim, dan pada system pembuktian berdasarkan undang-undang secara
negatif.
Penilaian atas kekuatan pembuktian dari alat
alat bukti yang diajukan ke depan sidang pengadilan, oleh penuntut umum,
sepenuhnya diserahkan kepada majelis hakim. Penilaian itu, adalah
wajar, maka hakim harus berpikir logis, dan berusaha untuk menjelaskan
dan memberikan arti, megenai sejumlah gejala yang mereka jumpai, dengan
cara menghubungkan secara timbal balik, gejala yang satu dengan gejala
yang lain. Dengan demikian maka dalam putusana hakim harus menjelaskan
cara berpikir yang telah mereka tempuh, yang membuat mereka sampai pada
kesimpulan kesimpulan yang dijadkan dasar bagi putusan hakim.. Para
hakim harus menjelasakan mengenai kenyataan kenyataan dan keadaan
keadaan yang mana, telah dijadikan dasar bagi putusannya, tetapi dalam
putusan tidak diperlukan penjelasan secara lengkap mengenai cara
berpikirnya, sehingga setiap orang akan mudah untuk membaca putusan
tersebut dan mampu untuk menarik kesimpulan.
3.Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif. (positief wattelijk bewijstheorie)
Suatu
pembuktian yang bertolak belakang dengan sistem pembuktian menurut
keyakinan semata-mata (conviction in time). Hal mana keyakinan hakim
tidak berarti, dengan suatu prinsif berpedoman pada alat bukti yang
ditentukan oleh undang-undang. Hakim tidak lagi berpedoman pada hati
nuraninya, seolah-olah hakim adalah robot dari pelaksana undang-undang
yang tidak berhati nurani. Kebaikan sistem ini, yakni hakim berkewajiban
untuk mencari dan menemukan kebenaran, sesuai dengan tata cara yang
telah ditentukan berbagai alat bukti yang syah oleh undang-undang.
Sehingga sejak pertama hakim mengenyampingkan faktor keyakinan
semata-mata dan berdiri tegak dengan nilai pembuktian objektif tanpa
memperhatikan subjektivitas dalam persidangan. Sistem ini lebih sesuai
disebutkan sebagai penghukuman berdasar hukum.
Maknanya penghukuman
berdasarkan kewenangan undang-undang, dengan asas bahwa terdakwa akan
dijatuhkan hukuman, dengan unsur-unsur bukti yang syah menurut
undang-undang. Andi Hamzah dengan mengutif D Simons, mengemukakan bahwa
system atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif,
dan berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan
mengikat hakim secara ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian yang
keras. Dianut di Erofah pada waktu berlakunya asas inkisitor
(inquisitoir) dalam acara peradilan pidana. Teori ini sudah tidak dianut
lagi, karena mengandalkan pembuktian berdasarkan undang-undang. Hal ini
telah ditolak oleh Wirjono Prodjodikuro, karena keyakinan hakim yang
jujur dan berpengalaman, mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan
masyarakat.
Sistem pembuktian menurut Positefwettelijk, karena
tersedianya jenis jenis dan banyaknya alat alat bukti yang ditentukan
oleh undang undang, akan memaksa hakim, untuk menyatakan suatu dakwaan
sebagai terbukti secara sah.
4. Pembuktian Menurut Undang undang Secara Negatif. (negatief wettelijk bewisjtheorie).
Sistem
ini, adalah mendasarkan pada sistem pembuktian menurut undang-undang
secara positif dan sistem pembuktian menurut keyakinan hakim (conviction
in time). Sistem pembuktian ini, adalah suatu keseimbangan antara kedua
sistem yang bertolak belakang secara ekstrem. Pembuktian menurut
undang-undang secara negatif menggabungkan secara terpadu, dengan
rumusan yang dikenal. “Bersalah atau tidaknya terdakwa ditentukan oleh
keyakinan hakim yang didasarkan pada cara menilai alat-alat bukti yang
syah menurut undang undang.” Bertitik tolak pandangan tersebut maka
dapat diketahui, bahwa pembuktian harus dilakukan menurut cara dan
dengan alat-alat bukti yang syah menurut undang-undang. Keyakinan hakim
harus juga didasarkan atas cara dan dengan alat bukti yang syah.
Sehingga terjadi keterpaduan unsur subjektif dan objektif dalam
menentukan kesalahan
Dalam praktek peradilan, sistem ini akan mudah
terjadi penyimpangan terutama pada hakim yang tidak tegar, tidak
terpuji, demi keuntungan pribadi, melalui putusannya yang terselubung
unsur keyakinan hakim saja. Sehingga faktor keteguhan dan kesempurnaan
prinsif diri hakim masih berperan dalam tugasnya sebagai pemutus hukum
berdasarkan keadilan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Andi Hamzah, dengan
mengutif, Wirjono Prodjodikuro, mengemukakan, bahwa system pembuktian
berdasar undang-undang secara negatif (negatief wettelijk) sebaiknya
dipertahankan berdasarkan dua alasan, yakni pertama, memang sudah
selayaknya harus ada keyakinan hakim dalam menentukan kesalahan
terdakwa, untuk dapat menjatuhkan pemidanaan, janganlah hakim
menjatuhkan pidana karena ketidakyakinannya terhadap kesalahan terdakwa.
Kedua, adalah berfaedah, jika ada aturan hukum yang mengikat hakim
dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang
harus dituruti oleh hakim dalam melaksanakan peradilan.
Sistem
Pembuktian Berdasarkan KUHAP. Hal ini dapat diketahui dari ketentuan
sebagaimana Pasal 183 KUHAP, yakni kesalahan terdakwa harus berdasarkan
pada kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang
syah, hakim memperoleh keyakinan, bahwa tindak pidana benar-benar
terjadi dan terdakwalah yang melakukannya. Sistem ini ditujukan untuk
membuktikan suatu ketentuan yang seminimalnya dapat menjamin tegaknya
kebenaran sejati, serta tegaknya keadilan dan kepastian hukum. Sehingga
sistem ini dianggap tepat dalam penegakan hukum. Tentang penerapan dan
kecenderungan sistem pembuktian yang bertumpu menurut KUHAP. Beberapa
kealpaan, kekeliruan hakim dalam menerapkan putusannya dapat diperbaiki
oleh Hakim pada peradilan selanjutnya, sehingga terjadi saling kontrol
oleh hakim pada tingkatan berikutnya. Hakim ditentukan secara normatif
mengenai prinsif batas minimum pembuktian, sebagaimana ditentukan dalam
pasal 183 KUHAP.
Menurut sistem pembuktian berdasarkan pada KUHAP,
penilaian atas kekuatan pembuktian yang dianut , adalah kekuatan
pembuktian dari alat alat bukti yang diajukan ke depan sidang pengadilan
oleh penuntut umum, sepenuhnya diserahkan kepada majelis hakim. Maka
untuk penilaian itu, adalah wajar harus berpikir logis. Terthadap alat
bukti dimknai sebagai alat bukti yang sah, dan dari alat alat bukti,
yang memperoleh keyakinan, bahwa unsur tindak pidana, yang didakwakan
oleh penuntut umum, sebagai telah dipenuhi oleh terdakwa, ternyata benar
telah dipenuhi oleh terdakwa.
Makanya hakim dalam menjatuhkan
pemidanaan harus didukung sekurangnya dua alat bukti yang sah.
Penjumlahan dari sekurang-kurangnya seorang saksi ditambah dengan
seorang ahli atau surat maupun petunjuk, dengan ketentuan penjumlahan
kedua alat bukti tersebut harus “saling menguatkan”, dan tidak saling
bertentangan antara satu dengan yang lain; atau bisa juga, penjumlahan
dua alat bukti itu berupa keterangan dua orang saksi yang saling
bersesuaian dan saling menguatkan, maupun penggabungan antara keterangan
seorang saksi dengan keterangan terdakwa, asal keterangan saksi dengan
keterangan terdakwa jelas terdapat saling persesuaian.
Sebagaimana
dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) tanggal 27 Juni
1983 No. 185 K/Pid/1982. Putusannya telah membatalkan putusan Pengadilan
Tinggi dan Pengadilan Negeri. Alasan pembatalan didasarkan pada
pendapat, kesalahan yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan, karena alat bukti yang mendukung keterbuktian kesalahan
terdakwa, hanya didasarkan pada suatu petunjuk saja, yakni pengakuan
terdakwa di luar sidang (confession out side the court). Dengan
demikian, alat bukti tersebut belum memenuhi asas batas minimum
pembuktian yang ditentukan undang-undang. Dengan demikian maka, prinsip
minimum pembuktian yang dianggap cukup menurut sistem pembuktian yang
diatur dalam Pasal 183 KUHAP: a) sekurang-kurangnya dengan dua alat
bukti yang sah, atau paling minimum kesalahan terdakwa harus dibuktikan
dengan dua alat bukti yang sah; b) maka tidak dibenarkan dan dianggap
tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa, jika hanya dengan satu alat
bukti yang berdiri sendiri.
Prinsif umum pembuktian bukan saja
diatur dan ditegaskan dalam Pasal 183 KUHAP, tapi dijumpai dalam Pasal
lain. Namun, sebagai aturan umum (general rule) dari prinsip minimum
pembuktian, diatur dalam Pasal 183. Oleh karena itu, tanpa mengurangi
prinsip umum yang diatur pada Pasal 183 tersebut, perlu juga dibicarakan
beberapa asas yang diatur pada pasal-pasal lain yang bertujuan untuk
lebih menegaskan prinsip umum yang diatur pada Pasal 183, antara lain:
a) Pasal 185 ayat (2),
Keterangan seorang saksi saja tidak cukup
untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang
didakwakan kepadanya. Asas ini lazim disingkat dengan istilah; satu
saksi tidak merupakan saksi. Istilah ini merupakan pengertian yang
ditarik dari rumusan: “ unus testis nullus testis”; keterangan atau
pengakuan terdakwa (confession by on accused) saja tidak cukup
membuktikan kesalahan terdakwa. Hal inilah yang disebut sebagai pedoman
yang diperhatikan sehubungan dengan sistem pembuktian yang berkaitan
dengan prinsip batas minimum pembuktian dalam pemeriksaan perkara dengan
“acara pemeriksaan cepat”. Sistem dan prinsip pembuktian yang berlaku
dalam perkara dengan acara pemeriksaan biasa, tidak sepenuhnya
diterapkan dalam perkara dengan “acara pemeriksaan cepat”.Dalam perkara
dengan acara pemeriksaan cepat, prinsip minimum pembuktian tidak mutlak
dipedomani. Artinya dalam perkara acara cepat, pembuktian tidak
diperlukan mesti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Satu
alat bukti saja sudah cukup mendukung keyakinan hakim. Hal ini dapat
dibaca dari bunyi “penjelasan” Pasal 184. “Dalam acara pemeriksaan
cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah”.
Penyimpangan
ini dapat dibenarkan, sebab pada dasarnya, pembuktian dalam perkara
acara cepat, lebih cenderung pada pendekatan “pembuktian secara formal”.
Berikut ini dikemukakan putusan MARI yang berkaitan dengan masalah asas
batas minimum pembuktian, dimulai dari putusan yang dijatuhkan sebelum
KUHAP berlaku. diambil putusan tanggal 17 April 1978 No. 18 K/Kr/1977.
Dalam putusan ini MARI membatalkan putusan perkara yang dikasasi, dan
menjatuhkan putusan bebas terhadap terdakwa atas alasan pengadilan salah
menerapkan hukum pembuktian: “Pengadilan telah mendasarkan putusannya
semata-mata atas keterangan seorang saksi saja, padahal para terdakwa
mungkir. Sedang keterangan saksi-saksi yang lain tidak memberi petunjuk
atas keterbuktian kejahatan yang didakwakan.” Pada putusan ini, alasan
pembatalan didasarkan atas kekeliruan penerapan hukum yang telah
menjatuhkan pemidanaan terhadap terdakwa tanpa didukung oleh minimum dua
alat bukti yang sah, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 294, jo.
Pasal 300 HIR sebagaimana yang ditentukan pada Pasal 183 jo. Pasal 185
(2) KUHAP .
Demikian pula dalam putusan tanggal 8 September 1983
Reg. No.932 K/Pid/1982, MARI membatalkan dan menjatuhkan putusan bebas
terhadap terdakwa dengan alasan: “bahwa menurut berita acara persidangan
Pengadilan Negeri, saksi tidak sempat didengar keterangannya, sedang
Visum et Repertum tidak ternyata ada satupun dibacakan. Lagi pula
menurut kesimpulan dari pihak kepolisian, kesalahan berada di pihak
korban, dan terdakwa tidak mengakui telah perbuatan seperti yang
didakwakan kepadanya”. Juga dalam putusan tanggal 15 Agustus 1983 Reg.
No. 298 K/Pid/1982, MARI telah membatalkan putusan Pengadilan Tinggi
Medan dan menjatuhkan putusan bebas terhadap terdakwa. dalam putusan
ini, MARI menyatakan: “kesalahan para terdakwa tidak terbukti secara sah
dan meyakinkan, karena tidak ada seorang saksi di bawah sumpah maupun
alat bukti lain yang dapat dipergunakan sebagai alat bukti mendukung
keterbuktian kesalahan terdakwa baik mengenai dakwaan perkosaan maupun
atas dakwaan persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya”.
Tentang
Alat bukti dan kekuatan pembuktiannya dapat diketahui melalui ketentuan
Pasal 184 ayat (1) KUHAP telah menentukan secara “limitatif” alat bukti
yang sah menurut undang-undang. Di luar alat bukti itu, tidak
dibenarkan dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Hakim,
penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum, terikat dan terbatas hanya
diperbolehkan mempergunakan alat-alat bukti itu saja. dan tidak leluasa
mempergunakan alat bukti yang dikehendakinya di luar alat bukti yang
ditentukan Pasal 184 ayat (1). Penilaian sebagai alat bukti, dan yang
dibenarkan mempunyai “kekuatan pembuktian” hanya terbatas kepada
alat-alat bukti yang syah. Pembuktian di luar jenis alat bukti
sebagaimana Pasal 184 ayat (1), tidak mempunyai nilai serta tidak
mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat. Beberapa Alat-alat bukti
dalam proses peradilan pidana nasional yakni;
1. Keterangan saksi
Ruang
lingkup pemeriksaan saksi, titik berat sebagai alat bukti, ditujukan
kepada permasalahan yang berhubungan dengan pembuktian. Syarat sahnya
keterangan saksi: Alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang
paling utama dalam perkara pidana. tidak ada perkara pidana yang luput
dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian
perkara pidana, selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi.
Sekurang-kurangnya di samping pembuktian dengan alat bukti yang lain,
masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.
Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian atau “the degree of
evidence” keterangan saksi, mempunyai nilai kekuatan pembuktian,
beberapa pokok ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang saksi, sebagai
alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian, harus dipenuhi
aturan ketentuan sebagai berikut:
1. Harus mengucapkan sumpah atau
janji. Pasal 160 ayat (3), dan Pasal 160 ayat (4) memberi
kemungkinan untuk mengucapkan sumpah atau janji setelah saksi memberikan
keterangan. Dengan demikian, saat pengucapan sumpah atau janji:
pertama, pada perinsipnya wajib diucapkan “sebelum” saksi memberi
keterangan; kedua, dalam hal yang dianggap perlu oleh pengadilan,
sumpah atau janji dapat diucapkan “sesudah” saksi memberi keterangan;
Mengenai saksi yang menolak mengucapkan sumpah atau janji, sudah
diterapkan, yakni terhadap saksi yang menolak untuk mengucapkan sumpah
atau janji tanpa alasan yang sah: a) dapat dikenakan sandera; b)
penyanderaan dilakukan berdasar “penetapan” hakim ketua sidang; c)
penyanderaan hal seperti ini paling lama empat belas hari (Pasal 161).
2.
Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti. Tidak semua keterangan
saksi yang mempunyai nilai sebagai alat bukti. Keterangan saksi yang
mempunyai nilai ialah keterangan yang sesuai dengan apa yang dijelaskan
Pasal 1 angka 27 KUHAP: dihubungkan dengan bunyi penjelasan Pasal 185
ayat (1), dapat ditarik kesimpulan: pertama, setiap keterangan saksi di
luar apa yang didengarnya sendiri dalam peristiwa pidana yang terjadi
atau di luar yang dilihat atau dialaminya dalam peristiwa pidana yang
terjadi, keterangan yang diberikan di luar pendengaran, penglihatan,
atau pengalaman sendiri mengenai suatu peristiwa pidana yang terjadi,
“tidak dapat dijadikan dan dinilai sebagai alat bukti”. Keterangan
semacam itu tidak mempunyai kekuatan nilai pembuktian; kedua,
“testimonium de auditu” atau keterangan saksi yang ia peroleh sebagai
hasil pendengaran dari orang lain. “tidak mempunyai nilai sebagai alat
bukti”. Keterangan saksi di sidang pengadilan berupa keterangan ulangan
dari apa yang didengarkannya dari orang lain, tidak dapat dianggap
sebagai alat bukti;
3. “pendapat” atau “rekaan” yang saksi
peroleh dari hasil pemikiran, bukan merupakan keterangan saksi.
Penegasan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (5). Oleh karena
itu, setiap keterangan saksi yang bersifat pendapat atau hasil
pemikiran, harus dikesampingkan dari pembuktian dalam membuktikan
kesalahan terdakwa. keterangan yang bersifat dan berwarna pendapat dan
pemikiran pribadi saksi, tidak dapat dinilai sebagai alat bukti. Hal
seperti ini misalnya dapat dilihat dalam putusan MARI tanggal 15 Maret
1984 Reg. No. 20 PK/Pid/1983. Dalam putusan ini ditegaskan bahwa: “orang
tua terdakwa, polisi, dan jaksa hanya menduga, tapi dugaan itu semua
hanya merupakan kesimpulan sendiri-sendiri yang tidak didasarkan pada
alat-alat bukti yang sah”. Tentang kebenaran keterangan saksi, hakim
harus sunggug sungguh memperhatikan, persesuaian antara keterangan saksi
yang satu dengan yang lainya, dan persesuaian saksi dengan alat bukti
yang sah, alasan yang mungkin dipergunakan saksi untuk memberi
keterangan tertentu, serta cara hidup kesusilaan saksi serta segala
sesuatu, yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan
itu dipercaya.
4. Keterangan saksi harus diberikan di sidang
pengadilan. Agar supaya saksi dapat dinilai sebagai alat bukti,
keterangan itu harus yang “dinyatakan” di sidang pengadilan. Hal ini
sesuai dengan penegasan Pasal 185 ayat (1). keterangan saksi yang
berisi penjelasan tentang apa yang didengarnya sendiri, dilihatnya
sendiri atau dialaminya sendiri mengenai suatu peristiwa pidana, baru
dapat bernilai sebagai alat bukti apabila keterangan saksi di sidang
pengadilan. Keterangan yang dinyatakan di luar sidang pengadilan
(outside the court) bukan alat bukti, tidak dapat dipergunakan untuk
membuktikan kesalahan terdakwa.
5. Keterangan saksi saja tidak
dianggap cukup. prinsip minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183.
Supaya keterangan saksi dapat dianggap cukup untuk membuktikan kesalahan
seorang terdakwa, harus dipenuhi paling sedikit atau sekurang-kurangnya
dengan dua alat bukti. Jadi, betitik tolak dari ketentuan Pasal 185
ayat (2), keterangan seorang saksi saja belum dianggap cukup sebagai
alat bukti untuk membuktikan kesalahan terdakwa, atau “unus testis
nullus testis”. Ini berarti jika alat bukti yang dikemukakan penuntut
umum hanya terdiri dari seorang saksi saja tanpa ditambah dengan
keterangan saksi yang lain atau alat bukti yang lain, “kesaksian
tunggal” yang seperti ini tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang
cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa sehubungan dengan tindak
pidana yang didakwakan kepadanya. berbeda halnya jika terdakwa
memberikan keterangan yang mengakui kesalahan yang didakwakan kepadanya.
Dalam hal ini seorang saksi sudah cukup membuktikan kesalahan
terdakwa, karena di samping keterangan saksi tunggal, telah dicukupi
dengan alat bukti keterangan/pengakuan terdakwa. dengan demikian telah
terpenuhi ketentuan minimum pembuktian dan “the degree of evidence”,
yakni keterangan saksi ditambah dengan alat bukti keterangan terdakwa.
ditarik kesimpulan, bahwa persyaratan yang dikehendaki oleh Pasal 185
ayat (2) adalah: a) untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa paling
sedikit harus didukung oleh “dua orang saksi”; b) atau kalau saksi yang
ada hanya terdiri dari seorang saja maka kesaksian tunggal itu harus
“dicukupi” atau “ditambah” dengan salah satu alat bukti yang lain.
Dengan
demikian dakwaan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah
berdasar alat bukti yang ditentukan undang-undang, karena hanya ada
seorang saksi saja”. Jadi, agar supaya keterangan saksi tunggal
mempunyai nilai pembuktian yang dapat dipergunakan hakim membuktikan
kesalahan terdakwa, harus dilengkapi atau dicukupi dengan salah satu
alat bukti yang lain baik berupa keterangan ahli, surat, petunjuk maupun
dengan keterangan/pengakuan terdakwa. akan tetapi, ketentuan ini hanya
berlaku dalam proses pemeriksaan perkara acara biasa. Dalam pemeriksaan
perkara cepat, keyakinan hakim cukup didukung oleh satu alat bukti yang
sah, seperti yang ditegaskan dalam penjelasan Pasal 184. Maka dalam
pemeriksaan perkara dengan acara cepat, keterangan seorang saksi saja
sudah cukup mempunyai pembuktian.
Keterangan beberapa saksi yang
berdiri sendiri. Sering terdapat kekeliruan pendapat sementara orang
yang beranggapan, dengan adanya beberapa saksi dianggap keterangan saksi
yang banyak itu telah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. pendapat
yang demikian keliru, karena sekalipun saksi yang dihadirkan dan
didengar keterangannya di sidang pengadilan secara “kuantitatif” telah
melampui batas minimum pembuktian, belum tentu keterangan mereka secara
“kualitatif” memadai sebagai alat bukti yang sah membuktikan kesalahan
terdakwa. Tidak ada gunanya menghadirkan saksi yang banyak, jika secara
kualitatif keterangan mereka saling “berdiri sendiri” tanpa adanya
saling hubungan antara yang satu dengan yang lain; yang dapat mewujudkan
suatu kebenaran akan adanya kejadian atau keadaan tertentu. Berapa pun
banyaknya saksi yang diperiksa dan didengar keterangannya di sidang
pengadilan, hanya pemborosan waktu jika masing-masing keterangan mereka
itu berdiri sendiri tanpa hubungan satu dengan yang lain.
Hal seperti
ini misalnya dapat dilihat pada putusan MARI tanggal 17-4-1978, No. 28
K/Kr./1977 yang menegaskan “keterangan saksi satu saja, sedang terdakwa
memungkiri kejahatan yang dituduhkan kepadanya dan keterangan
saksi-saksi lainnya tidak memberi petunjuk terhadap kejahatan yang
dituduhkan, belum dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa”.
Dalam perkara ini ternyata ada beberapa orang saksi yang didengar
keterangannya di sidang pengadilan. Akan tetapi, dari sekian banyak
saksi tersebut, hanya satu saksi yang dapat dinilai sebagai alat bukti,
sedang saksi-saksi selebihnya hanya bersifat keterangan yang berdiri
sendiri tanpa saling berhubungan. Sebagai alat bukti petunjuk saja pun
tidak mencukupi. MARI menilai keterangan saksi yang banyak itu, sama
sekali tidak dapat dinilai sebagai alat bukti.
Di sinilah dituntut
kemampuan dan keterampilan penyidik untuk mempersiapkan dan menyediakan
saksi-saksi yang secara kualitatif dapat memberikan keterangan yang
saling berhubungan. Bukan hanya mengumpulkan saksi yang banyak, tapi
hanya menyajikan keterangan yang saling berdiri sendiri. Hal yang
seperti inilah yang diperingatkan oleh Pasal 185 ayat (4).
Cara
Menilai Kebenaran Keterangan Saksi, menilai keterangan beberapa saksi
sebagai alat bukti yang sah, harus terdapat saling berhubungan antara
keterangan-keterangan tersebut, sehingga dapat membentuk keterangan yang
membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu. Namun dalam
menilai dan mengkonstruksi kebenaran keterangan para saksi, Pasal 185
ayat (6) menuntut kewaspadaan hakim, untuk sungguh-sungguh
memperhatikan. Persesuaian antara keterangan saksi. Persesuaian
keterangan saksi dengan alat bukti lain. Alasan saksi memberi keterangan
tertentu. Nilai Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi. Keterangan saksi
sebagai alat bukti yang disampaikan pada sidang di pengadilan dapat
dikelompokkan; keterangan saksi tanpa disumpah, disebabkan saksi menolak
untuk disumpah sebagaimana ditentukan dalam pasal 161 KUHAP .
Walaupun dengan disandera tetapi saksi tetap menolak untuk disumpah
atau janji, maka keterangan saksi yang demikian dapat menguatkan
keyakinan hakim, bilamana pembuktian lainnya telah memenuhi batas
minimum pembuktian. Atau saksi yang memberikan keterangan tanpa disumpah
telah menyampaikan keterangan pada penyidikan, tetapi tidak hadir pada
persidangan, maka keterangannya dibacakan dalam persidangan, sehingga
sebagaimana pasal 161(2) dan dihubungkan dengan pasal 185 (2), maka
sifatnya hanya menguatkan keyakinan hakim, atau sebagai tambahan alat
bukti. Terhadap keterangan saksi yang disumpah pada tahap penyidikan dan
dibacakan ketika didepan pengadilan, maka hal demikian tetap menjadi
alat bukti yang syah.Keterangan saksi tanpa disumpah lazimnya karena
terdapat hubungan keluarga, sebagaimana pasal 161 (2), 168, 169 (2),
185 (7), .
Keterangannya tidak dapat dinilai sebagai alat
bukti, tetapi dapat dipergunakan menguatkan keyakinan hakim, atau
bernilai sebagai tambahan menguatkan alat bukti yang syah sepanjang
mempunyai persesuaian dan telah memenuhi batas minimum pembuktian. Saksi
sebagaimana diatur pada pasal 171.
Nilai kekuatan pembuktian
keterangan saksi yang disumpah, harus dipenuhi beberapa persyaratan,
yakni keterangannya harus disampaikan yang sebenarnya tiada lain
daripada yang sebenarnya, keterangannya harus suatu peristiwa, yang
didengar sendiri, dilihat dan dialaminya sendiri. Dinyatakan didepan
persidangan, nilai kekuatan saksi mempunyai nilai yang sempurna
(volledig bewijskracht) atau bersiapat bebas, sehingga nilai pembuktian
saksi demikian tergantung pada penilaian hakim. Melalui kajian
teoritis dan praktek dapat dikonklusikan, bahwa menjadi seorang saksi
merupakan kewajiban hukum bagi setiap orang. Apabila seseorang dipanggil
menjadi saksi akan tetapi menolak/ tidak mau hadir di depan
persidangan, mewskipun telah dipanggil dengan sah dan hakim ketua sidang
mempunyai cukup alasan, untuk menyangka saksi tersebut tidak akan mau
hadir, hakim ketua sidang dapat memerintahkan supaya saksi tersebut
dihadapkan kepengadilan sebagaimana ditentukan dalam pasal 159 ayat (2)
KUHAP .
Dengan demikian, asasnya setiap orang yang mendengar,
melihat dan mengalami sendiri suatu suatu peristiwa, yang dapat didengar
sebagai saksi, akan tetapi dalam eksepsional sifatnya seseorang tidak
dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi.
Adapun syarat formal sebagai saksi dalam praktek, asasnya bahwa
keterangan saksi diberikan di bawah sumpah menurut cara agamanya
masing-masing, dengan memberikan keterangan sebenarnya dan tidak lain
daripada yang sebenarnya. Sedangkan syarat materiil dapat disimpulkan,
dengan memperhatikan secara seksama persesuaian antara keterangan saksi
atau dengan yang lain; persesuian antara keterangan saksi dengan alat
bukti yang lain; alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk
memberikan keterangan yang tertentu; cara hidup kesusilaan saksi serta
segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya
keterangan itu dipercaya.
Selanjutnya dalam praktek
kerapkali terjadi keterangan saksi berbeda dengan keterangan dalam
Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dilakukan oleh penyidik, biasanya
majelis hakim mengingatkan tentang adanya perbedaan tersebut, dan secara
prosudural kemudian memberi penjelasan-penjelasan tentang pentingnya
seorang saksi untuk memberikan keterangan dengan jujur yang akan dapat
membantu pengadilan, guna mewujudkan kebenaran materiil (materieele
waarheid), membangun suasana kondusif agar saksi dapat memberi
keterangan secara bebas, tanpa pengaruh dan tekanan, tidak diajukan
pertanyaan yang bersifat menjerat, dan pertanyaan dilakukan dengan
bahasa yang jelas serta mudah dimengerti oleh saksi, dan terakhir
diperingatkan juga saksi tentang sumpah/janji yang telah diucapkan
untuk memberi keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang
sebenarnya. Akan tetapi apabila peringatan tersebut tidak diindahkan
saksi dan tetap pada keterangannya dalam persidangan, hakim ketua sidang
meminta keterangan terhadap perbedaan keterangan tersebut dan kemudian
dicatat dalam berita acara sidang.
Selanjutnya, seringkali
terjadi dalam praktek, bahwa keterangan saksi diduga diberikan dengan
tidak yang sebenarnya, karena pelbagai motivasi dan kepentingan, tak
jarangpula keterangan seorang saksi diberikan dengan tidak sebenarnya
dan saksi tersebut diduga melakukan sumpah palsu. Dalam praktek hakim
ketua sidang memperingatkan saksi agar menarik keterangan palsunya,
apabila saksi tetap pada keterangannya, hakim ketua sidang karena
jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat member
perintah dengan bentuk penetapan supaya saksi tersebut ditahan dengan
dakwaan sumpah palsu. Terhadap dakwaan ini panitera pengganti segera
membuat berita acara sidang yang memuat keterangan saksi dengan
menyebutkan alasan persangkaan, bahwa keterangan saksi itu adalah palsu
dan berita acara tersebut, keterangan saksi itu adalah palsu dan berita
acara tersebut ditandatangani oleh hakim ketua sidang dan panitera.
Kemudian penetapan yang berisi amar/dictum; memerintahkan kepada
penyidik dengan jangka waktu penahanan biasa sebagaimana diatur dalam
pasal 24(1), (2) KUHAP,
Diserahkan kepada penuntut umum
untuk diselesaikan menurut ketentuan undang-undang. Terhadap hal ini,
jika perlu hakim ketua sidang menangguhkan sidang dalam perkara semula
sampai pemeriksaan perkara pidana terhadap saksi itu selesai,
sebagaimana dimaksudkan menurut pasal 174 (4) KUHAP .
Saksi menarik atau mencabut keterangannya Dalam Berita Acara Pemeriksaan
(BAP) yang dibuat Penyidik.Pada KUHAP tidak diatur mengenai keterangan
saksi yang menarik /mencabut keterangan yang telah diberikan dihadapan
penyidik dimuka persidangan. Apabila dikaji secara lebih mendalam,
detail dan terperinci sebagaimana tersurat Pasal 163 KUHAP hanya diatur
mengenai keterangan saksi disidang berbeda dengan keterangannya pada
BAP yang dibuat penyidik. Kalau seorang saksi menarik/mancabut
keterangannya dalam BAP yang dibuat penyidik, berlakulah ketentuan Pasal
185 ayat (1), (6) KUHAP. Dengan demikian, fungsi keterangan saksi
tersebut pada BAP yang dibuat penyidik hanyalah sebagai alat bukti
petunjuk (Pasal 188 (2) KUHAP).
Akhirnya yang perlu dikedepankan
terhadap keterangan saksi adalah terhadap jenis-jenis saksi. Secara
global dalam praktik asasnya kerap dijumpai adanya beberapa jenis saksi,
yaitu: Saksi A Charge / Memberatkan Terdakwa dan Saksi A De Charge /
Meringankan Terdakwa. Saksi Mahkota / Kroon Getuige /Withnes Crown.
Berdasarkan putusan MK. No. 5 /PUU-VIII/2010, yang diajukan oleh Prof
Yusril Ihza Mahendra, telah diputuskan oleh MK, bahwa yang dimaksudkan
dengan saksi, atau ahli dapat dipanggil pada tahap penyidikan, dan
pengertian saksi tidak hanya dimaknai, termasuk pula orang yang dapat
memberikan keterangan, dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan
peradilan, suatu tindak pidana yang tidak selalu apa yang didengar,
dilihat, dan dialami sendiri. Sehingga makna saksi, termasuk ahli, dapat
diperluas, yakni yang berkaitan dengan suatu peristiwa hukum.
Tentang
saksi Mahkota, selanjutnya diatur dalam RUU KUHAP, dengan ketentuan,
bahwa.Pertama. Salah seorang tersangka atau terdakwa yang peranannya
paling ringan, dapat dijadfikan saksi dalam perkara yang sama, dan dapat
dibebaskan dari penuntutan pidana, apabila saksi membantu mengungkapkan
keterlibatan tersangka lain yang patut dipidana dalam tindak pidana
tersebut. Kedua. Apabila tidak ada tersangka atau terdakwa yang
peranannya ringan, dalam tindak pidana, sebagimana dimaksud dalam ayat
(1),, maka tersangka atau terdakwa yang mengaku bersalah, berdasarkan
pasal 199 dan membantu secara substantif mengngkap tindak pidana, dan
peran tersangka lain, dapat dikurangi pidananya, dengan kebijaksanaan
hakim pengadilan negeri. Ketiga. Penuntut umum menentukan tersangka atau
terdakwa sebagai saksi mahkota.
Keterkaitan saksi dalam RUU KUHAP,
tahun 2010, yakni Pasal 12. Setiap orang yang mengalami, melihat,
menyaksikan, atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana,
berhak mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyidik baik secara
lisan maupun secara tertulis. Pasal 17. Penyidik melakkan pemeriksaan
berwenang memanggil tersangka dan/ atau saksi untuk diperiksa., dengan
surat panggilan yang sah, dengan memperhatikan tenggang waktu yang
wajar, dan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas.. Tersangka
dan/au saksi yang dipanggil wajib datang dihadapan penyidik, dalam hal
tidak datang, aka penyidik memanggil sekali lagi, dan dapat meminta
pejabat yang berwenang untuk membawa tersangka dan atau saksi kepada
penyidik. Jika tersangka atau saksi yang dipanggil tidak datang, dengan
memberi alasan yang sah dan patut kepada penyidik yang melakukan
pemeriksaan, penyidik tersebut datang ketempat kediamannya untuk
melakukan pemeriksaan. Jila tersangka atau saksi menghindar dari
pemeriksaan, penyidik dapat langsung mendatangi kediaman tersangka dan
atau saksi tanpa terlebih dahulu dilakukan pemanggilan.
Pasal 21,
menentukan dalam hal penyidik memeriksa saksi dengan tidak disumpah,
kecuali jika terdapat cukup alasan untuk diduga, bahwa saksi tidak akan
hadir dalam persidangan. Penyidik memriksa saksi secara tersendiri,
tetapi dapat dipertemukan yang satu dengan yang lain, dan wajib
memberikan keterangan yang sebenarnya. Dalam pemeriksaan tersangka yang
menghendaki di dengarnya saksi yang dapat menguntungkan baginya, hal
tersebut dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Penyidik wajib
memanggil dan memeriksa saksi yang dapat menguntungkan
tersangka.Keterangan saksi diberikan tanpa tekanan dari siapapun dalam
bentuk apapun. Penyidik mencatat keterangan tersanka atau saksi dalam
berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh Penyidik, tersangka
dan atau saksi setelah membaca dan mengerti isinya.
2. Keterangan Ahli
Sebagai alat bukti yang sah, merupakan suatu kemajuan dalam perkara
di sidang pengadilan, dan pembuat undang undang menyadari pentingnya
mengelaborasi perkembanga ilmu pengetahuan dan tehnologi, sehingga
keterangan ahli sangat memegang peranan penting dalam peradilan pidana.
Adapun tata cara menilai keterangan ahli, yakni untuk kepentingan
penyidikan, maka penyidik berhak untuk mengajukan permintaan keterangan
seorang ahli, pasal 133, terhadap ahli kedokteran kehakiman ataupun ahli
lainnya, dan ahli dapat membuat keterangan atau laporan sesuai yang
dikehendaki penyidik, dan dimasukkan dalam berita acara penyidikan
sebagaimana pasal 186, atau dapat juga disampaikan pada sidang
peradilan. Jenis dan tata cara pemberian keterangan ahli sebagai alat
bukti yang sah, yakni; diminta dan diberikan ahli pada saat pemeriksaan
penyidikan; atas permintaan penyidik, ahli membuat laporan, atau visum
et revertum dan dibuat oleh ahli yang bersangkutan, yang bernilai
sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Keterangan ahli yang diminta dapat disampaikan pada sidang peradilan,
yang diajukan oleh penuntut umum, penasehat hukum, keterangan ahli dapat
disampaikan secara lisan dan langsung dicatat dalam berita acara oleh
panitera, dan dilakukan oleh ahli dengan sumpah atau janji dan
keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Keterangan ahli, merupakan salah satu ciri khas dari perkembangan hukum
acara pidana modern, sehingga sangat berguna untuk membuat jelas dan
terang suatu tindak pidana yang terjadi.
Pengertian
keterangan ahli Sebagai Alat bukti. Hal ini diatur dalam pasal 186,
pasal 1 angka 28, pasal 120 , 133 ,179, 180, 186 KUHAP.Sedangkan
keterangan ahli yang berhubungan dengan tanda tangan dan tulisan, maka
keterangan ahli autentik dilakukan oleh laboratorium forensik Mabes
POLRI,atau laboratorium kriminal POM ABRI.
Adapun sifat
dualisme alat bukti keterangan ahli, yakni dalam bentuk laporan atau
visum et revertum, dan atau keterangan ahli disampaikan secara langsung,
lisan di sidang pengadilan dan dicatat dalam berita acara oleh
panitera. Nilai kekuatan pembuktian keterangan ahli yakni mempunyai
kekuatan pembuktian bebas. Maknanya hakim bebas menilainya. Keterangan
ahli tidak memeriksa pokok perkara, tetapi sifatnya menjelaskan sesuatu
hal yang masih kurang terang tentang suatu hal dan kejadian. Terdapat
perbedaan antara keterangan saksi dan keterangan ahli, dari berbagai
segi, yakni;
Pertama subjeknya, untuk keterangan saksi
biasanya diberikan kepada setiap orang, sedangkan keterangan ahli,
dilakukan oleh ahli yang berhubungan dengan masalah yang terjadi. Kedua,
segi isi keterangan, saksi menyampaikan peristiwa atau kejadian yang
berhubungan langsung dengan kejahatan yang terjadi, sedangkan keterangan
ahli, tidak seharusnya berhubungan dengan peristiwa kejahatan, tetapi
pendapatnya tentang suatu masalah yang ditanyakan. Ketiga, segi dasar
keterangan, saksi keterangannya berdasarkan penglihatan, pendengaran,
dan dialaminya sendiri, keterangan ahli dasarnya adalah pengetahuan atau
keahlian yang dimilikinya. Keempat, dari segi sumpah, saksi sumpahnya
memberi keterangan yang sebenarnya tidak lain dari yang sebenarnya,
seangkan ahli saya bersumpah akan memberikan keterangan yang
sebaik-baiknya tidak lain daripada yang sebaik-baiknya.
Keterangan ahli (expert testimony), disebut sebagai alat bukti urutan
kedua oleh KUHAP, hal ini berbeda dengan HIR, yang tidak mencantumkan
keterangan ahli sebagai alat bukti. Keterangan ahli sebagai alat bukti
dikenal dalam hukum acara modern dibanyak negara. Keterangan ahli, dapat
juga diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum
yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan, dan dibuat dengan mengingat
sumpah diwaktu menjadi ahli. Pada umumnya keterangan ahli itu, adalah
pendapat seorang ahli, yang berhubungan dngan ilmu pengetahuan yang
telah dipelajarinya tentang sesuatu apa yang dimintai pertimbangannya.
Pengertian ilmu pengetahuan (wetenschap) diperluas pengertiannya yakni
meliputi kriminalistik, yakni ilmu tentang tulisan, ilmu senjata,
pengetahuan tentang sidik jari.
Difinisi ahli menurut
Calipornia Evidence Code; yakni Seseorang dapat membei keterangan
sebagai ahli, jika Ia mempunyai pengetahuan keahlian, pengalaman,
latihan, atau pendidikan khusus yang memadai untuk memenuhi syarat
sebagai seorang ahli tentang hal yang berkaitan dengan keterannya.
Walaupun keterangan ahli dengan keterangan saksi berbeda, tetapi sulit
dibedakan dengan tegas, karena kadang-kadang seorang ahli merangkap juga
sebagai saksi. Keterangan saksi apa yang didengar, dialami dan dilihat,
tetapi keterangan ahli, ialah mengenai suatu hal yang diberikan
penilaian terhadap suatu hal-hal yang sudah nyata dan pengambilan
kesimpulan mengenai hal-hal tersebut.
Kedudakan ahli dalam
hukum acara pidana, adalah sebagai salah satu alat bukti, karena sistem
pembuktian di Indonesia menggunakan sistem negataief Wettelijke, artinya
menggunakan keyakinan hakim, yang disertai dengan menggunakan alat alat
bukti yang sah, menurut undang undang yang berlaku. Sehingga alat bukti
menjadi dasar bagi hakim dalam memutuskan suatu perkara pidana.
Subjektivitas dalam menangani perkara pidana, haruslah dihindari, karena
berkaitan erat dengan masalah sosial, politis maupun ekstra interventif
lainnya. Permintaan keterangan ahli dilakukan secara tertulis,
sebagaimana ditentukan menurut Pasal 133 (1) KUHAP, dalam surat itu
disebutkan dengan tegas, untuk pemeriksaan luka, atau pemeriksaan mayat,
dan atau pemeriksaan bedah mayat, bahwa mayat harus diperlakukan secara
baik, diberi label, yang membuat indentitas, dilak, sehingga atas atas
permintaan penyidik, makja ahli kedokteran kehakiman, wajib memenuhinya,
dengan memberikan keahliannya, dalam bentuk laporan tertulis, mengenai
hasil pemeriksaannya, yang dibuat atas kekuatan sumpah jabatannya, yang
dikenal dengan nama Visum et revertum.
Pasal 25 RUU
KUHAP,menentukan bahwa dalam hal penyidik menganggap perlu, penyidik
dapat meminta pendapat ahl. Sebelum memberikan keterangan, ahli
mengangkat sumpah atau janji di muka penyidik, untuk memberikan
keterangan menurut pengetahuannya dengan sebaik baiknya. Jika ahli yang
karena harkat dan martabat, pekerjaan, atau jabatan diwajibkan menyimpan
rahasia, maka ahli dapat menolak untuk memberikan keterangan yang
diminta. Pasal 40, menentukan, bahwaadanya perlindungan pelapor, pengadu
saksi dan korban. Tata cara pemberian perlindungan hukum ditentukan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku. Semua
biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan penyidikan dan perlindungan
pelapor, pengadu, saksi atau korban, dibebankan kepada negara. Pasal 75,
tentang penyitaan harus disaksikan oleh dua orang saksi.
Pasal 149.menentukan bahwa Haim ketua sidang meneliti apakah semua saksi
atau ahli yang dipanggil telah hadir dan memberi perintah untuk
mencegah jangan sampai saksi atau ahli berhubungan dengan satu dan lain,
sebelum memberikan keterangan di sidang. Dalam saksi atau ahli tidak
hadir, meskipun telah dipanggil dengan sah dan hakim ketua sidang
mempunyai cukup alsan untuk menyangka, bahwa saksi itu tidak akan mau
hadir, maka hakim ketua sidang dapat memerintahkan agar saksi tersebut
dihadapapkan ke persidangan. Pasal 150, menentukan Penuntut umum dan
terdakwa atau penasehat hukum terdakwa, diberi kesempatan menyampaikan
penjelasan singkat untuk menguraikan bukti dan saksi yang hendak
diajukan oleh mereka pada persidanga. Sesudah penyataan pembuka, saksi
dan ahli memberikan keterangan. Urutan saksi dan ahli ditentukan oleh
pihak yang memanggil. Penuntut umum mengajukan saksi, ahli dan buktinya
terlebih dahulu. Apabila hakim menyetujui saksi dan ahli, yang diminta
oleh penasehat hukum untuk dihadirkan, maka hakim memeritahkan kepada
penuntut umum untuk memanggil saksi dan ahli, yang diajukan oleh
penasehat hukum. Hakim ketua sidang menanyakan kepada saksi mengenai
keterangan tentang nama lengkap, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan saksi. Hakim juga
menanyakan, apakah saksi mengenal terdakwa. Pasal 155, menentukan bahwa
pertanyaan yang bersifat menjerat dilarang diajukan kepada saksi atau
ahli, atau kepada terdakwa.
3. Alat Bukti Surat
Sebagaimana yang ditentukan pada pasal 186 KUHAP, yakni; surat yang
dibuat atas sumpah jabatan, atau surat yang dilakukan dengan sumpah.
Dapat dianggap sebagai bentuk surat yang bernilai sebagai alat bukti
yakni, suatu berita acara, yang membuat keterangan tentang kejadian atau
keadaan yang didengar,dilihat atau dialaminya, disertai dengan alasan
yang jelas dan tegas tentang keterangannya. Surat yang berbentuk
ketentuan perundang-undangan yang dibuat oleh pejabat yang berwenang.
Surat keterangan ahli, dan atau surat lainnya yang bersifat resmi. Nilai
kekuatan pembuktian surat dari segi formal sebagai alat bukti yang
sempurna, dari aspek materiil mempunyai kekuatan yang mengikat, dan
hakim bebas untuk melakukan penilaian atas substansi surat tersebut,
dengan azas keyakinan hakim, dan asas batas minimum pembuktian. Alat
bukti surat sebagaimana ditentukan menurut pasal 187 .
Bukanlah
alat bukti yang mengikat tetapi bernilai sebagai pembuktian yang
bersifat bebas. Sebagai bagian dari alat bukti dalam pembuktian, maka
perkembangan alat bukti surat ini, berkembang sesuai dengan kemajuan
ilmu pengetahuan dan tehnologi, dengan diterimanya beberapa alat bukti
surat elektronik, email, sms dan sebagainya. Hal yang penting dalam
perkara tindak pidana korupsi adalah Surat resmi dari Instansi atau
lembaga tinggi negara Badan Pemeriksa Keuangan Negara (BPK), maupun
Pusat PelaporanTransaksi Keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan Pembangunan,
Inspektorat Jenderal diberbagai departemen, hasil audit Independen
serta Laporan masyarakat lainnya.
Dimaksudkan dengan alat
bukti surat, yakni suatu surat yang dibuat atas kekuatan sumpah jabatan
atau dikualifikasikan dengan sumpah; yakni berita acara dan surat lain,
dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum, yang berwenag, atau
yang dibuat dihadapan yang membuat keterangan tentang kejadian atau
keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai
dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu. Termasuk
surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang undangan, atau
yang dibuat oleh pejabat mengenai hal, yang termasuk dalam tata laksana,
yang menjadi tanggungjawabnya, dan yang diperuntukan bagi pembuktian
sesuatu hal, atau suatu keadaan.. Surat keterangan dari seorang ahli,
yang membuat pendapat tentang keahliannya, mengenai sesuatu hal, atau
sesuai keadaan berdasarkan keahliannya, serta surat lain, yang hanya
dapat berlaku, jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang
lain.
RUU KUHP, Pasal 35, menentukan, dalam hal terdapat
dugaan kuat, bahwa untuk pengungkapan suatu tindak pidana, data yang
diperlukan dapat diperoleh dari data yang diperlukan dapat diperoleh
dari surat, buku atau data tertulis yang lain yang belum disita,
penyidik melakukan penggeledahan, dan jika perlu dapat melakukan
penyitaan atas surat,surat, buku atau data tertulis yang lain yang belum
disita, penyidik melakukan penggeledahan, dan jika perlu dapat
melakukan penyitaan atas surat,buku atau data tertulis yang lain
tersebut. Pasal 36, menentukan, bahwa apabila berdasarkan pengaduan yang
diterima terdapat surat atau tulisan palsu atau dipalsukan atau diduga
palsu oleh penyidik, untuk kepentingan penyelidikan, penyidik dapat
meminta keterangan mengenai hal itu kepada ahli. Pasal 79, Penyitaan
surat atau tulisan dari pejabat atau seseorang yang mempunyai kewajiban
menurut undang undang untuk merahasiakannya, sepanjang tidak menyangkut
rahasia negara, hanya dapat dilakukan atas persetujuan pejabat atau
seseorang tersebut atau atas izin khusus hakim komosaris setempat,
kecuali undang undang menentukan lain. Pasal 85 RUU KUHAP, menentukan
tentang pemeriksaan surat, bahwa penyidik berhak membuka, memeriksa dan
menyita surat yang dikirim melalui kantor pos, perusahaan telekomunikasi
atau perusahaan pengangkutan, jika surat tersebut dicurigai dengan
alasan yang kuat mempunyai hubungan dengan perkara pidana yang salin
diperiksa.
4. Alat Bukti Petunjuk
Penerapan alat bukti
petunjuk oleh hakim dalam prakteknya, digunakan dengan sangat hati-hati,
karena sangat dekat sifat kesewenang wenangan yang didominasi oleh
penilaian subjektif. Oleh karenanya hakim dalam memggunakan alat bukti
petunjuk harus pebuh kearifan dan bijaksana, dan penuh kecermatan
berdasarkan hati nuraninya, sebagaimana ditentukan pada pasal 188(3),
sehingga hakim sedapat mungkin menghindari penggunaan alat bukti
petunjuk dalam penilaian pembuktian kesalahan terdakwa, sehingga dngan
sangat penting dan mendesak saja alat bukti dipergunakan. Karena dalam
praktek selalu terdapat kelemahan pembuktian di peradilan, disebabkan
aparat penyidik kurang sempurna mengumpulkan pembuktian, bahkan
sebagaimana dalam berita acara pemeriksaan sulit sekali untuk dipahami.
Sehingga dalam prakteknya mengalami kesulitan, sebagaimana putusan MARI
tanggal 27 juni 1983,No.185K/Pid/1982. Pengadilan Negeri maupun
Pengadilan Tinggi telah menjatuhkan hukuman pidana terhadap terdakwa.
Penjatuhan hukuman hanya didasarkan alat bukti petunjuk yang
ditarik dan diperoleh hakim dari pengakuan terdakwa di luar sidang, maka
putusan itu dibatalkan oleh MARI. Cara memperoleh alat bukti petunjuk
hakim harus mencari petunjuk dari segala sumber yang dapat dipergunakan
mengkonstruksi alat bukti petunjuk terbatas dari alat-alat bukti yang
secara limitative ditentukan dalam pasal 188.
5. Keterangan Terdakwa
Alat bukti keterangan terdakwa merupakan urutan terakhir dalam
Pasal 184 ayat (1). Penempatannya pada urutan terakhr inilah salah satu
alasan yang dipergunakan untuk menempatkan proses pemeriksaan keterangan
terdakwa dilakukan belakangan sesudah pemeriksaan keterangan saksi.
Dalam HIR, alat bukti ini disebut “pengakuan tertuduh”. Apa sebabnya
istilah ini tidak dipakai lagi dalam KUHAP, dan ditukar dengan sebutan
“keterangan terdakwa”, tidak diperoleh keterangan dalam penjelasan
KUHAP.
Ditinjau dari keluasan pengertian. Pada istilah
“keterangan terdakwa”, sekaligus meliputi “pengakuan” dan
“pengingkaran”. Sedang dalam istilah “pengakuan tertuduh”, hanya
terbatas pada pernyataan pengakuan itu sendiri tanpa mencakup pengertian
pengingkaran. Oleh Karena itu, keterangan terdakwa sebagai alat bukti,
sekaligus meliputi pernyataan “pengakuan” dan “pengingkaran”, dan
menyerahkan penilaiannya kepada hakim, yang mana dari keterangan
terdakwa sebagai ungkapan pengakuan dan yang mana pula dari keterangan
itu bagian yang berisi pengingkaran. Lain halnya pada HIR, di situ
dipisah secara tegas yang mana pengauan dan yang mana hal yang
diingkari. Walaupun demikian, dalam pelaksaan KUHAP pun tidak akan
mengurangi wewenang hakim untuk menanyakan dan memintakan penjelasan
kepada terdakwa bagian mana dari keterangannya yang bersifat pengakuan,
dan yang mana yang diingkari. Dengan demikian, perbedaan pegertian ini
ditinjau dari segi yuridis dikaitkan dengan pelaksanaan dalam penegakan
hukum, hanya bersifat teoritis belaka.
Istilah keterangan
terdakwa lebih simpatik dan manusiawi. Ditinjau dari segi yuridis
keterangan terdakwa lebih simpatik dan lebih manusiawi jika dibandingkan
dengan istilah pengakuan terdakwa yang dirumuskan dalam HIR, istilah
pengakuan terdakwa, seolah-olah terdapat unsur “paksaan” kepada terdakwa
untuk mengakui saja kesalahannya. Perkataan pengakuan mengandung
kurangnya keleluasaan mengutarakan segala sesuatu yang diperbuat,
dilihat, dan dialami sendiri oleh terdakwa. Hal ini bertendensi
seolah-olah pemeriksaan itu semata-mata mengejar pengakuan terdakwa,
walaupun sesuai dengan iklim dan sistem pemeriksaan yang dianut pada
zaman kolonial, yang sedikit banyak masih diwarnai cara “inkuisitur”.
Sistem pemeriksaan yang sifatnya lebih cenderung menyudutkan terdakwa
pada posisi seolah-olah terdakwa yang sedang diperiksa, sejak semula
sudah danggap bersalah. Metode pemeriksaan terdakwa yang dianut KUHAP,
sejalan dengan pengakuan KUHAP terhadap hak asasi terdakwa sebagai
seorang yang harus diperlakukan secara manusiawi. Sikap dan pendekatan
hakim dalam pemeriksaan persidangan, wajib mencerminkan persamaan hak
dan kedudukan antara terdakwa dengan penuntut umum, sekaligus
pemeriksaan sidang pengadilan benar-benar berdasarkan asas praduga tak
bersalah, untuk memahami pengertian keterangan terdakwa sebagai alat
bukti, yakni:
Apa yang terdakwa “nyatakan” atau “jelaskan” di
sidang pengadilan, dan apa yang dinyatakan atau dijelaskan, tentang
perbuatan yang diketahui, dialami sendiri dalam peristiwa pidana yang
sedang diperiksa.Tidak semua keterangan terdakwa dinilai sebagai alat
bukti yang sah, untuk itu diperlukan beberapa asas sebagai landasan
berpijak, antara lain: Keterangan itu dinyatakan di sidang
pengadilan.Tentang perbuatan yang dilakukan, diketahui sendiri atau
alami sendiri. Sebagai asas kedua, supaya keterangan terdakwa dapat
dinilai sebagai alat bukti, keterangan itu merupakan pernyataan atau
penjelasan:Tentang perbuatan yang “dilakukan terdakwa”.Tentang apa yang
diketahui sendiri oleh terdakwa. Apa yang dialami sendiri oleh terdakwa.
Keterangn terdakwa hanya merupakan alat bukti terhadap dirinya sendiri.
Keterangan terdakwa saja tidak cukup membuktikan kesalahannya. Asas ini
ditegaskan dalam Pasal 189 ayat (4) KUHAP.
Alat bukti
tidak boleh diperoleh secara melawan hukum, sehingga pemancingan tidak
diperbolehkan. Hasil penyidikan adalah rahasia dan dilarang keras
penyidik memberikan hasil penyidikan. Di Indonesia tampaknya masyarakat
menghendaki penyidikan transparan, tujuan penyidikan adalah rahasia,
sehingga menjaga praduga tidak bersalah, disampaing itu untuk
kepentingan penyidikan sendiri, sehingga tersangka tidak akan mudah
untuk menghilangkan alat alat bukti, atau mempengaruhi saksi. Dalam
hukum acara pidana mendatang alat alat bukti dikenal sebagai barang
bukti; meliputi surat surat, bukti elektronik, keterangan seorang ahli,
keterangan seorang saksi, keterangan terdakwa, dan pengamatan hakim.
Pada hakikatnya asas ini, hanya merupakan penegasan kembali
prinsip batas minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183. Sedikit
pun tidak ada perbedaan penegasan Pasal 189 ayat (4) dengan prinsip
batas minimum pembuktian yang diatur Pasal 183. Asas batas minimum
pembuktian ini tidak berbeda dengan apa yang yang ditentukan pada Pasal
189 ayat (4), dapat disimpulkan, bahwa alat bukti keterangan atau
pengakuan terdakwa, bukan alat bukti yang memiliki sifat menentukan dan
mengikat. Keterangan Terdakwa di Luar Sidang (The Confession Outside
the Court). Salah satu asas penilaian yang menentukan sah atau tidaknya
keterangan terdakwa sebagai alat bukti, keteranga itu harus terdakwa
dinyatakan di sidang pengadilan. Dengan asas ini dapat diketahui, bahwa
keterangan terdakwa yang di luar sidang pengadilan, sama sekali tidak
mempunyai nilai sebagai alat bukti yang sah. Akan tetapi, apakah
pernyataan di luar sidang dapat diketahui maknanya sebagaimana Pasal 189
ayat (2) KUHAP.
Beberapa putusan Mahkamah Agung, yang masih
tetap dipergunakan badan peradilan sebagai pedoman, atau stare decisis
dalam praktek., yakni ; Dapat dipergunakan “sebagai petunjuk”.Pencabutan
harus berdasar alasan. Keterangan pengakuan yang diberikan di luar
sidang, dapat dicabut terdakwa kembali di sidang pengadilan, mesti
mempunyai alasan yang berdasar dan logis. Pencabutan kembali tanpa
didasarkan alasan yang logis adalah pencabutan yang tidak dapat
dibenarkan hukum, sebagaimana yang ditegaskan oleh beberapa
yurisprudensi, yang dipedomani oleh praktek peradilan sampai
sekarang.Kekuatan Pembuktian Keterangan Terdakwa.Secara sepintas lalu
sudah disingggung juga mengenai kekuatan pembuktian alat bukti
keterangan terdakwa. Seperti yang telah diungkapkan, seribu kali pun
terdakwa memberikan pernyataan pengakuan sebagai pelaku dan yang
bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, pengakuan
ini tidak boleh dianggap dan dinilai sebagai alat bukti yang sempurna,
menentukan dan mengikat. Seandainya pembuat undang-undang menetapkan
nilai pengakuan sebagai alat bukti yang sempurna, menentukan dan
mengikat, ketentuan yang seperti itu memaksa hakim untuk tidak boleh
beranjak dari alat bukti pengakuan tersebut.
Hakim secara
mutlak harus memutuskan perkara atau alasan pembuktian pengakuan.
Ketentuan seperti ini sangat berbahaya. Karena seperti apa yang telah
diterangkan terdahulu, orang jahat akan banyak berkeliaran dibelakang
pengakuan orang yang diupah. Akibatnya orang yang kaya yang mampu dan
jahat akan semakin jahat. Dia akan tetap bebas berkeliaran
ditenga-tengah masyarakat dengan jalan membeli orang miskin yang mau
mengaku sebagai orang yang bertanggung jawab atas tindak pidana yang
terjadi. Akibat buruk yang paling jauh, penegakan hukum dapat
diperjualbelikan oleh mereka yang punya duit. Untunglah pembuat
undang-undang tidak menetapkan ketentuan yang seperti itu, sehingga
kecil kemungkinan terdapat orang jahat yang berlindung dibalik pengakuan
seorang terdakwa bayaran.
Bertitik tolak dari tujuan
mewujudkan kebenaran sejati, undang-undang tidak dapat menilai
keterangan atau pengakuan terdakwa sebagai alat bukti yang memiliki
nilai pembuktian yang sempurna, mengikat dan menentukan. Dengan
demikian, nilai kekuatan pembuktian alat bukti keterangan atau pengakuan
terdakwa adalah sebagai berikut :Sifat nilai kekuatan pembuktiannya
adalah bebas.Harus memenuhi batas minimum pembuktian. Harus memenuhi
asas keyakinan hakim. Pembalikan beban pembuktian, secara teoritis,
dikenal, Pertama Teori hukum pembuktian, menurut keyakinan hakim, dan
tidak berdasarkan pada suatu peraturan.Kedua. Teori Bedasarkan pada
alasan yang logis. Ketiga. Bedasarkan pada Undang Undang secara Positif.
Titik tolaknya adalah pada bukti yang ditentukan secara limitatif dalam
undang undang. Ketiga Hukum pembuktian menurut undang undang secara
negatif, yakni hanya boleh menjatuhkan pidana kepada terdakwa, bilamana
alat bukti itu secara limitatif ditentukan undang undang, dan didukung
pula oleh keyakinan hakim, terhadap eksistensi alat alat bukti.
Adapun beban pembuktian pada penuntut umum, sebagai konsekwensi dari
dari alat alat bukti dan barang bukti secara akurat, untuk meyakinkan
hakim tentang kesalahan terdakwa.Konsekwensi logis dari beban pembuktian
pada penuntut umum ini, berkolerasi dengan asas praduga tidak bersalah,
dan aktualisasi dari asas tidak mempersalahkan diri sendiri(non self
discrination). Dalam kontek, maka terdakwa berperan aktif, untuk
menyatakan, bahwa dirinya bukan sebagai pelaku tindak pidana. Oleh
karena itu, terdakwalah di depan sidang pengadilan, yang akan menyiapkan
segala beban pembuktian, dan bilamana tidak membuktikan, maka terdakwa
dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana. Pada asasnya teori beban
pembuktian ini dikenal sebagai teori beban pembuktian (omkering van het
bewijslaat, atau Shifing of burden of proof).
Adapun
perspektif teoritis dan praktek teori beban pembuktian yang bersifat
murni, maupun yang bersifat terbatas, pada hakekatnya, pembalikan beban
pembuktian tersebut merupakan suatu penyimpangan hukum pembuktian, dan
juga merupakan suatu tindakan luar biasa terhadap tindak pidana
korupsi.Konkritisasi beban pembuktian, secara berimbang, maka penuntut
umum maupun penasehat hukum, yang saling membuktikan di depan sidang
pengadilan. Beban pembuktian tersebut dapat dibagi menjadi dua
katagorisasi yakni;
1. Sistem beban pembuktian biasa atau
konvensional. Penuntut umum membuktikan kesalahan terdakwa dengan
mempersiapkan alat alat bukti, sebagaimana ditentukan oleh undang
undang. Kemudian terdakwa dapat menyangkal alat alat bukti dan beban
pembuktian dari penuntut umum.
2. Teori pembalikan beban pembuktian,
absolut atau murni, yakni terdakwa atau penasehat hukum, membuktikan
ketidakbersalahan terdakwa. Selanjutnya dikenal juga beban pembuktian
yang bersifat terbatas dan berimbang, yakni terdakwa dan penuntut umum
saling membuktikan kesalahan, dan ketidakbersalahan dari terdakwa. Pada
hakekatnya asas pembalikan beban pembuktian dalam sistem hukum pidana
Indonesia, dikenal dalam tindak pidana korupsi sebagaimana ditentukan
dalam UU No. 31 Tahun 2009 jo.UU No. 20 Tahun 2001, selanjutnya dalam
undang undang pencucian uang, undang undang perlindungan konsumen, dan
sebagainya.
Beban pembuktian dalam tindak pidana korupsi,
yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dalam peradilan
tindak pidana korupsi, dalam prakteknya, sangat mengedepankan
kesempurnaan alat alat bukti, dan persesuaiannya, sehingga Hakim, dengan
mudah memaknai dan menilai beban pembuktian, yang diterapkan dan
dipertahankan oleh Penuntut umum dan tersangka maupun kuasanya, dalam
perhelaan di Pengadilan. Hingga kini penerapan beban pembuktian terbalik
yang murni, belum diterapkan dalam praktek peradilan tindak pidana
korupsi, karena perundang undangan belum memberikan ruang
keberlakuannya. Alasan yang paling mengemuka, adalah pelanggaran hak
asasi manusia. Karena kemungkinan penyalahgunaan yang berlebihan dari
penegakan hukum.
Dalam RUU KUHAP, telah diperkenalkan adanya
promote adversarial trial procedures. Memperkenalkan advrsarial
khususnya, pada tahap persidangan. Adanya kesempatan untuk memberikan
pertanyaan dari pihak jaksa penuntuty umum dan penasehat hukum, dan
kesempatan untuk menghadirkan saksi, untuk memperkuat dan memperjelas
dakwaan. Peran pengadilan menentukan pencarian fakta secara aktif. RUU
KUHAP, memperluas a;at bukti, yakni bukti elektronik dan barang bukti
physical evidence, bertujuan untuk mempermudah dengan cara meninggalkan
segala pleksibilitas bagi jaksa dan penasehat hukum, dengan menampilkan
alat bukti baru yang diperoleh di luar negeri, dianggap sebagai alat
bukti yang sah, jika diperoleh secara sah, berdasarkan hukum di negara
hukum tersebut dengan tidak melanggar konstitusi, hukum dan perjanjian
kerjasama dengan Indonesia.
Bukti elektronik, yang dapat
dikaitkan dengan hukum pidana, sebenarnya dalam praktek mengalami
kesulitan. Khususnya tindak pidana yang menggunakan komputer, yakni
tidak adanya suatu patokan, atau dasar penggunaan bukti elektronik ini
dalam perundang undangan. Padahal dalam kejahatan dengan menggunakan
komputer, bukti yang akan mengarahkan suatu peristiwa pidana, adalah
berupa data data elektronik, baik yang berada dalam komputer itu sendiri
(hard disk/floppy disc), atau yang merupakan hasil print out, atau
dalam bentuk lain, berupa jejak (path), dari suatu aktivitas penggunaan
komputer. Sehingga bilamana bukti elektronik, dijadikan dasar dalam
pembuktian, maka diperlukan kekuatan pembuktian melalui keterangan ahli.
Dalam praktek setidaknya panduan untuk menggunakan, alat bukti
elektronik dalam mengungkap kejahatan komputer yakni; Adanya pola (modus
operandi), yang relatif sama dalam melakkan tindak pidana dengan
menggunakan komputer. Adanya persesuaian antara satu peristiwa dengan
peristiwa yang lain.
Pasal 83 RUU KUHAP, menentukan
tentang penyadapan., bahwa penyadapan pembicaraan melalui telepon atau
alat telekomunikasi yang lain, dilarang, kecuali dilakukan terhadap
pembicaraan terkait dengan tindak pidana serius atau diduga keras akan
terjadi tindak pidana serius tersebut, yang tidak dapat diungkap jika
tidak dilakukan penyadapan. Tindak pidana serius meliputi; Terhadap
keamanan negara, perampasan kemerdekaan, pencurian dengan kekerasan,
pemerasan, pengancaman, perdagangan orang, penyeludupan, korupsi,
pencucian uang, pemalsuan uang, keimigrasian, mengenai bahan peledak dan
senjata api, terorisme, pelanggaran ak asasi manusia yang berat,
psikotrapika dan narkotika dan pemerkosaan. Penyadapan harus dengan
surat izin, kecvuali dalam hal mendesak, setelah itu wajib untuk
memberitahukannya kepada hakim komisaris.
Pasal 174 RUU KUHAP,
menentukan tentang pembuktian dan putusan, Hakim dilarang menjatuhkan
pidana kepada terdakwa, kecuali apabila hakim memperoleh keyakinan
dengan sekurang kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah, bahwa suatu
tindak pidana benar benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah
melakukannya.
Pasal 175, menentukan alat bukti yang sah
mencakup; barang bukti, susat surat, bukti elektronik, keterangan
seorang ahli, keterangan seorang saksi,keterangan terdakwa; dan
pengamatan hakim. Alat bukti yang sah, harus diperoleh secara tidak
melawan hukum. Hal hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu
dibuktikan. Barang bukti, adalah alat atau sarana yang dipakai untuk
melakukan tindak pidana atau yang menjadi objek tindak pidana atau
hasilnya atau bukti fisik atau materiil yang dapat menjadi bukti,
dilakkannya tindak pidana.
Surat, dibuat berdasarkan sumpah
jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, yakni; berita acara dan surat
lain, dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat mum yang berwenang
atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian
atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialami sendiri disertai dengan
alasan yang tegas dan jelas tentang keterangannya; Surat yang dibuat
menurut ketentuan peraturan perundang undangan dibuat oleh pejabat,
mengenai hal yang termasuk dalam ketatalaksanaan yang menjadi
tanggungjawabnya, dan yang diperuntukkan bagi pembuktian suatu hal atau
suatu keadaan; Surat keterangan ahliyang memuat pendapat berdasarkan
keahlannya mengenai suatu hal atau suatu keadaan yang diminta secara
resmi darinya; Surat lain yang hanya dapat berlaku, jika ada hubungannya
dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
Pasal 178.Bukti elektronik, adalah sekalian bukti dilakkannya tindak pidana berupa sarana yang memnakai elektronil.
Pasal 179. Keterangan ahli, adalah segala hal yang dinyatakan
oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus, disidang persidangan.
Pasal 180, menentukan bahwa keterangan saksi, sebagai alat bukti,
segala hal yang dinyatakan oleh saksi di siang pengadilan. Dalam hal
saksi tidak dapat dihadirkan dalam persidangan, keterangan saksi dapat
diberikan secara jarak jauh melalui alat komunikasi audio visual dengan
dihadiri oleh penasehat hukum dan penuntut umum.. Keterangan satu saksi
tidak cukup untuk membuktikan, bahwa terdakwa bersalah terhadap
perbuatan yang didakwakan kepadanya. Ketentaun ini tidak berlaku
terhadap, apabila keterangan saksi diperkuat dengan alat bukti lain..
Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri tentang suatu kejadian
atau keadaan dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah.. Keterangan
beberapa orang saksi harus aling berhubungan satu sama lain, sehingga
dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu. Pendapat
atau rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran belaka, bukan merupakan
keterangan saksi.
Dalam menilai kebenaran saksi hakim wajib
memperhatikan; Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang
lain; Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain;
Alasan yang yang mungkin digunakan oleh saksi untuk memberi keterangan
tertentu; Cara hidup dan akesusilaan saksi serta segala sesuatu yang
pada umumnya dapat mempengaruhi diperayanya keterangan tersebut;
dan/a;at keterangan saksi sebelum dan pada waktu sidang. Keterangan
saksi yang tidak disumpah, yang sesuai satu dengan yang lain, walaupun
tidak merupakan alat bukti, dapat dipergunakan sebagai tambahan alat
bukti yang sah, apabila keterangan tersebut sesuai dengan keterangan
dari saksi yang disumpah.
Pasal 181. Menentukan bahwa
keterangan terdakwa, adalah segala hal yang dinyatakan oleh terdakwa di
dalam sidang pengadilan tentang perbuatan yang dilakukan atau diketahui
sendiri atau dialami sendiri. Keteranga terdakwa yang diberikan di luar
sidang pengadilan, dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di
sidang pengadilan, dengan ketentuan bahwa keterangan tersebut didukung
oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan
kepadanya. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya
sendiri. Keterangan terdakwa saja, tidak cukup untuk membuktikan bahwa
terdakwa bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya,
melainkan harus disertai alat bukti yang sah lainnya.
Pasal
182, menentukan bahwa pengamatan hakim selama sidang, adalah didasarkan
pada perbuatan, kejadian, keadaan, atau barang bukti yang karena
persesuaiannya, baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak
pidana itu sendiri, yang menandakan telah terjadi suatu tindak pidana
dan siapa pelakunya. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari satu
pengamatan hakim selama sidang dilakkan oleh hakim dengan arief dan
bijaksana, setelah hakim mengadakan pemeriksaan dengan cermat dan
seksama berdasarkan hati nurani.
Pasal 183, menentukan bahwa,
alat bukti yang diberikan oleh pemerintah, orang, atau perusahaan negara
lain dipertimbangkan sebagai alat bukti yang sah, apabila diperoleh
secara sah berdasarkan pertauran perundang undangan negara lain
tersebut. Alat bukti itu dapat juga dipertimbangkan jka terdapat
perbedaan prosudur untuk mendapatkannya, alat bukti tersebut antara
peraturan perundang undangan yang berlaku di Indonesia, dengan peraturan
perundang undangan yangberlaku di negara tempat alat bukti tersebut
diperoleh, sepanjang tidak melanggar peraturan perundang undangan atau
perjanjian Internasional.
Pasal 184, menentukan bahwa, untuk
pembuktian perkara di Indonesia, saksi yang bertempat tinggal di luar
negeri diperiksa oleh pejabat yang berwenang dinegara tersebut, dan
keterangan diserahkan kepada pemerintah Indonesia, dalam hal Indonesia
mempunyai perjanjian bilateral dengan negara tersebut atau berdasarkan
asas resiprositas. Ketrangan disampaikan kepada penyidik, atau penuntut
umum di Indonesia, sesuai dengan tahapan pemeriksaan perkara,melalui
instansi yang berwenang. Permintaan kepada pemerintah negara lain, untuk
memeriksa saksi yang berada di negara tersebut, harus dilengkapi dengan
daftar keterangan yang diperlukan yangharus dijawab oleh saksi. Dalam
hal keterangan dilimpahkan ke pengadilan, maka keterangan tersebut
mempunyai kekuatan pembuktian sebagai alat bukti yang sah.
Pasal 185, menentukan bahwa, jika ada permintaan dari negara lain, untuk
mengambil keterangan saksi atau melakukan tindakan hukum lain di
Indonesia, untuk kepentingan pembuktian perkarta yang ada di negara
peminta, permintaan tersebut dipenuhi sesuai dengan peraturan perundang
undangan yang berlaku. Tata cara pengambilan keterangan saksi atau
tindakan lain, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang undang ini.
Pasal 200 Tentang saksi mahkota, bahwa salah seorang tersangka
atau terdakwa yang peranannya paling ringan dapat dijadikan saksi alam
perkara yang sama, dan dapat dibebaskan dari penuntutan pidana, apabila
saksi membantu mengungkapkan keterlibatan tersanka lain, yang patut
dipidana dalam tindak pidana tersebut. Apabila tidak ada tersangka atau
terdakwa yang perananya ringan dalam tindak pidana, maka tersangka atau
terdakwa yang mengaku bersalah, berdasarkan pasal 199, dan membantu
secara substantif mengungkap tindak pidana, dan peran tersangka lain,
dapat dikurangi pidananya dengan kebijaksanaan hakim pengadilan negeri.
Penuntut umum menentukan tersangka atau terdakwa sebagai saksi mahkota.
E. Keyakinan Hakim
Dalam Putusan Pidana
Hakim
tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali, apabila dengan
sekurang kurangnya, dua alat bukti yang sah, Ia memperoleh keyakinan,
bahwa suatu tindak pidana benar benar terjadi, dan bahwa terdakwalah
yang bersalah melakukannya.
Sehingga dapatlah diketahui, bahwa
pembuktian yang dianut oleh KUHAP, adalah pembuktian berdasarkan pada
undang undang, karena untuk pembuktian, undang undanglah yang menentukan
tentang jenis dan banyaknya alat bukti yang harus ada. Disebut juga
negatif, karena adanya jenis jenis lain dan banyaknya alat alat bukti
yang ditentukan oleh undang undang itu belum dapat, membuat hakim harus
menjatuhkan pidana bagi seseorang terdakwa, apabila jenis jenis dan
banyaknya, alat alat bukti itu, belum dapat menimbulkan keyakinan pada
dirinya, bahwa suatu tindak pidana itu, belum dapat menimbulkan
keyakinan pada dirinya, bahwa suatu tindak pidana itu, benar benar telah
terjadi, dan bahwa terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana
tersebut.
Putusan hakim dalam peradilan sangat diperlukan guna
penyelesaian perkara pidana. Putusan hakim berguna untuk terdakwa dalam
memperoleh kepastian hukum (rechtzakeirheid) tentang statusnya, dan
sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya, terhadap putusana
tersebut, dalam hal menerima putusan, melakukan upaya hukum verset,
banding atau kasasi, grasi. Selanjutnya menelaah visi hakim yang
mengadili perkara. Putusan hakim adalah mahkota dan puncak pencerminan
nilai nilai keadilan, kebenaran hakiki, hak asasi manusia, penguasaan
hukum atau fakta secara mapan, mumpuni dan faktual, serta visualisasi
etika, mentalitas dan moralitas dan hakim yang bersangkutan.
Putusan hakim pidana pada umumnya;
1. Berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntuan hukum.
2. Putusan hakim dibuat dalam bentuk tertulis
3. Putusan hakim dibuat dengan tujuan untuk meyelesaikan perkara pidana.
Dalam RUU KUHP, Pasal 265, menentukan, bahwa putusan hakim
pengadilan negeri terdiri dari; Putusan bebas; Putusan lepas dari seala
tuntutan hukum; Putusan yang menyatakan tuntutan penuntut umum tidak
dapat diterima; atau Putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang
lebih ringan. Pidana yang diputuskan dalam putusan peninjauan kembali,
tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan ang
dimintakan peninjauan kembali. Apabila terpidana telah menjalani
putusan, yang diajukan peninjauan kembali dan ternyata putusan
peninjauan kembali membebaskan, melepaskan dari segala tuntutan hukum,
putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum atau putusan dengan
menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan, maka pemohon peninjauan
kembali atau ahli warisnya wajib diberikan ganti kerugian dan
rehabilitasi.
Sehingga putusan hakim dalam praktik terdapat suatu sifat atau sikaf;
1. Berpikir ilmiah, logis, sistematis, tertib.
2. Sabda pendita ratu. Putusannya harus bisa dipertanggungjawabkan secara yuridis, sosiologis dan filosofis.
3. Dapat difungsikan dan dapat dikoreksi.
4. Berpikir secara integralistik atau manunggal, partisipatif terhadap nilai nilai yang hidup dalam masyarakat.
5. Tidak lekas puas, haus akan ilusi dan pengetahuan.
6. Kesatria.
Adapun
amar putusan hakim merupakan aspek penting dari isi putusan, dimulai
dengan kata Mengadili. Pada hakekatnya terhadap amar/diktum putusan
hakim dalam perkara pidana, berisikan materi tentang hal hal sebagai
berikut;
1. Pernyataan yang menyatakan terdakwa terbukti atau tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum, beserta kualifikasi
dari tindak pidana yang terbukti tersebut. Apabila oleh majelis hakim
terdakwa dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut
hukum, maka harus jga disertai pembebasan terdakwa dari dakwaan.
2.
Lamanya pidana (straffoeemeting, sentence), yang dijatuhkan majelis
hakim kepada terdakwa. Misalnya menjatuhkan pidana kepada terdakwa
dengan pidana penjara selama satu tahun satu bulan lima belas hari.
3.
Bahwa terdakwa apabila dalam tahanan, sesuai dengan pasal 22 (4) KUHAP.
Dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. Misal. Menetapkan
bahwa lamanya terdakwa dalam tahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana
yang dijatuhkan.
4. Pernyataan yang berupa perintah. Apakah majelis
hakim akan menahan terdakwa. Atau dibebaskan sebagaimana ditentukan
menurut pasal 197(1) KUHAP.
5. Adanya penetapan majelis hakim
terhadap barang bukti (pasal 197(1) uruf i, Pasal 46(2), 194(1) KUHAP.
Apakah akan dikembalikan kepada pihak yang paling berhak, dirampas untuk
negara, dimusnahkan, dirusakan sehingga tidak dapat dipergunakan lagi,
atau dilampirkan alam berkas perkara lainnya, pembebanan kepada terdakwa
untuk membayar biaya perkara kepada negara, apabila terdakwa
dibebaskan/vrijspraak, dan dilepaskan dari tuntutan hukum/onslag van
alle rechtsvervolging, terhadap pembebenan biaya perkara ini. Bagian
akhir dari putusan, adalah tentang tanggal musyawarah/diputuskannya
perkara, diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum. Musyawarah
hakim, sangat mempengaruhi amar/diktum putusan.
Eksekusi atau
pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap, dilaksanakan oleh jaksa,, bukan lagi oleh penuntut umum, setelah
menerima salinan putusan dari panitera pengadilan negeri. Dalam hal
putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, maka harus segera
dilepaskan dari tahanan, dan barang bukti dikembalikan pada, kecuali
dalam putusan pidana bersayarat, terpidana bilamana tidak ditahan maka
harus segera dimasukkan pada lembaga pemasyarakatan, untuk menjalani
putusannya. Bilaman terpidana ditahan, jaksa segera membuat berita acara
pelaksanaan putusan hakim dan diserahkan kepada pihak lembaga
pemasyarakatan, dan berubahlah status dari tahanan menjadi narapidana.
Menurut
RUU KUHAP, PASAL 268, Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dilakkan oleh Jaksa, salinan putusan
dikirim panitera kepada jaksa.
Pasal 269. Dalam hal pidana mati
dilaksanakan terhadap terpidana, pelaksanaannya didasarkan pada
ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku.
Pasal 270. Jika
terpidana dipidana penjara dan kemudian dijatuhkan pidana sejenis,
sebelum terpidana menjalani pidana yang dijatuhkan terdahulu, pidana
tersebut dijalankan berturut turut dimulai dengan pidana yang dijatuhkan
terlebih dahulu.
Pasal 271. Menentukan bahwa jika putusan pengadilan
menjatuhkan pidana denda, kepada terpidana diberikan waktu satu bulan,
ntuk membayar denda, kecuali dalam putusan acara pemeriksaan cepat yang
harus seketika dilunasi. Dalam hal terdapat alasan yang kuat, jangka
waktu dapat diperpanjang paling lama satu bulan. Jika putusan pengadilan
menetapkan barang bukti dirampas untuk negara, selain pengecualiaan,
jaksa mengusahakan benda tersebut kepada kantor lelang negara dan dalam
waktu tiga bulan dilelang yang hasilnya dimasukkan ke kas negara sebagai
hasil kejaksaan; jangka waktunya ditentukan, dapat diperpanjang untuk
paling lama satu bulan.
Pasal 272, menntukan dalam hal pengadilan
menjatuhkan putusan ganti kerugian, pelaksanaannya dilakukan sesuai
dengan ketentuan mengenai pelaksanaan pidana denda. Jaksa wajib
menyerahkan ganti kerugian kepada korban, paling lama satu hari setelah
ganti kerugian diterima.
BAB
KETIGA
BEBAN PEMBUKTIAN DALAM
PRAKTIK PERADILAN PERDATA
A.Sumber Dan Asas Asas
Hukum Acara Perdata
Objek
dari Ilmu hukum acara perdata, adalah keseluruhan peraturan, yang
bertujuan untuk melaksanakan dan mempertahankan, atau menegakkan hukum
perdata materiil, dengan perantaraan kekuasaan negara. Hal demikian
terjadi dalam peradilan, untuk melaksanakan hukum, dalam hal konkrit,
adanya tuntutan hak, fungsi itu dijalankan oleh suatu badan yang berdiri
sendiri, yang diadakan oleh negara, serta bebas dari pengaruh apa saja,
dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan bertujuan
untuk mencegah perbuatan yang melawan hukum.
Hukum acara perdata
dimulai dengan pendahuluan,yakni persiapan untuk menuju kepada penentuan
atau pelaksanaan, tahap penentuan diadakan pemeriksaan peristiwa dan
pembuktian sekaligus sampai pada putusannya, dan tahap pelaksanaan
terhadap putusan. Pada hakekatnya hakim perdata, hanya diminta, untuk
mempertimbangkan, benar tidaknya suatu peristiwa, yang diajukan
kepadanya. Untuk mengetahui hukumnya dapat ditanyakan kepada ahlinya.
Pada umumnya, hukum acara perdata dimungkinkan untuk melakukan
penafsiran. Hakim bertindak sebagai stabilator hukum, serta harus
sungguh sungguh menguasai hukum acara perdata.
Dalam suatu proses
gugatan perdata, tugas hakim adalah untuk menyelidiki, suatu hubungan
hukum, yang menjadi dasar gugatan. Adanya hubungan hukum inilah, yang
harus terbukti, apabila penggugat menginginkan kemenangan dalam suatu
perkara. Maka pembuktian menjadi sangat penting, sebagai dasar diterima
atau ditolaknya suatu gugatan. Walaupun tidak semua dalil yang menjadi
dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya, sebab dalil dalil yang
tidak disangkal, apalagi diakui sepenuhnya oleh pihak lawan tidak perlu
dibuktikan lagi.Dalam menjatuhkan putusan beban
pembuktikan, hakim
harus bertindak arief dan bijaksana, serta tidak boleh berat sebelah,
semua peristiwa itu adalah suatu keadaan konkrit, maka harus
diperhatikan oleh hakim secara seksama. Adapun yang tidak perlu
dibuktikan, yakni hal hal atau keadaan keadaan yang telah diketahui oleh
khalayak ramai, disebut juga sebagai fakta motoir.
Dalam suatu
hukum acara perdata yang baik, adalah menjamin bahwa roda pengadilan
dapat berjalan lancar, agar penetapan atau keputusan pengadilan, tentang
masalah hukum, dapat diperoleh dalam waktu yang relatif singkat. Dapat
dilaksanakan dengan cepat, tepat dan murah. Hukum acara itu bersifat
mengabdi pada kepentingan hukum materiil.
1. Sumber Hukum Acara Perdata.
Sumber hukum acara perdata adalah Undang Undang,Tentang Mahkamah
Agung. HIR, untuk jawa dan madura, RBg, untuk luar jawa dan madura.
Selanjutnya sumber hukum acara perdata, dilakukan dalam undang undang
kepailitan, undang undang tentang pengelolaan lingkungan hidup, undang
undang tentang perlindungan konsumen. Yurisprudensi, adat kebiasaan yang
dianut oleh hakim dalam melaksanakan pemeriksaan perkara perdata,
termasuk Perjanjian Internasional. Doktrin. Instruksi dan surat edaran
Mahkamah Agung.
2. Beberapa Asas Hukum Acara Perdata.
a. Hakim Bersifat Menunggu.
Inisiatif untuk melakakukan tuntutan hak, diserahkan sepenuhnya
kepada para pihak. Hakim bersikap menunggu datangnya tuntutan hak (iudex
ne procedat ex officio), Pasal 118 HIR, 142 RBg.
Hakim
tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadilinya, karena hukum tidak
atau kurang jelas mengaturnya. Hakimnya harus dianggap tahu hukumnya
(ius corea novit). Hakim wajib untuk menggali nilai nilai yang hidup
dalam masyarakatnya.
b. Hakim Pasif.
Dalam pemeriksaan
acara perdata, hakim bersikap pasif, dimaksudkan, bahwa ruang lingkup
atau luas pokok sengketa, yang diajukan kepada hakim, untuk diperiksa
pada asasnya, ditentukan oleh para pihak, yang berperkara dan bukanlah
oleh hakim. Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha
untuk mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya
peradilan. Hakim secara aktif memimpin sidang, membantu kedua pihak
dalam memcari kebenaran, hakim harus bersikap tut wuri handayani. Hakim
terikat pada peristiwa yang diajukan oleh para pihak. Para pihak dapat
secara bebas untuk mengakhiri sengketa, dan hakim tidak dapat
menghalanginya. Hakim wajib mengadili seluruh gugatan dan dilarang
menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan
lebih dari pada yang dituntut. (pasal 178(2),(3) HIR,Pasal 189(2),(3)
RBg.
c. Sifat Terbukanya Persidangan.
Pemeriksaan sidang
di pengadilan, pada asasnya terbuka untuk umum, bermakna, bahwa setiap
orang dibolehkan hadir dan mendengarkan pemeriksaan di persidangan.
Tujuan dari asas ini, yakni untuk memberikan perlindungan hak asasi
manusia dalam bidang peradilan, serta untuk menjamin objektivitas
peradilan, dengan mempertanggungjawabkan pemeriksaan yang fair, tidak
memihak serta putusan yang adil kepada masyarakat. (Pasal 19(1) UU No. 4
Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung. Bilamana putusan diucapkan tidak
terbuka untuk umum, maka putusan itu tidak sah, dan tidqk mempunyai
kekuatan hukum, serta mengakibatkan batalnya putusan itu menurut hukum.
Asas ini memberikan manfaat untu adanya sosial kontrol. Kecuali
ditentukan lain oleh undang undang, yang dimuat dalam berita acara yang
diperintahkan oleh hakim, maka peradilan dilakukan secara tertutup.
Perkara Perceraian, atau perzinahan, dinyatakan pintu tertutup, walaupun
harus dibuka dan dinyatakan terbuka.
d. Mendengar Kedua Belah Pihak.
Di dalam hukum acara perdata, kedua pihak, haruslah diperlakukan
sama, tidak memihak dan didengar bersama sama. Bahwa pengadilan
mengadili menurut hukum, dengan tidak membedakan orang, sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 5(1) UU No. 4 Tahun 2004. Dalam pemeriksaan acara
perdata, yang berperkara harus sama sama diperhatikan, berhak atas
perlakuan yang sama dan adil serta masing masing, harus diberi
kesempatan untuk memberi pendapatnya. Audi et alteram paartem. Hal ini
berarti, hakim tidak boleh menerima keterangan, dari salah satu pihak,
lawqn tidak didengar atau tidak diberi kesempatan untuk mengeluarkan
pendapatnya. Pengajuan alat bukti harus dilakukan di muka sidang yang
dihadiri oleh kedua pihak. Pasal 132a, 121(2) HIR, 145(2) Rbg.
e. Putusan Harus Disertai Alasan alasan.
Semua putusan pengadilan, harus memuat alasan alasan putusan yang
dijadikan dasar untuk mengadili, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 25
UU No. 4 Tahun 2004, Pasal 184(1), 319 HIR, Pasal 195, 618 RBg. Alasan
atau argumentasi itu dimaksudkan, sebagai pertanggungjawaban hakim, dari
segala putusannya terhadap masyarakat, para pihak, pengadilan yang
lebih tinggi dan ilmu hukum. Sehingga mempunyai nilai objektif. Karena
adanya alasan alasan itulah, maka putusan mempunyai wibawa dan bukan
karena hakim tertentu, yang menjatuhkannya.Putusan yang tidak ada
alasan, akan menimbulkan masalah subjektivitas hukum, yang bertentangan
dengan ilmu pengetahuan hukum sebelumnya.
f. Beracara Dikenakan Biaya.
Berperkara di pengadilan, pada umumnya dikenakan biaya, biaya itu
meliputi biaya kepaniteraan, biaya surat panggilan, biaya materai. Bagi
setiap warga negara yang tidak mampu mengeluarkan biaya perkara, dapat
mengajukan perkara secara Cuma Cuma (prodeo), dengan mendapatkan izin,
untuk dibebaskan dari pembayaran biaya perkara, dengan mengajukan surat
keterangan tidak mampu, yang dibuat oleh polisi, atau dalam praktek
surat keterangan itu, cukup dibuat oleh camat, dimana domisili yang
bersangkutan. Permohonan perkara prodeo akan ditolak oleh pengadilan,
apabila penggugat ternta bukan orang yang tidak mampu.
g. Tidak Ada Keharusan Mewakilkan.
HIR tidak mewajibkan, para pihak untuk mewakilkan kepada orang
lain, sehingga pemeriksaan dipersidangan terjadi secara langsung,
terhadap para pihak yang langsung berkepentingan. Akan tetapi para pihak
dapat dibantu atau diwakili oleh kuasanya, kalau dikehendakinya. Dengan
demikian hakim tetap wajib, memeriksa sengketa yang diajukan kepadanya,
meskipun para pihak tidak mewakilkan pada kuasanya. Pada hakekatnya
seorang kuasa adalah Sarjana Hukum.
Kekuasaan kehakiman,
adalah kekuasaan yang bebas dari campur tangan pihak pihak di luar
kekuasaan kehakiman. Karenanya kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang
berdiri sendiri. Adapun kebebasan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada
badan badan peradilan, yang merupakan ciri khas dari negara hukum.
Kebabasan peradilan merupakan sifat pembawaan dari setiap peradilan.
Hanya batas dan isi kebebasannya dipengaruhi oleh sistem pemerintahan,
politik, ekonomi dan sebagainya.
Adapun prinsif prinsif
pembagian beban pembuktian dalam praktik peradilan, yakni; Pertama. Yang
harus dibuktikan adalah hal yang positif, maknanya di dalamnya terdapat
fakta atau terkandung suatu peristiwa hukum. Kedua. Hal yang negatif
negatif tidak perlu dibuktikan, karenanya sesuatu yang tidak patut
membebani bukti kepada tergugat mengenai hal negatif, karena tidak
mungkin dapat dibuktikan hal yang tidak diketahuina atau yang
diperbuatnya.Ketiga. Pembebanan secara profesional, bahwa masing masing
pihak dibebani wajib bukti untuk membuktikan dalil gugatan dan dalil
bantahan. Tetapi pihak penggugat dibebani wajib bukti, bilamana tidak
dapat membuktikan dalil gugatannya, maka cukup beralasan untuk
membebaskan tergugat untuk membuktikan dalil bantahannya.Keempat. Siapa
yang menguasai suatu hak atas barang tidak dibebani wajib bukti. Hal ini
didasarkan pada asas kepatutan. Dianggap tidak patut membebani
pembuktian kepada seseorang untuk membuktikan barang yang dikuasainya,
karenanya siapa yang menguasai atau memiliki hak atas suatu barang,
tidak perlu membuktikannya.
B. Beban Pembuktian
Menurut Hukum Acara Perdata
pembuktian
merupakan masalah yang paling penting, dalam hukum acara perdata,
kepada para pihak dipikulkan beban pembuktian bilamana terjadi suatu
proses berperkara. Beban pembuktian dapat menimbulkan kesewenangan,
terhadap pihak yang dibebani, dan memberi keuntungan gratis kepada pihak
yang lain. Karenanya diperlukan pemahaman beban pembuktian, prinsif dan
praktek yang berkenaan dengan penerapannya, yakni prinsif beban
pembuktian, tidak bersikap berat sebelah. Makanya hakim dalam memikulkan
pembebanan pembuktian harus bersikap adil sesuai dengan prinsip fair
trial, dan tidak berat sebelah atau tidak bersikap parsial, tetapi
imparsialitas. Menegakkan resiko alokasi pembebanan. Artinya resiko yang
harus ditanggung oleh masing masing pihak. Beban pembuktian ditujukan
kepada pihak dan mendapatkan alokasi untuk membuktikan, bilamana tidak
mampu membuktikan, maka resikonya adalah kehilangan hak atau kedudukan
atas kegagalan memberi bukti yang relevan. Beban pembuktian adalah
masalah yuridis,Maknanya dalam penerapan dapat diperjuangkan hingga
sampai ketingkat kasasi di Mahkamah Agung. Adanya pedoman beban
pembuktian, yakni berdasarkan undang undang, sebagaimana ditentukan
menurut pasal 163 HIR, pasal 283 Rbg, pasal 1865 KUH Perdata.
berdasarkan teori hak, yakni beban pembuktian bertitik tolak dan
mempertahankan hak, siapa yang mengemukakan hak, wajib membuktikan
haknya tersebut, berarati yang lebih dahulu memikul wajib bukti
dibebankan pada, yang mengajukan mengenai haknya. Beban pembuktian,
berdasarkan teori hukum.,Hakim harus berdasarkan pada hukum dan
menjalankan peraturan perundang undangan, setiap sengketa yang terjadi
dipengadilan Beban pembuktian berdasarkan kepatutan, maknanya
memberikan keseimbangan untung dan ruginya kepada para pihak, kepatutan
sebagai bagian untuk menambah atau memperkuat ketentuan hukum.
Pembuktian
yang dilakukan oleh hakim dalam mengadili perkara, adalah untuk
menentukan hubungan hukum yang sebenarnya terhadap pihak pihak yang
berperkara. Tidak hanya kejadian kejadian atau peristiwa peristiwa saja
yang dapat dibuktikan, akan tetapi adanya sesuatu hak, juga dapat
dibuktikan. Karenanya yang dapat dibuktikan di depan pengadilan adalah
hal hal yang yang menjadi perselisihan, dalam perkara perdata, meliputi
bukti tulisan, bilaman bukti ini kurang cukup, maka dilihat bukti
saksi, persangkaan, bilaman dianggap kurang cukup maka ditambah lagi
dengan bukti sumpah. Sehingga dapat diketahui, bahwa guna mendapatkan
keputusan akhir, maka hakim memerlukan fakta fakta, tentang adanya
bukti.
Hukum Pembuktian adalah sebahagian dari hukum acara perdata
pada umumnya. Dalam praktek di pengadilan, dimana hukum pembuktian dari
HIR dan RBg, maupun pembuktian dari BW. Maka dapat diketahui beberapa
prinsif prinsif yakni. Hal hal yang harus dibuktikan (bewijsobject).Hal
pembagian beban pembuktian (bewijlslastverdeeling).Adapun alat alat
bukti menurut pasal 164 HIR dan Pasal 284 RBg yakni;
Dengan
demikian maka pembuktian merupakan tahap yang menentukan, dalam proses
perkara, karena dari hasil pembuktian, dapat diketahui benar atau
tidaknya suatu gugatan atau bantahan. Sehingga setidaknya ada dua unsur
yang memegang peranan dalam pembuktian, yakni,Pertama. Unsur alat bukti,
yakni membuktikan dengan alat bukti yang sah, dan tidak boleh dengan
setiap alat. Mernutur pasal 164 HIR dan Pasal 1866 BW, ada lima macam
alatbukti, yakni bukti tulisan/surat, bukti saksi, bukti persangkaan,
bukti pengakuan dan bukti sumpah.Kedua. Peraturan pembuktian, dari
kelima macam bukti, maka dapat digunakan sebagai alat bukti, maka
peraturan perundang undangan mengatur cara pembuatan, penggunaan dan
kekuatannya, atau nilainya sebagai alat bukti.
Tentang beban
pembuktian dalam praktek peradilan perdata, adalah adanya keseimbangan
kepentingan para pihak yang berperkara demi tercapainya ketenteraman
masyarakat. Asas umum beban pembuktian sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 163 HIR dan 1865, 1244, 1394, 1769, 1977 (1), 252, 489, 533, 535,,
468 (2) KUH Perdata.
Pembuktian dalam praktek peradilan dapat diketahui yakni;
1.
Hakim karena jabatannya dapat memanggil saksi saksi yang tidak diajukan
oleh para pihak.(putusan PN.Cianjur tgl 27 januari 1970.No.
108/pdt/1969).
2. Hal hal yang duajukan oleh penggugat yang tidak
disangkal oleh penggugat, dapat dianggap telah terbukti.(putusan
MARI,Tgl 5 mei 1971,No. 583K/Sip/1970)
3. Dengan adanya pengakuan
tergugat, dianggap pengakuan gugatan penggugat telah terbukti.(putusan
MARI, tgl 1 september 1971,No.496K/Sip/1971)
4. Dalam hukum acara
perdata, tidak perlu adanya keyakinan hakim.(oleh pengadilan negeri
dipewrtimbangkan bahwa menurut hukum dan keyakinan kami, perlawanan
harus ditolak) (putusan MARI, tgl 3 agustus 1974 No. 290k/Sip/1973).
5.
Belumlah merupakan pembuktian karena cara cara pemindahana harta
terperkara termasuk posita yang mengharuskan pembuktian dari
penggugat.(putusan MARI,tgl 17 februari 1976.No. 68 K/Sip/1973).
6.
Adalah wewenang judex facti, untuk menentukan diterima atau tidaknya
permohonan pembuktian.(keberatan yang diajukan penggugat untuk kasasi,
bahwa permohonan penggugat asal untuk membuktikan, bahwa sawah perkara
telah diserobot oleh tergugat asal ditolak oleh hakim yang memimpin
pemeriksaan tidak dibenarkan) (putusan MARI,tgl 1 juli 1975 No.
1087K/Sip/1973)
Beban Pembuktian.
1. Pihak yang mendalilkan,
bahwa cap dagang yang telah didaftarkan oleh pihak lawan telah tiga
tahun lamanya tidak dipakai, harus membuktikan adanya non-usus selama
tiga tahun itu; dan tidaklah tepat bila di dalam hal ini, beban
pembuktian diserahkan kepada pihak lawan, ialah untuk membuktikan, bahwa
selam tigas tahun itu secara terus menerus menggunakan cap dagang
dimaksud.(putusan MARI, tgl 10 Januari1957 No. 108K/Sip/1954).
2.
Apabila isi surat dapat diartikan dua macam, yakni menguntungkan dan
merugikan bagi penandatangan surat, penandatangan patut dibebani untuk
membuktikan positumnya.(Putusan MARI, tgl11 september 1957 No.
74K/Sip/1955)
3. Pihak yang menyatakan sesuatu yang tidak biasa,
harus membuktikan hal yang tidak biasa itu. Orang yang diberi hak untuk
memungut uang sewa, pintu pintu toko, mengajukan bahwa pintu pintu toko
tersebut tidak selalu menghasilkan sewa.(Putusan MARI tgl 21 november
1959 No. 162 K/Sip/1955).
4. Dalam sengketa jual beli, dimana pihak
pembeli mendalilkan bahwa, ia belum menerima seluruh barang yang
dibelinya menurut kontrak, sedang pihak penjual membantah dengan
mengemukakan, bahwa ia telah menyerahkan seluruh barang yang
dujualbelikan, pihak pembeli harus dibebani pembuktian, mengenai adanya
kontrak dan pembayaran yang telah dilakukan, sedang pihak penjual
mengenai barang barang yang telah diserahkannya.(putusan MARI.tgl 30
desember 1957 No.197/K/Sip/1956).
5. Dalam hal penggugat mendalilkan,
bahwa ia menuntut penyerahan kembali tanah pekarangan tersengketa, yang
kini diduduki oleh tergugat, oleh karena pekarangan tersebut, dulu
hanya dipinjamkan saja oleh penggugat kepada tergugat, sedang tergugat
membantah dengan dalil, bahwa pekarangan tersebut dulu benar milik
penggugat, tetapi pekarangan itu telah dibelinya lepas dari penggugat;
pembenanan pembuktian haruslah sebagai berikut; a. Pengguat diberi
kesempatan untuk membuktikan hal peminjaman tanah tersebut kepada
tergugat dan; b. Kepada tergygat diberi kesempatan untuk membuktikan
tentang pembelian lepas tanah tersebut.(putusan MA,tgl 10 januari
1957.No.94K/Sip/1957).
6. Dalam hal jawaban tergugat yang menyangkal
atau keterangan yang berlainan dari surat gugatan. Maka penggugat harus
menbuktikannya.(Putusan MA,tgl 4 pebruari 1970.No. 499K/Sip/1970)
7.
Beban pembuktian yang diletakkan kepada pihak yang harus membuktikan
sesuatu yang negatif, adalah lebih berat daripada beban pembuktian pihak
yang harus membuktikan sesuatu yang positif, yang tersebut terakhir,
ini termasuk pihak yang lebih mampu untuk membuktikan.(Putusan MA,TGL 15
Maret 1972.No. 547K/Sip/1971)
8. Berdasarkan yurisprundensi Hakim
bebas untuk memberikan beban pembuktian, lebih tepat jika pembuktian
dibebankan kepada yang lebih mampu untuk membuktikannya.(putusan MA. Tgl
15 Maret 1972.No. 549Ksip/1971)
9. Pihak yang mengajukan sesuatu
dalil, harus dapat membuktikan dalilnya, untuk memnggugrkan dalil pihak
lawan.(putusan MA,tgl 12 April 1972.No. 988K/Sip/1971)
10. Siap yang mendalilkan sesuatu, haruslah membuktikan dalilnya.(putusan MA.tgl 15 April 1972,No. 1121K/Sip/1971)
11.
Karena tergugat asal menyangkal, penggugat asal harus membuktikan
dalilnya; alasan pengadilan tinggi untuk membenankan pembuktian pada
penggugat asal, karena tergugat asal menguasai sawah sengketa bukan
karena perbuatan melawan hukum, adalah tidak berdasarkan hukum.(putusan
MA, tgl 11 September 1975 K/Sip/1972).
12. Persoalan ada tidaknya
onhellbare tweespalt, adalah mengenai penilaian hasil pembuktian yang
merupakan penghargaan dari suatu kenyataan. Hal mana menjadi wewenang
sepenuhnya dari juddex facttie, karena itu tidak tunduk pada pemeriksaan
kasasi.(putusan MA.No. 221K/Sip/1973, tanggal 18 juni 1973). (Putusan
PT Surabaya No. 177/1972/Pdt, Putusan PN.Surabaya No. 367/1971/Pdt).
13.
Menurut Yurisprudensi MA. Ganti rugi harus dibuktikan dan tergugat
dalam Kasasi, ini tidak dapat membuktikan hal itu, tetapi oleh karena
penggugat untuk kasasi baik di muka pengadilan negeri maupun dalam
memorie kasasinya bersedia untuk membayar ganti rugi sebesar 2 % setiap
bulan, maka mengenai presentasi ganti rugi ini perlu diperbaiki.(Putusan
MA.No. 78K/Sip/1973.Tanggal 22 Agustus 1974.
14. Pengadilan Tinggi
telah salah menerapkan hukum acara oleh sebab kesimpulan kesimpulan oleh
pengadilan tinggi, tidak berdasarkan pada pembuktian yang diajkan dalam
persidangan sebagaimana tercantum dalam berita acara. (Putusan MA. No.
820 K/Sip/1973, tanggal 21 Februari 1980.)
15. Pengadilan tinggi
telah salah menerapkan hukum acara, karena telah memerintahkan agar sita
jaminan (conservatoir beslag), diangkat tanpa disertai pertimbangan.
Bukti Tertulis;
1.
Walaupun dalam perkara cap dagang, tidak diperlukan peraturan perundang
undangan pembuktian dimuka pengadilan biasa tidak tepat, syatu
affidavit, dianggap sama kuat dengan keterangan saksi di muka
hakim.(putusan MA, tgl 10 Januari 1957.No. 39K/Sip/1954)
2. Pada
umumnya, dalam suatu perkara perdata, salah satu pihak mengajukan suatu
putusan pidana untuk membuktikan sesuatu, pihak lawan harus diberikan
kesempatan untuk mengajukan bukti alasan, tetapi dalam hal ini pemberian
bukti pembalasan tersebut, tidaklah perlu karena fakta faktanya terang
dan tidak merupakan perselisihan antara kedua pihak, sedang perselisihan
faham antara pengguat untuk kasasi di satu pihak dan pengadilan negeri
serta pengadilan tinggi di lain pihak, adalah mengenai kesimpulan yang
ditarik dari fakta fakta itu, yang menurut penggugat ia beritikad
baik.(putusan MA, tgl 25 Mei 1957 No. 18K/Sip/1956)
3. Surat bukti
pinjam uang yang diakui tanda tangannya, tetapi disangkal jumlah uang
pinjamannya, dapat dianggap sebagai permulaan pembuktian
tertulis.(putusan MA. Tgl 20 Juni 1959 No. K/Sip/1959)
4. Surat
“patuk” pajak bumi bukan merupakan suatu bukti mutlak, bahwa sawah
sengketa adalah milik orang yang namanya tercantum dalam patuk pajak
bumi tersebut.(Putusan MA.tgl 3 februari 1960 No. 34 K/Sip/1960).
5.
Surat surat yang ditandatangani oleh orang orang yang tidak cakap
berbuat dalam hukum (onberkwan personen), tidak dapat diajukan sebagai
alat bukti (putusan MA. Tgl 4 februari 1970.No. 499K/Sip/1970).
6.
Surat bukti yang tidak diberi materai, tidak merupakan alat bukti yang
sah.(Putusan MA, tgl 13 maret 1971 No. 589 K/Sip/1970).
7. Surat
keterangan pajak bukan merupakan tanda bukti yang mutlak, karena sering
terjadi bahwa pada surat keterangan pajak, masih tercantum nama pemilik
tanah yang lama, padahal tanahnya sudah menjadi milik orang
lain.(putusan MA, tgl 13 maret 1971,No. 767 K/Sip/1970).
8. Suatu
akte perjanjian jual beli yang dilaksanakan dihadapan seorang pejabat
akta tanah menurut UU No. 10 tahun 1961, dianggap sebagai akte yang
mempunyai kekuatan bukti yang sempurna.( putusan MA. Tgl 22 Maret
1972.No. 937 K/Sip/1970)
9. Akte jual beli di bawah tangan yang
disangkal oleh pihak lawan dan tidak dikuatkan dengan alat bukti
lainnya, dianggap sebagai alat bukti yang lemah (putusan MA, tgl 6
oktober 1977.No. 775K/Sip/1971)
10. Dalam hal tanda tangan yang
dibuat oleh orang yang sama, terdapat sedikit perbedaan, disebabkan oleh
perbedaan jangka waktu, maka hakim dapat mengambil kesimpulan sendiri
tentang suatu alat bukti, tanpa diperlukan mendengar saksi ahli.(putusan
MA, tgl 10 april 1957 No. 213/Sip/1955, menunjuk pada pasal 33 (1)
HIR.,yo 104 HIR, (putusan MA, tgl 19 januari 1972, No. 840K/Sip/1971)
11.
Surat bukti jual beli menjadi tidak sah, dan dinyatakan batal, jika
bukti bukti lainnya, yang menjadi dasarnya menurut hukum tidak mempunyai
kekuatan hukum.(putusan MA. Tgl 19 januari 1972.No. 1172 K/Sip/1971).
12.
Dalam surat perjanjian sewa menyewa tersebut, penggugat telah mengakui
menerima dari tergugat penyetoran sebanyak Rp.1.625.000,-, sebagai
pembayaran kontrak sewa dan tanda tangandalam kontrak perjanjian ini
diakui sebagai tanda tangannya sendiri, dengan adanya pengakuan tersebut
menurut paal 1875 BW, surat perjanjian itu, mepunyai kekauatan bukti
yang sempurna tentang isisnya,seperti alte otentik, sehingga kuitansi
sebagai tanda penerimaan uang tersebut, tiak diperlukan lagi.(putusan
MA,tgl 3 desember 1974 No. 1043 K/Sip/1971).
13. Prinsif yang
terkandung dalam pasal 1920 BW, yakni bahwa putusan pengadilan mengenai
status seseorang, berlaku penuh terhadap setiap orang dianggap juga
berlaku dalam hukum adat, karena prinsif demikian itu pada hakekatnya,
melekap pada setiap putusan pengadilan yang berisikan penentuan tentang
status seseorang. Oleh karena itu putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan tetap, yang menetapkan bahwa tergugat dalam kasasi
adalah anak angkat dari almarhum BHH, Fatimah berlaku pula dalam perkara
ini, karena dalam staus harta, dalam perundang undangan tidakterdapat
suatu prinsif seperti tersebut dalam pasal 1920 BW, maka dengan
penafsiran a contrario, itui berarti putusan pengadilan yang tidak
mebgeani status orang tidak berlaku bagi setiap orang,melainkan pada
azasnya hanya berlaku/ mempunyai kekuatan pembuktian semprna terhadap
pihak pihak yang berperkara saja. Bagi pihak ketiga yang tiak terlibat
dalam perkara itu, kekuatan pembuktian dalam perkara tersebut,
tergantung pada penilaian hakim, yang dapat menilainya, sebagai
pembuktian sempurna atau pembuktian permulaan.(Putusan MA,tgl 23 Juli
1973 No. 102K/Sip/1972).
14. Surat surat bukti yang diajukan
penggugat untuk kasasi, berupa keterangan keputusan desa Andir tanggal 9
oktober 1968, yang dikuatkan oleh camat IPD, tanggal 3 desember 1966
No. 282/18; feta form 332 A/410/69,tanggal 24 april bukan merupakan akte
otentik seperti yang dimaksudkan oleh undang undang (ptusan MA. Tagl 20
agustus 1975 No. 907K/Sip/1972).
15. Kuitansi yang diajukan oleh
penggugat sebagai bukti, karena tidak bermaterai oleh hakim
disesampingkan (putusan MA.tgl 28 agustus 1975 No. 983 K/Sip 1972)
16.
Suatu putusan hakim pidana mempunyai keuatan bukti yang sempurna dalam
perkara perdata, baik terhadap orang yang dihukum pada putusan hakim
pidana, maupun terhadap pihak ketiga. Dengan membolehkan adanya
pembuktian perlawanan.(putusan MA. Tgl 27 nopember 1975 No.
199K/Sip/1973)
17. Apabila penggugat sudah dapat membuktikan dalil
dalilnya, maka suarat surat bukti tergugat dianggap tidak mempunyai
nilai lagi. (putusan PT.Bndung tgl 26 desember 1970,No.
144/1970/perd/PTB).
18. Satu surat bukti saja tanpa dikuatkan oleh
alat bukti lain tidak dapat diterima sebagai pembuktian. Pengakuan
tergugat yang dikatkan oleh akte notaris, harus dianggap bukti cukup
untuk membenarkan keadaan yang diakui tergugat itu.(putusan MA.No.
665K/Sip/1973, tanggal 28 November 1973).
19. Apabila pembantah
dapat membuktikan bahwa tanah sengketa dibeli oleh pembantah di depan
pejabat pembuat akte tanah, dan tanah itu masih tercatat atas nama si
penjual, maka pembantah adalah yang beritikad baik.
20. Apabila
dalam perkara baru ternyata para pihak berbeda dengan pihak pihak dalam
perkara yang sudah diputuskan lebih dahulu, maka tidak ada Nebis in
idem. Prinsif yang terkandung dalam pasal 1970 BW, yakni bahwa putusan
pengadilan mengenai status seseorang berlaku penuh, terhadap setiap
orang dianggap juga berlaku dalam hukm adat, karena prinsif demikian
pada hakekatnya melekat pada tiap putusan pengadilan yang berisikan
pencantuman tentang status seseorang. Oleh karena itu putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekautan hukum tetap, yang menetapkan bahwa
tergugat dalam kasasi adalah anak angkat dari Almarhu BHH,Ftimah,
berlaku pula dalam perkara ini. Karena mengenai status harta dalam
perundang undangan, tidak tedapat suatu prinsif seperti tersebut dalam
pasal 1920 BW, maka dengan penafsiran a contario, berarti bahwa putusan
pengadilan yang tidak mengenai status orang tidak berlaku bagi setiap
orang, melainkan pada asasnya hanya berlaku mempunyai kekuatan
pembuktian sempurna terhadap pihak pihak yang berperkara saja. Bagi
pihak ketiga yang tidak terlibat dalam perkara itu, kekuatan pembuktian
dari putusan pengadilan tersebut tergantung pada penilaian hakim, yang
dapat menilainya sebagai pembuktian sempurna atau pembuktian permulaan.
Menurut hukum adat yang berlaku seseorang ank angkat berhak mewarisi
harta gono gini orang tua angkatnya sedemikian rupa, sehingga Ia menutup
hak waris para saudara orang tua angkatnya.(Putusan MA.No. 102 K
/Sip/1972.
21. Surat bukti yang merupakan pernyataan belaka dari
orang orang yang memberi pernyataan tanpa diperiksa di persidangan,
tidak mempunyai kekuatan pembuktian apa apa (tidak dapat disamakan
dengan pembuktian kesaksian). (Putusan MA. No. 3901 K/pdt/ 1985, tanggal
29 November 1988).
Bukti Bukti Saksi;
1. Bagi hakim
pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, tidak ada keharusan untuik
mendengar seorang saksi ahli berdasarkan pasal 138(1) yo pasal 164
HIR.(putusan MA. Tanggal 10 april 1957 No. 213 K/Sip/1956).
2. Tidak
ada keberatan menurut hukum untuk meluluskan permintaan salah satu pihak
agar kuasa dari lawannya didengar sebagai saksi.(putuan MA. tgl 12 juni
1957.No. 218K/Sip/1956).
3. Testominium de audite, tidak dapat
dugunakan sebagai bukti langsung, tetapi penggunaan kesaksian yang
bersangkutan, sebagai persangkaan, yang dari persangkaan itu dibuktikan
sesuatu, tidaklah dilarang.(putusan MA tgl 11 november 1959 No. 308
K/Sip/1959).
4. Berapa banyak saksi ahli yang harus didengar dan
penilaian atas keterangan para saksi tersebut, terserah kepada
kebijaksanaan hakim yang bersangkutan, dan hal ini tidak dapat
dipertimbangkan dalam pemeriksaan kasasi.(putusam MA, tgl 10 oktober
1962 No.192K/Sip/1962)
5. Pengetahuan saksi saksi yang hanya
didengarnya dari orang lain, tidak perlu dipertimbangkan oleh
pengadilan, sehingga keterangan keterangan seperti itu tidak merupakan
alat pembuktian yang sah. (putusan MA, tgl 5 mei 1971.No.803
K/Sip/1970).
6. Keterangan keterangan saksi yang hanya mengetahui
tentang barang barang sengketa dan tidak disertai dengan pengetahuan
asal usul dari barang sengketa (niet metrederen van watenschap omkleed),
tidak dapat dipergunakan sebagai bukti yang sempurna.(putusan MA, tgl
27 oktober 1971. No. 858 K/Sip/1971)
7. Seseorang yang ada hubungan
keluarga sedarah samapai derajad ke tiga, dengan salah satu pihak yang
berperkara, tidak dapat menjadi saksi yang sah, tetapi hanya dapat
memberikan keterangan (HIR pasal 145), (putusan MA.tgl 19 januari 1972.
No. 840K/Sip/1971)
8. Saksi yang diajukan oleh salah satu pihak dalam
perkara pengadilan dapat menguatkan atau membenarkan dalil dalil pihak
lawannya. (putusan MA, tgl 5 februari 1972. No. 855K/Sip/1971)
9. Keterangan saksi de audite, bukan merupakan alat bukti. (putusan MA, tgl 15 maret 1972. No. 547K/Sip/1971)
10.
Persaksian dari ibu tiri, sesuai dengan pasal 145 (1) HIR, harus
dikesampingkan.(putusan MA, tgl 25 juni 1973. No. 84K/Sip/1973)
11.
Saksi bekas ipar tidak termasuk yang disebut dalam pasal 146(1) HIR,
sedangkan saksi keponakan ada hak untuk mengundurkan diri.(putusan MA,
tgl 11 oktober 1975. No. 300K/Sip/1973)
12. Bekas suami menurut hukum
acara yang berlaku (pasal 172 Rbg) tidak boleh didengar sebagai saksi.
(putusan MA, tgl 6 januari 1976. No. 140K/Sip/1974)
13. Keteranga
tergugat ang bertentangan dengan keterangan saksi tergugat sendiri tanpa
disertai bukti bukti lain, tidak dapat dinilai kbenarannya. Tidak
mempunyai nilai yuridis (putusan PT Bandung tgl 19 januari 1971. No.
465/1969/Perd/PTB)
14. Keterangan keterangan yang, jika dihubungkan
satu sama lain, mempunyai arti dan maksud yang sama, dapat menghasilkan
bukti yang sah an penuh.(putuan PT Bnadung, tgl 29 januari 1971. No.
456/1969/Perd/PTB)
15. Hal hal yang oleh saksi penggugat hanya
didengarnya dari pihak lainnya, lagipula dibantah oleh pihak tergugat,
tidak merupakan bukti atau petunjuk apapun juga dan karena itu,
keterangan keterangan tersebut tidak dapat menjadi alasan yang sah bagi
hakim untuk memerintahkan penggugat untuk mengucapkan sumpah tambahan
sebagai bukti pelengkap.(Putusan PT Bandung, tgl 24 juni 1971. No.
285/1969/Perd/PTB)
16. Pengadilan tinggi salah dalam menerapkan hukum
pembuktian, karena keterangan saksi tidak saling menguatkan dan tidak
bersesuaian.(Putusan MA. No. 370 K/pdt/1984).
17. Dalam gugatan
perceraian, ibu kandung dan pembantu rumah tangga salah satu pihak dapat
di dengar sebagai saksi. (Putusan MA. No. 1282 K/Sip / 1979. Tanggal 20
Desember 1979.
18. Surat bukti yang hanya merupakan suatu
pernyataan tidaklah mengikat dan tidak dapat disamakan dengan keaksian
yang seharusnya diberikan di bawah sumpah di muka pengadilan. (Putusan
MA. No. 3428 K/Pdt/1985).
19. Judex Fakti, telah salah menerapkan
hukum, karena bukti T.1, yang merupakan sertifikat hak milik atas nama
tergugat 1, merupakan akte otentik yang kurang dipertimbangkan, mengenai
gugatan rekonvensi MA, berpendapat meskipun dalam RIB, tidak dapat
diakui tentang bentuk gugatn rekonvensi yang diharuskan, namun setidak
tidaknya gugatan tersebut, haruslah disusun secara jelas, baik duduk
perkaranya maupun petitumnya.(Putusan MA. No. 487 K/Pdt/1991 tanggal 30
April 1996).
Dugaan atau Persangkaan;
1. Dengan tidak
menggunakan alat pembuktian berupa saling tidak disangkalnya, isi surat
surat bukti yang diajukan oleh kedua belah pihak. Yidic facti, tidak
melakukan peradilan menurut cara yang diharuskan oleh undang undang,
maka putusannya harus dibatalkan.(putusan MA, tgl 7 juli 1962. No.
50K/Sip/1962)
2. Dugaan pengadilan tinggi tentang adanya hubungan
dagang tersebut, tidak sesuai dengan dugaan yang dibolehkan oleh undang
undang, karena pengadilan tinggi hanya mendasarkan dugaan tersebut pada
keterangan keterangan saksi yang tidak sempurna dan pula saksi saksi
tersebut memberi keterangan tidak di bawah sumpah. (putusan MA, tgl 24
juli 1975. No. 991K/Sip/1975)
Pengakuan atau Dugaan;
1. Dalam
pengakuan disertai tambahan yang tidak ada hubungannya dengan pengakuan
itu, yang oleh doktrin dan jurisprudensi dinamakan gekwalificeerde
bekentenis. Pengakuan dapat dipisahkan dari tambahannya. (putusan MA,
tgl 12 juni 1957. No. 117K/Sip/1956)
2. Penggugat asli menuntut
kepada tergugat asli, penyerahan sawah sengketa kepada penggugat asli
kepada kedua anaknya, atas alasana bahwa sawah tersebut adalah budel
warisan dari almarhum suaminya yang kini dipegang oleh tergugat asli
tanpa hak, yang atas gugatan tersebut, tergugat asli menjawab bahwa,
sawah itu kira kira lima belas tahun yang lalu, sudah dibeli dari
pengggugat asli oleh marhum suami tergugat asli. Jawaban tergugat asli
tersebut merupakan suatu jawaban yang tidak dapat dipisahkan
(onsplitssbaar aveu), maka sebenarnya penggugat aslilah yang harus
dibebani untuk membuktikan kebenaran dalilnya, bahwa sawah sengketa
adalah milik marhum suaminya. (putusan MA,tgl 28 mei 1958. No.
8K/Sip/1957)
3. Perkembangan yurisprudensi mengenai pasal 176 HIR
(pengakuan yang terpisah pisah), ialah bahwa dalam hal ada pengakuan
yang terpisah pisah Hakim bebas menentukan untuk pada siapa harus
dibebankan kewajiban pembuktian.(putusan MA,tgl 27 november 1975 No.
272K/Sip/1973).
4. Dalam hal pengakuan yang terpisah pisah, hakim
bebas untuk menentukan berdasarkan rasa keadilan pada siapa harus
dibebankan pembuktian.(Putusan MA.No. 22 K/Sip/1973. Tanggal 25 November
1976).
5. Keterangan atau pengakuan salah satu pihak yang
berperkara di luar persidangan dan tidak di bawah sumpah, tidak
mempunyai kekuatan pembuktian dan tidak dapat melumpuhkan kekuatan
pembuktian surat surat bukti, yang merupakan akte otentik; Hubungan
pinjam meminjam uang, kemudian dalam rangka pelunasan utang dilanjutkan
dengan jual beli tenah sengketa, aka sesuai pasal 1320 KUH Perdata, hal
tersebut tidak dapat membatalkan akte jual beli, yang dibuat dihadapan
PPAT, kecuali dapat karena adanya paksaan, kekhilafan atas penipuan.
(Putusan MA.No. 507/K/Pdt/1996 tanggal 29 juli 1997)
Bukti Sumpah;
1.
Pengangkatan sumpah harus dilakukan oleh orang yang bersangkutan
sendiri dan tidak dapat dibuktikan, oleh orang lain meskipun ahli waris.
Kecuali apabila ada surat kuasa khusus untuk itu.(putusan MA, tgl 2
juni 1971. No. 398K/Sip/1967)
2. Bahwa tergugat tidak dapat
mengajukan alat alat bukti untuk membuktikan kebenaran bantahannya,
sehingga hanya sumpahlah satu satunya, sarana untuk menggantungkan
putusan dalam sengketa kedua belah pihak.(putusan MA, tgl 28 april 1976)
3.
Apabila tergugat menyangkal kebenaran gugatan penggugat, padahal
penggugat tidak cukup dapat membuktikan dali dalilnya, maka berdasarkan
kesedian tergugat untuk bersumpah, menurut cara cara yang ditentukan
oleh agamanya, sangkalan tergygat tersebut dapatlah dianggap terbukti.
(putusan MA, tgl 22 mei 1972. No. 986K/Sip/1971)
4. Apabila penggugat
mengakui sebahagian bantahan tergugat, maka ia berkewajiban memb
uktikan dalil dalilnya, dan apabila ia tidak berhasil membuktikannya,
tergugat dapat dibebani sumpah (decisoir) mengenai kebenaran
bantahannya, sehingga gugatan penggugat harus ditolak. (putusan MA, tgl
22 maret 1972. No. 986K/Sip/1971)
5. Karena sumpah suppletoir yang
telah diucapkan, yang bersangkutan tidak secara formal dimuat dalam
berita acara persidangan pengadilan negeri, haruslah diperintahkan agar
pengucapan sumpah tersebut diulangi lagi. (putusan MA, 2 juni 1972.No.
398K/Sip1967)
6. Sumpah tambahan yang mengenai hal hal yang tidak
dialami sendiri oleh yang bersumpah, adalah tidak sah.(putusan MA, tgl
18 maret 1976 No. 809K/Sip/1973)
7. Sumpah tambahan dapat
diperintahkan oleh Hakim kepada salah satu pihak, jikalau telah ada
sedikit bukti bukti terhadap tuntutan tuntutan penggugat, atau untuk
membuktikan keterangan tambahan tergugat sedang tidak ada bukti lain
untuk menyempurnakan pembuktian tersebut.(putusan PT Bandung,tgl 24
novenber 1969 No. 462/1969/Perd/PTB)
8. Sumpah suppletoir yang telah
diucapkan dan dipertimbangkan dalam keputusan Pengadilan Negeri,
walaupun tidak dimuat dalam berita acara, dianggap telah diucapkan.
(Putusan MA.No 398 K/Sip 1967. Tanggal 9 Juni 1971.
9. Permohonan
sumpah decisoir, hanya dapat dikabulkan kalau dalam suatu perkara sama
tidak terdapat bukti bukti. (Putusan MA. No. 575 K/ Sip/1973. Tanggal 4
Mei 1976.
1. Pembuktian dengan surat.
Dimaksudkan dengan
surat adalah akte otentik, yang dibuat dengan maksud untuk dijadikan
bukti, atau dimuka pejabat umum notaris. Sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 165 HIR, dan 285 Rbg, bahwa suatu surat atau akta otentik,
merupakan bukti yang sempurna bagi para pihak, ahli waris, dan orang
yang mendapatkan suatu hak. Kekuasaan pembuktian tersebut, sebagai
kekuatan dari keterangan notaris. Selanjutnya akte atau surat di bawah
tangan Pasal 1875 BW., sama dengan surat biasa, karena tidak ditujukan
khusus untuk pembuktian, hanya untuk menunjukan sesuatu hal saja,
sehingga pengadilan leluasa untuk menilainya, mesti ditambah dengan
bukti lainnya.
Alat bukti tulisan mengandung segi yuridis, dengan
ciri adanya tanda baca, kalimat disusun dalam suatu pernyataan,
ditandatanganani oleh pihak disertai tanggal, berfungsi sebagai
formalitas kausa,, maksudnya surat atau akta berfungsi sebagai syarat
atau keabsahan sebagai tindakan hukum. Berfungsi juga sebagai
probationis causa, yakni surat atau akta merupakan satu satunya alat
bukti, yang sah dan membuktikan suatu hal atau peristiwa. Fungsi utama
surat atau akta, adalah sebagai bukti, pada urutan pertama, karena
tujuan utama dari setiap surat atau akta, adalah diperuntukkan untuk
bukti, maka sejak semula diperuntukan, bilamana terjadi sengketa, guna
membuktikan kebenaran transaksi dalam masyarakat. Sehingga maksud dari
surat atau akta, merupakan satu satunya alat bukti, yang dapat sah
membuktikan suatu hal atau peristiwa. Sehingga keperluan alat bukti ini
merupakan dasar untuk membuktikan.
Tanpa akte ,
maka peristiwa hubungan hukum yang terjadi tidak dapat dibukukan,
kedudukan dan fungsi akta adalah sangat spesifik. Misalanya terhadap
perkawinan, eksistensi perseroan terbatas, hak tanggungan, fidusia,
berita acara sita. Sedangkan perjanjian jual beli barang, maka
pembuktiannya tidak digantungkan pada satu satunya pada perjanjian,
tetapi dapat juga dibuktikan dengan keterangan saksi, persangkaan,
pengakuan atau dengan sumpah. Tidak memerlukan akta, tetapi terhadap
akta perdamaian, maka diperlukan putusan atau akta, dan sebaliknya tidak
dapat dibuktikan hanya dengan saksi, persangkaan atau sumpah. Sehingga
akta otentik, sebagai suatu pembuktian yang sempurna dan mengikat, dan
merupakan perpaduan dari beberapa kekuatan yang terdapat padanya. Akta
itu dibuat dihadapan pejabat umum /notaris, dengan persetujuan kedua
pihak. Walaupun notaris bersifat pasif, tetapi notaris menjaganya sesuai
dengan peraturan perundang undangan yang berlaku, ketertiban umum dan
kesusilaan.
Bilamana tidak sesuai dengan maksud tersebut, maka notaris dapat menolak untuk membuatkan akta yang diminta.
Surat
surat dapat diminta oleh suatu pihak, agar diserahkan kepada hakim,
penyerahan surat surat dapat dimintakan, apabila surat itu mengenai soal
yang menjadi pokok perselisihan para pihak. Bilamana ada penyangkalan
terhadap surat surat tersebut, maka hakim wajib mengadakan pemeriksaan
khusus mengenai hal tersebut. Apabila dalam penyelidikan, terdapat suatu
sangkaan yang beralasan, bahwa surat tersebut adalah palsu atau
dipalsukan, maka surat tersebut dikirimkan kepada jaksa untuk
dilaksanakan tuntutan. Maka pemeriksaan perdata untuk sementara
ditangguhkan. Hal ini disebabkan dalam perkara perdata bukti surat
merupakan bukti yang penting dan utama.
2.Pembuktian dengan saksi.
Pembuktian
dengan saksi diatur dalam Pasal 168-172 HIR dan pasal 306 sampai
dengan 309 RBg, serta pasal 1895, 1902 sampai dengan pasal 1908 BW.
Pasal 168 HIR, menunjuk pada hukum adat. Pasal 1895 BW, menunjuk pada
undang undang lain, dimana terdapat ketentuan.
Pembuktian dengan
saksi tidak diperbolehkan. Hal demikian tidak begitu berarti, karena
dengan dicabutnya pasal 1896, 1899, 1900, 1901 BW, melalui Stb 1925-525,
serta pencabutan pasal 1897 BW, melalui Stb 1938-276, sehingga
pembuktian dengan saksi, selalu diperbolehkan. Adapun kekuatan
pembuktian dengan saksi, hanya diatur dalam pasal 169 HIR, atau pasal
306 RBg atau pasal 1905 BW.. Bahwa kesaksian seorang saksi tidak cukup
untuk membuktikan hal sesuatu. Dalam praktek diketahui, bahwa apabila
beberapa orang saksi. Masing masing menceritakan suatu keadaan yang
berlainan tetapi dapat dihubungkan satu dengan yang lain, maka hakim
leluasa untuk menganggap terbukti suatu keadaan keadaan tersebut. Hakim
harus percaya pada kebenarana keterangan saksi, dalam hal dua orang
menentukan secara minimum. Hakim harus waspada dan bijaksana terhadap
keterangan saksi, dengan mencocokannya satu dengan yang lain, bahkan
memeriksa cara hidup dan kesusilaan, adat istiadat, martabat yang pada
umumnya segala hal ikhwal yang dapat berpengaruh, sehingga saksi dengan
keterangannya itu, dapat dipercaya atau tidak.
Alat bukti saksi,
menjangkau segala bidang dan jenis sengketa perdata, kecuali apabila
undang undang menentukan sendiri sengketa, hanya dapat dibuktikan
dengan akta atau tulisan, maka alat bukti saksi tidak dapat diterapkan.
Posisi saksi adalah menyempurnakan permulaan pembuktian tulisan, dan
menjadi saksi merupakan suatu kewajiban yang bersipat memaksa. Tidak
selamanya sengketa perdata, dapat dibuktikan dengan alat bukti tulisan
atau akta. Dalam praktik dapat terjadi, bahwa penggugat tidak memiliki
alat bukti tulisan, untuk membuktikan dalil gugatan, atau alat bukti
tulisan yang ada, tidak memncukupi batas minimal pembuktian, karena alat
bukti tulisan yang ada, hanya berkualitas sebagai permulaan pembuktian
tulisan.. Sehingga jalan keluarnya adalah penggugat untuk membuktikan
gugatannya, dengan jalan menghadirkan saksi saksi, yang melihat,
mengalami, mendengar sendiri kejadian yang diperkarakan, dan sengaja
diminta, untuk hadir menyaksikan peristiwa atau hubungan hukum yang
terjadi, sangat relevan menghadirkannya sebagai saksi, sebagaimana hal
alat bukti tulisan.
Jangkauan kebolehan pembuktian saksi,
diperbolehkan segala hal, yang tidak dikecualikan oleh undang undang.
Maknanya alat bukti saksi menjangkau semua bidang dan jenis sengketa
perdata, kecuali apabila undang undang sendiri menentukan lain, yakni
sengketa hanya dapat dibuktikan dengan akta atau tulisan, maka alat
bukti saksi tidak dapat diterapkan. Larangan pembuktian dengan saksi,
dengan beberapa alasan yakni; Pada umumnya keterangan saksi kurang dapat
dipercaya, karena sering berisi kebohongan; Oleh karenanya sering
terjadi pertentangan, antara keterangan saksi dengan akta; Karenanya
bilamana dibiarkan, maka nilai kekuatan pembuktian akte otentik akan
kehilangan tempat berpijak;
Dengan demikian akan lenyap kepercayaan
masyarakat atas akta otentik, padahal yang membuat akta tersebut adalah
pejabat publik, dampak lebih jauh akan hilangnya, daya kepastian hukum,
yang ditegaskan suatu akta, karena jika dibiarkan keterangan saksi
menilai isi kebenaran akta, maka dalam praktik, hakim boleh
menyingkirkan akta otentik, berdasarkan keterangan saksi.
Dalam
perkara pidana, setiap saksi sekaligus dianggap cakap dan dapat dipaksa,
berarti menjadi saksi dalam perkara pidana merupakan kewajiban hukum,
dan bagi yang tidak taat, dapat dipaksa dengan jalan membawanya
kepersidangan. Sedangkan dalam perkara perdata, menjadi saksi adalah
kewajiban hukum, tetapi tidak imperatif dalam segala hal., karena yang
wajib menyediakan saksi adalah pihak yang berperkara. Adapun syarat
menjadi saksi, memenuhi syarat formil yang melekat, yakni cakap untuk
menjadi saksi, tidak ada hubungan keluarga, suami atau istri, meskipun
sudah bercerai. Anak yang belum cukup berusia 15 tahun, Orang gila
meskipun terkadang terang ingatannya. Orang yang berada dalam tahanan.
Sedangkan syarat materiil, yakni keterangan satu saksi saja menjadi
tidak syah, karenanya perlu ditambah dengan alat bukti yang lain.
Selanjutnya keterangan saksi harus mempunyai landasan pengetahuan
berdasarkan sebab yang diterangkannya, berdasarkan pengalaman,
penglihatan, pendengaran, dan tidak diperkenankan untuk memberikan
keterangan berdasarkan pada pendapat pribadi, berupa dugaan, kesan, dan
tidak saling bersesuaian, ataupun saling bertentangan, adanya
persesuaian antara keterangan saksi, persesuaian dengan alat bukti lain.
Hal yang penting diperhatikan adalah cara hidup kesusilaan saksi
menjadi sangat penting dan menjadi dasar kepercayaan, saksi yang tidak
diperkenankan adalah pihak yang langsung berperkara, tidak dibolehkan
utuk menjadi saksi, karena dapat dipastikan akan memihak pada dirinya
sendiri.
Pembuktian dengan saksi dalam praktek disebut sebagai
kesaksian. Hal ini sangat penting dikaitkan dengan perjanjian perjanjian
hukumadat, karena adanya saling percaya mempercayai tidak dibuat
perjanjian, maka dalam perselisihan, para pihak mengajukan saksi yang
dapat membenarkan atau menguatkan dali dalil yang diajukan kepengadilan.
Saksi dilarang untuk menarik suatu kesimpulan, karena hal itu, adalah
tugas hakim. Saksi harus disumpah atau berjanji untuk memberikan
keterangan yang benar. Bilamana dengan sengaja memberikan keterangan
palsu, saksi dapat dituntut dan dihukum karena melakukan sumpah palsu,
menurut hukum pidana.
3.Persangkaan.
Persangkaan adalah
suatu kesimpulan yang oleh undang undang atau oleh hakim, ditarik dari
suatu peristiwa, yang terang dan nyata. Karenanya persangkaan hanya
merupakan suatu kesimpulan saja. Kesimpulan yang dijadikan alasan oleh
hakim, adalah suatu hal yang layak, karena dalam pemeriksaan perdata,
juga berlaku dari suatu yang belum terang, menjadi sesuatu yang terang.
Persangkaan semata mata, untuk membantu hakim, agar berhati hati, agar
hanya memperhatikan hal yang penting dan yang tepat saja. Hal demikian
digunakan oleh hakim di atasnya untuk menilai kehati hatian oleh hakim
yang di bawahnya. .
Dalam praktek persangkaan ini, bilamana
sulit ditemukan saksi yang melihat, mendengar atau merasakan sendiri,
maka peristiwa hukum yang harus dibuktikan, diusahakan agar dapat
dibuktikannya dengan persangkaan. Persangkaan ini mirip dengan atau
menyerupai petunjuk dalam hukum acara pidana. Persangkaan berarti suatu
kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang dianggap terbukti
atau tidak terbukti, dan yang menarik kesimpulan tersebut adalah hakim
atau undang undang.
Persangkaan dirumuskan dalam pasal
1915 KUH Perdata. Alat bukti ini disebut sebagai suatu kesimpulan yang
ditarik oleh undang undang atau oleh hakim, dari suatu peristiwa yang
diketahui, kepada hal atau tindakan lainnya yang belum
diketahui.Persangkaan merupakan suatu uraian, tentang fakta fakta atau
alat bukti fisik yang bersipat langsung yang diajukan diperesidangan,
atau setidaknya disebut sebagai bukti langsung., dan persangkaan
merupakan titik sentral dalam dalam persidangan dan berfungsi sebagai
perantara, fungsi ini menghantarkan atau menyeberangkan alat bukti dan
pembuktian kearah yang lebih konkrit mendekati kepastian.
Dalam kehidupan sehari hari, dimana masyarakat selalu berada dalam
lingkaran persangkaan, sehingga para ahli maupun praktisi, ada yang
berpendapat , bahwa persangkaan (vermoden/ presumtion) tidak termasuk
rumpun alat bukti, lebih tepat disebut sebagai uraian, dalam arti fakta
atau alat bukti fisik, yang bersifat langsung diajukan dalam
persidangan, ditarik kesimpulan yang lebih konkrit kepastiannya, untuk
membuktikan suatu peristiwa hukum yang belum diketahui. Setidaknya
persangkaan tidak dapat dikatagorekan sebagai bukti langsung, ataupun
fakta langsung, tetapi hanya merupakan kesimpulan yang ditarik dari
bukti atau fakta langsung tersebut. Persangkaan sebagai alat bukti
perantara, menjadi sangat penting dalam praktik, karena fungsinya akan
menghantarkan atau menyeberangkan alat bukti dan pembuktian kearah yang
lebih konkrit, mendekati kepastian. Adapun klasifikasi persangkaan,
yakni persangkaan menurut undang undang, yakni persangkaan berdasarkan
pada ketentuan khusus undang undang berkenaan atau berhubungan dengan
perbuatan atau peristiwa tertentu, yakni yang oleh undang undang
dinyatakan batal, karena adanya putusan hakim yang memperoleh kekuatan
hukum tetap, karena adanya pengakuan atau sumpah oleh salah satu pihak.
Selanjutnya persangkaan oleh hakim, hal ini berdasarkan pada
kenyataan, atas pertimbangan hakim, dengan syarat syarat adanya suatu
fakta yang telah terbukti dalam persidangan, cara pengungkapannya,
dengan jalan menarik kesimpulan dari fakta yang sudah ada dan yang telah
terbukti tersebut. Persangkaan harus dipertimbangkan oleh hakim, dengan
berbagai pertimbangan dan kewaspadaan untuk menarik persangkaan,
karenanya terdapat tingjat gradasi kualitas persangkaan, yakni suatu
persangkaan yang benar benar mendekati kepastian. Kekuatan nilai
pembuyktian persangkaan hakim, adalah bebas, yakni persesuaian yang
terjalin dari fakta fakta yang ditemukan dalam persidangan, dan tidak
boleh memperhitungkan fakta fakta yang bersumber dari fakta fakta yang
saling berlawanan.
4. Pengakuan dari satu pihak.
Sumber
hukum pengakuan adalah pasal 174-176 HIR, Pasal 311-313 Rbg, Pasal
1923-1928 KUH Perdata. Pengakuan yang bernilai sebagai alat bukti,
yakni suatu pernyataan atau keterangan yang dikemukakan salah satu pihak
kepada pihak lain, dalam suatu pemeriksaan suatu perkara, pernyataan
atau keterangan itu, dilakukan di muka hakim atau dalam sidang
pengadilan, keterangan itu merupakan pengakuan, bahwa apa yang
didalilkan atau yang dikemukakan pihak lawan benar untuk keseluruhan
atau sebagian.Dalam perkembangannya sebenarnya pengakuan tidak dapat
dikatakan sebagai alat bukti, karena alat bukti adalah alat yang mampu
dipergunakan membuktikan pokok perkara yang disengketakan, sedangkan
pengakuan tidak dapat dipergunakan, karena pengakuan itu tidak memiliki
fisik yang dapat diajukan dalam persidangan. Dsalam praktek , suatu
pengakuan yang diberikan secara sukarela, bukan dengan paksaan, baik
secara fisik maupun psikis, haris dianggap selamanya benar. Biasanya
pengakuan itu, berkenaan dengan hak dan berisi tentang fakta, pengakuan
dilakukan di didepan persidangan, dan mempunyai nilai pembuktian yang
mengikat dan memberatkan bagi pihak yang melakukan pengakuan.
Tentang pengakuan, dapat dilakukan di muka hakim dan pengakuan yang di
lakkan di luar sidang pengadilan. Pengakuan dimuka hakim menurut pasal
174 HIR,
pasal 311 R.Bg, Pasal 1925 BW, merupakan bukti yang
sempurna, terhadap hal hal yang diakui itu. Pengakuan dapat mengenai
keadaan keadaan yang kenyataannya diakui benar atau mengenai suatu hak,
yang diakui sebagai dimiliki oleh pihak lawan berdasar atas hukum.
Pengakuan suatu pihak di hadapan hakim tidak dapat ditarik kembali.
Sehingga kekuatan pembuktiannya, diserahkan sepenuhnya kepada hakim, dan
hakim dapat saja memakai pengakuan itu, sebatas sebagai alat pembuktian
permulaan saja.Selanjutnya dapat disempurnakan dengan alat alat bukti
lainnya. Karenanya dalam praktek peradilan perdata, perlu dilihat
tentang tentang pengakuan yang dilakukan oleh penggugat, baik seluruhnya
maupun sebahagian, dalam jawaban juga, diketahui seolah olah mengandung
penyangkalan, semua hal hal yang diajukan oleh penggugat, karenanya
semua hal itu, harus dibuktikan oleh penggugat, dan hal hal yang sudah
diakui kebenarannya oleh tergugat.
Pengakuan yang dilakukan
di depan sidang pengadilan, mempunyai kekuatan bukti yang sempurna.
Sedangkan yang dilakkan di luar sidang, kekuatan pembuktiannya
diserahkan pada kebijaksanaan hakim, atau merupakan suatu bukti bebas,
berarti hakim leluasa untuk memberi kekuatan pembuktian, atau disebut
juga sebagai bukti permulaan.
5.Sumpah.
Pengertian sumpah
sebagai suatu alat bukti, adalah suatu keterangan atau pernyataan yang
dikuatkan atas nama Tuhan dengan tujuan agar orang yang beresumpah dalam
memberi keterangan, atau pernyataan itu, takut akan Tuhan bilaman
berbohong. Ketakutan itulah yang mendorong untuk menerangkan yang
sebenarnya.
Tentang sumpah diatur dalam pasal 155 sampai
dengan 158 dan 187 RBg serta pasal 182 sampai dengan pasal 185 BW.
Sumpah dapat digolongkan ,sumpah yang diperintahkan oleh hakim, dan yang
dimohonkan oleh pihak lawan. Sumpah diyakini dapat membuktikan sesuatu
hal, karena penyumpahan ini didasarkan atas kepercayaan agam yang
dianutnya, bahwa seseoang yang disumpah tidak akan berbohong, kareana
akan mendapatkan hukuman dari Tuhan.
Kepercayaan ini menimbulkan
anggapan, bahwa biasanya seseorang yang meneguhkan perkataannya dengan
sumpah, akan takut melakukannya,bilamana berbohong. Karenanya
perselisihan dalam perkara, harus selesai dengan penyumpahan, karenanya
keterangan dengan sumpah, mestinya bersifat menyelesaikan tentang
perselisihan. Adapun syarat formil sumpah dilakukan atau diucapkan
secara lisan dimuka hakim dalam persidangan, sebagaimana ditentukan
dalam pasal 1929 KUH Perdata, maupun pasal 154 (1) HIR.
Jika terjadi
halangan yang syah, yang mengakibatkan pelaksanaan sumpah tidak dapat
dilakukan diruang sidang pengadilan, pengucapan dapat dilakukan dirumah
orang yang harus mengangkat sumpah. Raktek peradilan memperluas
penafsiran rumah menurut pasal 1944 KUH Perdata, maupun pasal 186(1)
HIR, membolehkan pelaksanaan sumpah di mesjid, gereja dan klenteng.
Syarat lain, pengucapan sumpah dilakukan dihadapan pihak lawan, karena
bilaman hal demikian dilanggar, maka sumpah sebagai alat bukti tidak
sah, dan tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian. Jenis sumpah yakni
sumpah pemutus (deciiosoir eed), yakni supah yang diucapkan oleh salah
satu pihak atas perintah pihak lawan. Selanjutnya sumpah penaksir, yakni
merupakan salah satu alat bukti sumpah, yang secara khusus diterapkan,
untuk menentukan berapa jumlah nilasi ganti rugi, atau harga barang yang
digugat oleh penggugat, apabila dalam persidangan penggugat tidak
mampu membuktikan berapa jumlah ganti rugi yang sebenarnya atau berapa
harga barang yang dituntutnya.. Taksiran itu dilakukan melalui
pembebanan sumpah penaksir.. Nilai pembuktian sumpah penaksir, bersifat
sempurna, mengikat dan menentukan.
Dalam praktek sumpah ini,
dapat dibebankan pada hakim dan sumpah yang dimohonkan oleh salah satu
pihak. Sumpah ini dikenal juga sumpah penambah dan sumpah pemutus.
Keterangan yang dikuatkan dengan sumpah bermaksud untuk menyelesaikan
perselisihan. Sumpah berfungsi untuk melengkapi, menambah bukti yang
belum lengkap
6.Pemeriksaan Setempat.
Salah satu hal yang
erat kaitannya dengan hukum pembuktian adalah pemeriksaan setempat,
walaupun secara formil tidak termasuk sebagai alat bukti, namun
pemeriksaan setempat, berfungsi untuk membuktikan, kejelasan dan
kepastian tentang lokasi, ukuran, dan batas batas objek sengketa. Dalam
praktek, dapat dilakukan pemeriksaan setempat dengan bantuan panitera,
untuk membuat berita acara, pemeriksaan persidangan dilakukan tidak
diruang sidang, tetapi dipindahkan dan dilakukan ditempat lain, yakni
ditempat objek yang berperkara.
Persidangan tersebut, bertujuan
untuk melihat keadaan objek perkara, dsn memeriksanya, dengan dilakukan
pengukuran setiap batas, serta membuat gambar situasi tanah. SEMA No. 7
Tahun 2001, mementukan bahwa, hasil pemeriksaan setempat berfungsi
memperjelas objek gugatan, guna pelaksanaan eksekusi riil, atas putusan
yang dijatuhkan. Nilai pembuktian pemeriksaan setempat, melekat pada
hasil pemeriksaan setempat, dijadikan sebagai keterangan oleh hakim,
yang menjelaskan tentang kepastian definitif atas barang yang
disengketakan. Sehingga dapat empunyai daya yang mengikat bagi hakim,
walaupun tidak mutlak. Hakim bebas menentukan nilai kekuatan
pembuktiannya.
Memeriksa barang bergerak oleh hakim, pada umumnya
tidak mengalami kesukaran, oleh karena barang bergerak itu mudah dibawa
atau diajukan dipersidangan yang berlangsung di Pengadilan. Pemeriksaan
barang tetap, maka hakim mengalami kesukaran dalam pemeriksaannya.
Hakim dalam hal ingin memperoleh kepastian, dan tidak hanya
menggantungkan kepada keterangan saksi atau surat, maka dapat diadakan
pemeriksaan setempat, yang dimungkin oleh Pasal 90 RO. Dimaksudakn
dengan pemeriksaan setempat, ialah pemeriksaan mengenai perkara oleh
hakim, karena jabatannya, yang dilakkan di luar pengadilan, agar hakim
dengan melihat sendiri, memperoleh gambaran atau keterangan yang memberi
kepastian, tentang peristiwa peristiwa yang menjadi sengketa.
Pemeriksaan setempat dalam praktek biasanya dilakukan, berkenaan dengan
letak gedung atau batas tanah.
7. Keterangan Ahli
Pemeriksaan saksi ahli, diatur dalasm Pasal 154 HIR, maupun pasal
215-229 Rv. Pasal ini, tidak menyebutkan saksi ahli, tetapi mengangkat
ahli, tetapi praktek peradilan menentukannya sebagai saksi ahli, tetapi
sebenarnya disebut sebagai keterangan ahli. Maksud pemeriksaan ahli,
dikaitkan dengan perkara, secara umum dipahami sebagai pengertian ahli,
yakni orang yang memiliki pengetahuan khusus dibiang tertentu. Menurut
hukum, bahwa seorang ahli itu, memiliki pengetahuan khusus dibidang ilmu
pengetahuan tertentu, sehingga orang itu benar benar kompeten.
Keahlian itu bisa dalam bentuk Skill, karena hasil latihan atau hasil
pengalaman, sehingga keterangannya, dapat membantu menemukan fakta
melebihi kemampuan umum orang biasa. Pengajuan ahli dapat dimintakan
oleh hakim, atau atas permintaan salah satu pihak. Pemeriksan ahli
dipersidangan, didasarkan pada keahliannya dibidang perkara yang
disengketakannya, dan bukan atas dasar pengalaman, penglihatan atau
pendengarannya. Menurut pasal 154 (1) HIR,
Ahli diperlukan,
karena terdapat hal hal yang belum jelas, sehingga satu satunya cara
yang dianggap dapat memperjelasnya, hanya berdasarkan pada laporan atau
keterangan ahli, yang benar benar kompeten, memberi opini atau pendapat,
mengenai kasus yang diperkarakan sesuai dengan spesialisasi yang
dimilikinya. Adapun bentuk pendapat ahli dilakukan secara lisan,
tulisan, dan disampaikan dalam persidangan, dan dikuatkan dengan sumpah.
Nilai kekuatan pembuktian pendapat ahli, secara formal berada di luar
alat bukti, oleh karenanya menurut hukum pembuktian, tidak mempunyai
nilai kekuatan pembuktian. Karena hakim atau pengadilan, tidak wajib
mengikuti pendapat ahli, jika pendapat itu berlawanan dengan
keyakinannya.. Karenanya pendapat ahli tidak dapat berdiri sendiri,
tempat dan kedudukannya, hanya untuk menambah, memperkuat, memperjelas
permaslahan perkara, sehingga fungsi dan kualitasnya, menambah alat
bukti yang syah lainnya.
Keterangan dari pihak ketiga, untuk
memperoleh kejelasan bagi hakim, dari suatu peristiwa yang
disengketakan, kecuali dari saksi. Memperoleh ahli, sering juga disebut
sebagai saksi ahli.. Keterangan ahli, ialah keterangan pihak ketiga yang
objektif, dan bertujuan untuk membantu hakim, dalam pemeriksaan, guna
menambah pengetahuan hakim, untuk memutuskan perkara yang diajukan
kepadanya. Pada umumnya hakim memnggunakan keterangan ahli, agar
memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam, tentang sesuatu yang hanya
dimiliki oleh seorang ahli tertentu, msalnya hal hal yang bersifat
tehnis dan sebagainya.
C. Keyakinan Hakim
Memutuskan Perkara Perdata
Sebagaimana
yang ditentukan menurut pasal 178 HIR, Pasal 189 Rbg. Apabila
pemeriksaan perkara selesai, maka Hakim karena jabatannya melakukan
musyawarah untuk mengambil putusan yang akan dijatuhkan. Proses
pemeriksaan dianggap selesai, apabila telah menempuh tahap jawaban dari
tergugat sesuai dengan pasal 121 HIR,
Dibarengi dengan replik dari
penggugat, maupun duplik dari penggugat, dan dilanjutkan dengan proses
pembuktian dan konklusi. Semua tahap dilaksanakan maka pengadilan
menyatakan selesai, selanjutnya pengadilan menjatuhkan atau pengucapan
putusan. Dimaksudkan dengan putusan adalah, adalah putusan pada tingkat
pertama, yang berisi keyakinan hakim atas perkara, terhadap objek
perkara yang disengketakan.
Putusan yang dijatuhkan oleh hakim
di pengadilan, harus berdasarkan pertimbangan yang jelas dan cukup.
Bilamana putusan tidak memenuhi hal demikian, maka dapat dikatagorikan
putusan yang tidak cukup pertimbangan atau onvoldoende gemontiveerd/
lnsufficient judgement. Alasan hukum itu harus berdasarkan pada
pertimbangan pasal pasal tertentu sesuai dengan peraturan perundang
undangan, Hukum kebiasaan, yurisprudensi atau doktrin hukum. Adapun asas
asas putusan dikenal dalam hukum acara perdata, yakni;
1. Memuat dasar alasan yang jelas dan rinci.(onvoldoendegemontiveerd/insufficientjudgement).
2.
Wajib mengadili seluruh bagian gugatan. Putusan harus secara total dan
menyeluruh, memeriksa dan mengadili setiap segi gugatan yang diajukan.
3.
Tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan (Ultra petitum partium).
Maknanya hakim yang melebihi posita maupun petitum gugatan, dianggap
telah melampaui batas wewenang atau ultra vires, yakni bertindak
melampaui wewenangnya (beyond the powers of his authority), sehingga
putusan harus dinyatakan cacat., meskipun dilakukan oleh hakim yang
beritikad baik, maupun sesuai dengan kepentingan umum. Hakim yang
memutuskan hal demikian, sama saja hakim telah melakukan pelanggaran
prinsif rule of law.
4. Diucapkan dimuka umum, dan bersifat
imperatif, mengandung prinsif dan asas fair trial, pemeriksaan
peradilan harus dilakukan berdasarkan proses yang jujur, sehingga proses
peradilan terhindar dari perbuatan yang tercela.
Tujuan suatu
proses pengadilan, adalah memperoleh putusan hakim yang berkekuatan
hukum tetap. Artinya suatu putusan hakim yang tidak dapat diubah lagi.
Karenanya hubungan kedua pihak yang berperkara ditetapkan untuk selama
lamanya, dengan maksud supaya ditaati secara sukarela, atau dipaksakan
dengan bantuan alat alat negara.Suatu putusan diambil untuk memutusi
suatu perselisihan atau sengketa, sedangkan penetapan berdasarkan pada
suatu permohonan, disebut juga sebagai yurisdiksi voluntair. Menurut
sifatnya amar putusan atau diktum dapat dibedakan dalam tiga macam,
yakni;
1. Putusan condemnatoir, yaitu amarnya berbunyi menghukum
atau seterusnya.Berupa penghukuman untuk menyerahkan suatu barang,
mengosongkan sebidang tanah, serta melakukan suatu perbuatan tertentu,
menghentikan suatu perbuatan/keadaan, serta membayar sejumlah uang.
Putusan ini memerlukan eksekusi
2. Putusan declaratoir, yaitu amarnya
berbunyi suatu keadaan sebagai suatu keadaan yang sah menurut hukum.
Putusan ini menegaskan tentang penggugat sebagai pemilik sah atas tanah
sengketa atau yang menyatakan penggugat adalah ahli waris.Putusan ini
tidak memerlukan eksekusi dalam pelaksanaannya.
3. Putusan yang
konstitutif,, yaitu amarnya menciptakan suatu keadaan baru. Yakni dalam
amarnya membatalkan suatu perjanjian, memutuskan ikatan perkawinan, atau
pernyataan pailit.
Suatu putusan hakim mempunyai tiga macam kekuatan, yakni;
1.
Kekuatannya untuk dapat dipaksakan dengan bantuan kekuatan umum
terhadap pihak yang tidak mentaatinya secara sukarela. Kekuatan ini
dinamakan kekuatan eksetorial.
2. Harus diperhatikan, bahwa putuan
hakim itu sebagai dokumen merupakan suatu akte otentik, menurut
pengertian undang undang, sehingga tidak hanya mempunyai kekuatan
pembuktian mengikat, tetapi juga ke luar. Artinya terhadap pihak ketiga
dalam hal membuktikan, bahwa telah ada suatu perkara antara pihak pihak
yang disebutkan dalam putusan itu, mengenai perkara yang dijatuhkan
dalam putusan.
3. Sesuatu yang melekat pada suatu putusan hakim, yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, adalah kekuatan untuk menangkis,
suatu gugatan baru mengenai hal yang sama yaitu berdasarkan asas nebis
in idem, yang berarti, bahwa tidak boleh dijatuhkan putusan lagi, dalam
perkara yang sama.
BAB
KEEMPAT
BEBAN PEMBUKTIAN DALAM
PRAKTIK PERADILAN TATA USAHA NEGARA
A. Hukum Administrasi Negara dan Peradilan TUN
Ilmu
hukum merupakan bagian dari Ilmu sosial, yang mempelajari hukum sebagai
objek kajiannya. Hukum administrasi negara sebagai suatu pengkhususan
atau salah satu bagian dari hukum tata negara. Hukum administrasi negara
mengatur hubungan hukum antara pemerintah/penguasa dengan masyarakat
atau anggouta masyarakat yang dilayaninya. Semakin modern suatu negara,
semakin banyak campur tangan pemerintah, terhadap kegiatan kegiatan
dibidang politik dibidang ekonomi, sosial budaya, keluarga dan
sebagainya.Agar supaya terjadi keharmonisan di dalam hubungan antara
pemerintah dengan masyarakat atau anggouta masyarakat, maka perlu adanya
kontrol terhadap pemerintah/penguasa, dimana salah satu teori tersebut,
adalah kontrol yuridis, yang diserahkan kepada Pengadilan Tata usaha
negara. Kontrol yuridis dalam kehidupan aorganisasi, terutama negara,
adalah salah satu fungsi managemen, yakni fungsi perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, dan fungsi pemantauan.
Kontrol
terhadap tindakan pejabat tata usaha negara, adalah suatu mekanisme dari
ujud negara hukum modern, karena untuk menghindari penyalahgunaan
kekuasaan negara, yang berlebihan terhadap warganegara, maka kontrol
yuridis, dalam suatu peradilan tata usaha negara sangat diperlukan, guna
penguatan, perlindingan hak asasi manusia. Negara hukum modern,
mengharuskan adanya peradilan tata usaha negara, yang merupakan suatu
sarana, yang sangat penting, dan sekaligus, menjadi ciri yang menonjol
pada negara hukum.. Peradilan tata usaha negara di Indonesia, merupakan
suatu kehendak konstitusi, dalam rangka memberikan perlindungan hukum
terhadap rakyat secara maksimal. Indonesia yang sedang melaksanakan
kesejahteraan bagi seluruh warganya, dalam segala bidang. Kesejahteraan
itu dapat dicapai dengan melakukan aktivitas pembangunan, yang multi
kompleks sifatnya, tidak dapat dipungkiri, bahwa aparatur pemerintah
memainkan peranan yang besar. Konsekwensi negatif atas peran pemerintah
tersebut, adalah munculnya sejumlah penyimpangan penyimpangan, seperti
korupsi, penyalahgunaan kewenangan, pelampauan batas kekuasaan,
sewenang wenang, pemborosan dan sebagainya. Penyimpangan yang dilakukan
oleh aparat pemerintah itu, tidak mungkin dibiarkan begitu saja. Maka
diperlukan sarana hukum, untuk memberikan perlindungan hukum bagi
masyarakat. Perlindungan hukum itu ditampung dalam peradilan tata usaha
negara.
Pengaturan kedudukan peradilan tata usaha negara, secara
tegas dalam konstitusi, dipengaruhi oleh gagasan mengenai, perlunya
peningkatan kualitas pengawasan terhadap pemerintah, sejalan dengan
semakin meningkatnya tugas tugas yang harus dilaksanakan oleh
pemerintah, yang dipengaruhi oleh paham negara kesejahteraan (welfare
state). Paham negara kesejahteraan, merupakan sintetis dari paham
individualisme yang menekankan pada kebebasan individu, dan paham
sosialisme, yang menekankan pada besarnya kekuasaan negara di satu sisi,
dan disisi lain, adanya pembatsan terhadap kebebasan individu. Paham
negara kesejahteraan, meskipun memberikan kekuasaan yang besar terhadap
negara, dalam melaksanakan fungsinya, namun menghendaki agar kekuasaan
tersebut, dibatasi untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat. Negara
menguasai benda benda publik dan cabang cabang produksi yang penting
bagi negara serta menguasai hajat hidup orang banyak, namun mengakui hak
hak individu.
Perlindungan hukum masyarakat di bidang administrasi,
disebabkan suatu birokrasi pemerintahan yang tidak taat asas, dan tidak
taat pada peraturan perundang undangan, karena itu, sangat penting
mewujudkan birokrasi yang rasional, menciptakan efisiensi dan
efektivitas, serta produktivitas, sehingga diharapkan tercapainya
organisasi yang kaya, fungsi, ramping struktural, efisen dan efektif.
Tujuan pelayanan prima bagi masyarakat, dalam mewujudkan pemerintahan
yang bersih, birokrasi haruslah mengembangkan.Pertama, etika yang syarat
dengan nilai nilai moral dan keagamaan dalam menjalankan fungsinya,
mewujudkan pemerataan dan keadilan sosial (social equity). Kedua, etika
yang mengacu pada nilai nilai yang melandasi keberadaan negara, yang
merujuk pada konstitusi. Ketiga, etika yang menyangkut nilai nilai
kemanusiaan yang bersifat universal, yang harus menjadi pegangan bagi
para birokrat.
Pengaturan kedudukan peradilan tata usaha negara,
secara tegas ditentukan dalam konstitusi, UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 pasaca amandemen, dalam pasal 24 (2), menyatakan, bahwa
kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah agung dan peradilan
yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata
usaha negara dan sebuah mahkamah konstitusi. Hal demikian dipengaruhi
oleh gagasan mengenai perlunya peningkatan kualitas, pengawasan terhadap
pemerintah. Sejalan dengan semakin meningkatnya, tugas tugas yang harus
dilaksanakan oleh pemerintah, yang dipengaruhi oleh paham negara
kesejahteraaan.
Paham ini merupakan sintetis dari paham
individualisme yang menekankan pada kebebasan individu, dan paham
sosialisme, yang menekankan pada besarnya kekuasaan negara disatu sisi,
adanya pembatasan terhadap kebebasan individu. Paham negara
kesejahteraan, meskipun memberikan kekuasaan yang besar terhadap negara
dalam melaksanakan fungsinya, namun menghendaki agar kekuasaan tersebut,
dibatasi untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat. Negara menguasai
benda benda publik dan cabang cabang produksi yang penting bagi negara,
serta yang menguasai hajat hidup orang banyak, namun mengakui hak hak
invidu, berkaitan dengan paham negara kesejahteraan. Paham negara
kesejahteraan, meskipun memberikan kekuasaan yang besar terhadap negara,
dalam melaksanakan fungsinya, namun menghendaki agar kekuasaan tersebut
dibatasi untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat.
Peradilan tata
usaha negara, sebagai perujudan dari paham negara modern, dengan
perlindungan terhadap hak asasi manusia, memberikan keleluasaan,
kelenturan dalam proses beracaranya, dengan basis pada kekuatan
pembuktian secara formil, sebagaimana yang ditentukan dalam hukum acara
perdata. Walaupun tidak selamanya sengketa administrasi itu, harus
melalui pengadilan. Malahan penyelesaian sengketa melalui pengadilan
sedapat mungkin dihindari, sebab begitu masuk ke dalam proses
pengadilan, sengketa tersebut akan terjebak kepada suatu penyelesaian
yang sangat berkepanjangan, dan memakan waktu yang sangat lama. Hal ini
bertentangan dengan dengan konsep welfare state, yang mengutamakan
kemakmuran atau kesejahteraan masyarakat dalam pelayanan. Hanya dalam
hal hal yang sangat terpaksa saja, dan tidak ada jalan lain lagi,
haruslah diselesaikan melalui pengadilan.
Pembentukan Peradilan Tata
Usaha Negara, sebagai pranata khusus berlangsung melalui perdebatan
yang panjang dalam kurun waktu yang cukup lama. Berbagai alasan
dikemukakan, tetapi yang lebih konkrit, adalah suatu alasan atau
kerinduan untuk memperoleh keadilan dibidang sengketa tata usaha negara.
Indonesia terlalu lama mengalami masa penjajahan di bawah pemeritahan
kolonial. Tidak ada suatu kontrol ketika itu. Adapun dalam perkembangan,
berlangsungnya sengketa tata usaha negara, dapat diketahui dalam undang
undang, yang mengakibatkan terjadinya perbedaan pendapat, pertengkaran,
perbantahan yang menjadi pertikaian dan perselisihan, bahkan hingga
menjadi perkara di pengadilan. Sengketa di bidang hukum administrasi
negar, adalah sengketa yang lahir dari atau sebagai akibat pelaksanaan
hukum administrasi negara materiil oleh pemerintah, atau kompetensi
peradilan administrasi negara, menyangkut perkara perkara administrasi
negara. Berbagai perkembangan dalam praktek. Hakim tata usaha negara,
para hakimnya berusaha untuk memperluas pengertian, dengan menafsirkan,
urusan pemerintahan, guna mengakomodir gugatan gugatan yang masuk,
dimana ketentuan perundang undangan belum mengaturnya secara jelas.
Peradilan
Tata Usaha Negara, pada dasarnya menegakkan hukum publik adiministrasi,
sebagaimana ditegakkan dalam Undang undang No. 5 Tahun 1946, bahwa
sengketa yang termasuk lingkup kewenangan peradilan tata usaha negara,
adalah sengketa tata usaha negara, dan mensyaratkan adanya tindakan
hukum tata usaha, untuk adanya keputusan tata usaha negara. Kehadiran
peradilan tata usaha negara, tidak hanya melindungi hak individu, tetapi
juga hak masyarakat.
Peradilan administrasi, telah menjadi
persyaratan bagi negara hukum modern, untuk memberikan kontrol terhadap
masuknya kesewenang wenangan penguasa. Adapun beban pembuktiannya, pada
para pihak yang berperkara, dan hakim secara aktif mengikuti dan
menggiring kearah kebenaran materiil, sebagaimana yang dikenal dalam
peradilan pidana. Hal ini dimaklumi karena peradilan administrasi bagian
dari hukum publik, sehinga hakim lebih aktif dalam persidangan, dan
berbeda dengan peradilan perdata, dimana hakim lebih bersifat pasif dan
menunggu para pihak.Pada proses peradilan TUN, hakim memberikan
kesempatan untuk memperbaiki permohonan gugatan, sebagaimana ditentukan
oleh peraturan perundang undangan.
B. Ragam Alat Bukti
Menurut Peradilan TUN
Hukum
pembuktian yang tercantum dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1986, bab IV,
bagian ke tiga dari pasal 100 sampai dengan pasal 107, Pasal 100: (1)
Alat bukti ialah : a. surat atau tulisan; b. keterangan ahli; c.
keterangan saksi; d. pengakuan para pihak; e. pengetahuan Hakim. (2)
Keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan;
Pasal
101: Surat sebagai alat bukti terdiri atas tiga jenis ialah : a. akta
otentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat
umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat
itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang
peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya; b. akta di
bawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh
pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai
alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di
dalamnya; c. surat-surat lainnya yang bukan akta;
Pasal 102: (1)
Keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah
dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan
pengetahuannya. (2) Seseorang yang tidak boleh didengar sebagai saksi
berdasarkan Pasal 88 tidak boleh memberikan keterangan ahli; Pasal 103:
(1) Atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau
karena jabatannya Hakim Ketua Sidang dapat menunjuk seseorang atau
beberapa orang ahli. (2) Seorang ahli dalam persidangan harus memberi
keterangan baik dengan surat maupun dengan lisan, yang dikuatkan dengan
sumpah atau janji menurut kebenaran sepanjang pengetahuannya yang
sebaik-baiknya; Pasal 104: Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti
apabila keterangan itu berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat, atau
didengar oleh saksi sendiri; Pasal 105: Pengakuan para pihak tidak
dapat ditarik kembali kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat
diterima oleh Hakim; Pasal 106: Pengetahuan Hakim adalah hal yang
olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya; Pasal 107: Hakim
menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian
pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya
dua alat bukti berdasarkan keyakinan Hakim, merupakan bagian hukum acara
tata usaha negara.
Dalam hukum pembuktian tata usaha negara dapat
digolongkan; Pertama. ketentuan prosudur berperkara diatur bersama-sama
dengan hukum materiilnya atau dengan susunan, kompetensi dari bahan yang
melakukan peradilan dalam bentuk undang-undang atau peraturan lainnya;
Kedua. ketentuan prosudur berperkara diatur tersendiri masing-masing
dalam bentuk undang-undang atau bentuk peraturan lainnya. Tujuan
pembuktian menurut peradilan tata usaha negara, adalah menyusun putusan
atas dasar pembuktian .
Penilaian pembuktian dalam peradilan tata
usaha negara, adalah berarti memberikan nilai atau memberikan harga atau
mutu, apa yang dibuktikan itu, adalah suatu peristiwa atau fakta,
sehingga penilaian atas pembuktian berarti memberikan penghargaan atas
suatu kenyataan peristiwa atau fakta, yang disengketakan dan telah
diajukan pembuktian, dan harus dinilai, diberikan harga, kadar atau
mutu. Guna kelancaran proses pemeriksaan perkara, maka penggugat,
semestinya mempersiapkan alat alat bukti, yang dapat menerangkan perkara
Pembuktian menurut peradilan Tata Usaha Negara, yakni;
1.Surat atau Tulisan
Surat
sebagai alat bukti, meliputi, akta otentik, yang dibuat oleh pejabat
umum, yang menurut peraturan perundang undangan, berwenang membuat
surat, dengan maksud, untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang
peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya.Termasuk juga akte di bawah
tangan, yakni surat yang dibuat dan ditandatangani, oleh pihak pihak
yang bersangkutan, dengan maksud untuk dapat dipergunakan, sebagai alat
bukti tentang peristiwa, atau peristiwa hukum yang tercantum di
dalamnya.. Selanjutnya surat surat lain yang bukan akta, diserahkan
pertimbangannya oleh hakim. Karena surat surat itu, sejak dibuatnya,
bukan secara sengaja, untuk dijadikan sebagai alat bukti, tetapi, guna
menjaga terjadi hal hal yang tidak diinginkan dikemudian hari.. Alat
bukti surat dalam praktek, dapat juga berupa penolakan atau pencabutan
keputusan tata usaha negara, termasuk resi, kwitansi, yang diterima oleh
penggugat dari pegawai, instansi yang bersangkutan.
Sengketa tata
usaha negara, selau dikaitkan dengan adanya suatu keputusan tata usaha
negara, sehingga selalu yang dapat digugat di pengadilan tata usaha
negara adalah surat atau tulisan, yang merupakan salah satu bukti yang
penting dalam pemeriksaan sengketa, sedangkan keterangan saksi, dianggap
sebagai bukti, bilamana keterangan saksi tersebut, berkenaan dengan hal
yang dialami, dilhat atau didengar oleh saksi tersebut. Surat sebagai
akte otentik, terdiri dari tiga jenis, yakni akte otentik, akte di bawah
tangan dan surat surat lain yang bukan akte.
2.Keterangan Ahli
Keterangan ahli sebagaimana ditentukan dalam Pasal 102 UU No. 3 Tahun
1986, yakni, pendapat orang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan
tentang hal yang diketahuinya menurut pengalaman dan pengetahuannya.
Ahli memberikan jawaban atas pertanyaan terhadap apa yang terjadi.
Kedudkan ahli dipersidangan atas permintaan kedua pihak, atau salah satu
pihak, atau karena jabatannya. Hakim ketua sidag dapat menunjuk
seseorang atau beberapa orang ahli, untuk memberikan keterangan baik
dengan surat maupun dengan tulisan.
Keterangan ahli ,adalah
pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah, dalam persidangan,
tentang hal yang diketahui, menurut pengalaman dan pengetahuannya. Atas
permintaan kedua pihak atau salah satu pihak, atau karena jabatannya.
Maka ketua majelis dapat menunjuk seseorang atau beberapa orang ahli,
termasuk keterangan ahli, adalah keterangan yang diberikan oleh juru
taksir.
Di dalam hukum acara peradilan PTUN, keterangan ahli
sebagai salah satu alat bukti mempunyai arti dan kedudukan yang cukup
penting. Karenanya tidak berlebihan apabila pembuat undang undang
menempatkannya pada urutan kedua, setelah alat bukti surat atau tulisan.
Hal ini berbeda dengan hukum acara perdata, yang tidak menjadikan
keterangan ahli sebagai alat bukti yang mutlak, sebab keterangan ahli
baru didengar, apabila kebutuhan untuk itu benar benar sangat diperlukan
seperti halnya pemeriksaan setempat. Mereka yang dilarang bertindak
sebagai ahli, adalah mereka yang mempunyai hubungan karena keluarga,
sedarah atau semenda, menurut garis keturunan lurus ke atas atau ke
bawah sampai derajad kedua dari satu pihak yang bersengketa; istri atau
suami salah satu pihak yang bersengketa meskipun sudah bercerai, anak
yang belum berusia 17 tahun dan orang yang sakit ingatan. Saksi ahli
yang memberikan keterangannya dalam persidangan, dapat dilakukan dengan
surat atau tulisan yang dikuatkan dengan sumpah atau janji menurut
kebenaran sepanjang pengetahuan yang sebaik baiknya, untuk memperoleh
keterangan saksi ahli itu dapat ditunjuk seseorang atau beberapa orang
ahli, tergantung permintaan kedua pihak atau salah satu pihak atau hakim
ketua sidang karena jabatannya. Manfaat keterangan ahli , dapat
dirasakan oleh para pihak yang bersengketa, karena akan mendapatkan
keterangan secara objektif, lebih dari itu sangat berguna bagi hakim
dalam meutuskan sengketa yang diperiksanya.
3. Keterangan Saksi
Ketrerangan saksi menurut pasal 104 UU No. 5 Tahun 1986, dianggap
sebagai alat bukti, apabila keterangan itu, berkenaan dengan hal yang
dialami, dilihat atau didengar oleh saksi sendiri. Kehadirannya
dipengadilan atas kegendak dan permintaan, salah satu pihak atau karena
jabatannya. Dengan kewajiban untuk mengucapkan sumpah atau janji,
menurut agama dan kepercayaannya, dengan dihadiri oleh pihak yang
bersengketa.
Permintaan menghadirkan seorang saksi di
persidangan untuk didengar kesaksiannya, dapat merupakan inisiatif para
pihak, dan dapat pula merupakan inisiatif hakim karena jabatannya. Dalam
pemeriksaan dan penentuan saksi peranan hakim sangat aktif, sehingga
seorang saksi yang sengaja tidak datang tanpa alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan, meskipun telah dipanggil dengan patut, dan hakim
cukup punya alasan, serta menduga bahwa saksi tersebut sengaja tidak
datang. Hakim ketua sidang dapat memberi perintah, agar saksi dibawa
oleh polisi dengan paksa kepersidangan. Karena menjadi saksi merupakan
keajiban hukum setiap orang. Maknanya bilamana seorang saksi menolak
menunaikan kewajibannya, untuk itu saksi dapat dipaksa untuk
melaksanakan kewajibannya, sehingga saksi berkenan untuk hadir memeberi
kesaksiannnya.
Keterangan saksi, dianggap sebagai alat bukti,
apabila keterangan itu, berkenaan dengan hal hal yang dialami, dilihat
atau didengar oleh saksi sendiri. Dengan demikian, pendapat, dugaan,
anggapan atau keterangan yang diperoleh dari orang lain, menjadi tidak
relevan dijadikan kesaksian saksi, yang tidak boleh didengar sebagai
saksi adalah keluarga sedarah atau semenda garis lurus atas dan bawah
sampai derajat kedua dari salah satu pihak yang berperkara. Istri atau
suami, salah seorang pihak yang bersengketa, meskipun sudah bercerai.
Anak yang belum berusia tujuh belas tahun. Orang yang sakit ingatan.
4.Pengakuan Para Pihak
Pengakuan para pihak, tidak dapat ditarik kembali, kecuali
berdasarkan alasan kuat dan dapat diterima oleh hakim.. Dalam proses
perkara Tata Usaha Negara, suatu perkara harus diterima secara bulat
atau utuh, hakim tidak diperkenankan, hanya menerima sebahagian dari
pengakuan dan menolak sebagian yang lain.. Pengakuan adalah keterangan
yang membenarkan peristiwa, hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh
pihak lawan, dengan maksud untuk segera menyelesaikan perkara. Dengan
demikian pengakuan dapat menjadi alat bukti yang sempurna.Sedangkan
pengakuan di luar sidang, baik tertulis maupun lisan, dan masih harus
dibuktikan di persidangan, karenanya bukanlah menjadi bukti yang
sempurna, dan menjadi alat bukti yang bebas. Pengakuan tidak
diperkenankan dilakukan secara terpaksa atau di bawah tekanan dari pihak
pihak tertentu, terutama pengakuan yang diberikan oleh salah satu pihak
di luar persidangan, baik secara lisan maupun tulisan.
Suatu
pengakuan, akan diterima, sebagai suatu bukti yang sempurna, bilamana
diberikan di muka hakim dalam persidangan, sedangkan pengakuan yang
diberikan di luar sidang tidak dapat diterima, sebagai suatu bukti yang
mengikat, tetapi hanya sebagai alat bukti bebas, terserah kepada hakim,
untuk menerima atau menolaknya. Pengakuan yang diberikan dihadapan hakim
tidak dapat ditarik kembali, kecuali dapat dibuktikan adanya suatu
kekhilafan.
Dalam praktik peradilan PTUN,peranan hakim
bersifat aktif, maka penilaian terhadap pengakuan yang disampaikan atau
diucapkan di luar persidangan, dapat sepenuhnya diserahkan kepada hakim
untuk menilainya, sebab lebih dari itu hakim dapat juga menentukan alat
alat bukti lainnya yang diperlukan.
5. Pengetahuan Hakim
Pengatahuan hakim, adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini
kebenarannya. Pengetahuan hakim, yang dialami oleh hakim, selama
pemeriksaan perkara dalam sidang, maupun dalam sidang setempat, tentang
dugaan dugaan, dalam pemeriksaan, guna dapat menilai, termasuk barang
barang yang diajukan sebagai bukti, serta orang orangnya. Pengatahuan
hakim, adalah pengetahuan yang objektif, dan tidak diperkenankan untuk
mengenyampingkan alat alat bukti yang lain.
Pengetahuan hakim dan
atau keyakinan ini, dalam hukum acara pidana terdqpqt teori pembuktian
berdasarkaan keyakinan hakim melulu dan atau teori pembuktian
berdasarkan keyakinan hakim atas alsan logis.
Beban pembuktian
dalam perkara tata usaha negara, sebagaimana ditentukan dalam pasal 107
UU pengadilan Tata Usaha Negara, diperlukan sekurangnya dua alat bukti
berdasarkan keyakinan hakim. Karenanya hakim tata usaha negara dapat
menerima sendiri, tentang apa yang harus dibuktikan, siapa yang harus
dibebani pembuktian, hak apa saja yang harus dibuktikan oleh pihak yang
berperkara, dan hal apa saja yang harus dibuktikan oleh hakim. Alat
bukti mana saja, yang diutamakan untuk dipergunakan dalam pembuktian,
serta kekuatan pembuktian dari bukti yang diajukan. Karenanya
berdasarkan pada pasal 107 UU Peradilan Tata Usaha Negara, hukum
acaranya, menganut ajaran pembuktian bebas. Namun terdapat batas batas
tertentu terhadap kebebasan dalam hukum acaranya. Misalnya syarat
sayarat sekurang kurang dua alat bukti secara limitatif. Dalam hukum
acara peradilan tata usaha negara, yang dipersoalkan adalah sah tidaknya
sebuah keputusan tata usaha negara (KTUN).
Persoalan rechtmatigheid
menyangkut alat ukur, sehingga yang diperlukan adalah alat ukur yang
diperlukan oleh hakim, untuk menyatakan suatu keputusan tata usaha
negara sah atau tidak sah, keabsahannya itu, diukur dengan perundang
undangan dan/atau hukum tidak tertulis, berupa asas asas umum
pemerintahan yang baik, sehingga aspek yang diukur adalah wewenang,
prosudur serta subastansi.
C. Beberapa Asas Peradilan TUN
Asas
berarti landasan, dasar, fundamen, prinsif, jiwa serta cita cita,
sehingga asas adalah suatu dalil umum yang dinyatakan dalam istilah umum
dengan tidak menyebutkan secara khusus cara pelaksanaannhya. Asas dapat
juga disebut sebagai pengertian pengertian dan nilai nilai yang menjadi
titik tolak berpikir tentang sesuatu.
Asas hukum sebagai
jantungnya peraturan hukum..Asas hukum merupakan landasan yang paling
luas, bagi lahirnya suatu peraturan hukum, bahwa peraturan hukum itu
pada akhirnya dapat dikembalikan pada asas asas. Asas hukum merupakan
pikiran pikiran yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum,
masing masing dirumuskan dalam aturan aturan perundang undangan, dan
putusan putusan hakim, yang berkenaan dengan ketentuan ketentuan dan
keputusan keputusan individual dipandang sebagai penjabarnnya. Asas asas
hukum yang terdapat dalam hukum acara peradilan tata usaha negara,
yakni:
1. Asas Praduga Rechmatig.
Asas ini, berdasarkan atas
tindakan pemerintah selalu dianggap rechmatig sampai terdapat
pembatalan. Asas gugatan pada dasarnya tidak dapat menunda pelaksanaan
keputusan tata usaha negara, yang diperesengketakan, kecuali ada
kepentingan yang mendesak dari penggugat.
2. Asas Para Pihak Harus Didengar.
Para
pihak mempunyai kedudukan yang sama, dan harus diperlakkan dan
diperhatikan secara adil. Hakim tidak dibenarkan hanya memperhatikan
alat bukti, keterangan atau penjelasan salah satu pihak saja.
3. Asas Kesatuan Beracara Dalam Perkara Sejenis.
Dalam
pemeriksaan di peradilan judex fakti, maupun Kasasi di Mahkamah Agung
sebagai puncaknya. Atas dasar kesatuan hukum bedasarkan wawasan
nusantara, maka dualisme hukum acara dalam wilayah Indonesia menjadi
tidak relevan.
4. Asas Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Yang merdeka.
Maksudnya
segala tindakan bebas dari segala macam campur tangan kekuasaan yang
lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang bermaksud untuk
mempengaruhi keobjektifan putusan pengadilan.
5. Asas Perdilan
Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan. Sederhana adalah hukumacara yang
mudah dipahami dan tidak berbeli belit. Dengan hukum acara yang mudah
dipahami, maka peradilan akan berjalan dalam waktu yang relatif cepat,
dan biaya semakin menjadi ringan.
6. Asas Hakim Aktif.
Sebelum
dilakkan pemeriksaan terhadap pokok perkara sengketa, hakim mengadakan
rapat permusyawaratan untuk menetapkan, apakah gugatan dinyatakan tidak
diterima atau tidak berdasar yang dilengkapi dengan pertimangan
pertimbangan, dikenal juga senagai masa persiapan, bahkan hakim dapat
memerintahkan kepada suatu adan pejabat negara sebagai pihak tergugat
itu, untuk memberikan informasi atau data yang diperlukan.
7. Asas Sidang Terbuka Untuk Umum.
Asas
ini, membawa konsekwensi, bahwa semua putusan pengadilan hanya sah, dan
mempunyai kekuatan hukum, apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk
umum.
8. Asas Peradilan Berjenjang.
Peradilan berjenjang
dimaksudkan Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Tinggi Tata Usaha
Negara,, dan puncaknya adalah Mahkamah Agung. Dianutnya asas ini, maka
kesalahan dalam putusan pengadilan lebih rendah, dapt dikoreksi oleh
pengadilan yang lebih tinggi.
9. Asas Pengadilan Sebagai Upaya Terakhir Untuk Mendapatkan Keadilan.
Asas ini menempatkan pengadilan sebagai ultimum remedium. Sengketa tata
usaha negara, sedapat mungkin terlebih dahulu diupayakan
penyelesaiannya dengan musyawarah, untuk mencapai mufakat hukum secara
konfrontatif.
10. Asas Objektivitas.
Guna pencapaian keputusan
yang adil, maka hakim atau panitera, wajib mengundurkan diri, apabila
terikat hubungan keluarga, semenda sampai derajat ketiga.
Dalam pekembangannya asas hukum acara peradilan Administrasi, meliputi;
1.
Asas Negara Hukum. Asas ini, mempunyai korelasi erat dengan peradilan
administrasi negara, karena salah satu unsur negara hukum Indonesia,
adalah peradilan administrasi, sehigga secara yuridis, empiris, jaminan
eksistensi peradilan administrasi itu menemukan landasannya, serta
perujudan dari cita cita negara hukum Indonesia.
2. Asas Demokrasi.
Demokrasi yang selalu dikaitkan dengan konstitusional, yakni dengan
gagasan terujudnya cita cita pemerintahan yang terbatas kekuasaannya,
terdapat larangan pemerintah bertindak sewenang wenang, terjaminnya hak
asasi manusia, dan dihindarinya terpusatnya kekuasaan pada satu tangan,
yang dapat menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan.
3. Asas
Kekeluargaan.Adanya hubungan kekeluargaan dengan kesatuan soaial yang
didasari oleh rasa cinta kasih, sayang, rasa seia sekata dan simpati.
Solidaritas melahirkan sikap saling asah, asih dan asuh serta kewajiban
dan tanggung jawab timbal balik, akhirnya melahirkan masyarakat gotong
royong.
4. Asas serasi seimbang selaras.Asas ini merupakan suatu
rangkaian dari jiwa Pancasila, dengban formulasinya ke dalam cita cita
negara hukum, yang bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan negara dan
bangsa yang sejahatera, aman, tentram dan tertib, mejamin kedudukan
warga negara dalam hukum.
5. Asas Persamaan dihadapan Hukum.
Melahirkan suatu ketentuan, setiap tindakan yang menimbulkan kerugian
bagi orang lain, dapat dituntut pertanggungjawabannya dihadapan
pengadilan, tidak terkecuali tindakan yang menimbulkan kerugian itu
dilakukan oleh Pemerintah.
6. Asas Peradilan Netral. Dimaksud dengan
peradilan netral adalah peradilan administrasi negara yang bebas dan
merdeka, karena peradilan ini adalah salah satu peradilan yang penting
dikaitkan dengan unsur negara hukum.
7. Asas Sedehana, Cepat, Adil
Mudah dan Murah. Bahwa prosudur beracara dirumuskan dengabn sederhana
dan murah, dan mengurangi hal hal formalitas yang tidak perlu, dengan
tetap memperhatikan kepastian hukum dan nilai nilai keadilan.
8. Asas Kesatuan Beracara. Adanya keberagaman beracara bagi peradilan administrasi di seluruh Indonesia.
9.
Asas Keterbukaan Persidangan.Maksudnya agar setiap proses acara
persidangan dapat terjaga dari aspek kejujuran, keterbukaan, sehingga
peradilan berjalan dengan objektif.
10. Asas Musyawarah dan
Perdamaian. Prinsif musyawarah harus ditegakkan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, yang harus dilandasi oleh jiwa persaudaraan
sesuai dengan prinsif negara hukum, dengan memberikan kemungkinan adanya
perdamaian para pihak.
11. Asas Hakim Aktif. Dalam merapkan beban
pembuktian, maka hakim secara aktif, guna menemukan kebenaran materiil
terhadap sengketa yang diperiksannya..
12. Asas Pembuktian Bebas.
Hakim diberi peluang untuk melaksanakan pembuktian bebas, sebagai suatu
konsekwensi logis dari pemberian peran aktif hakim adminstrasi.
13.
Asaa Audi Et Altream Partem. Asas ini adalah implementasi dari asas
persamaan, dimana hakim tidak boleh membedakan antara penggugat dengan
tergugat dan hakim harus bersifat adil, terhadap kedua pihak.
14.
Asas Het Vermoden Van Rechtmatigheid atau Asas Presumtio Justea Causa.
Bahwa demi kepastian hukum, setiap keputusan administrasi tata usaha
negara, yang dikeluarkan harus dianggap benar menurut hukum, karenanya
dapat dilaksanakan tyerlebih dahulu, selama belum dibuktikan sebaliknya
dan dinyatakan oleh hakim administrasi sebagai keputusan yang bersifat
melawan hukum.
15. Asas Rechmatigheid dan Larangan Doelmatigheid.
Segi pemeriksaan adminkstrasi dilakkan oleh peradilan administrasi
murni, hanya terbatas dari segi Rchmatig dari keputusan tata usaha
negara yang disengketakan, karenanya yang dilakukan pengujiannya dari
segi yuridis saja.
16. Asas Pengujian Ex-tunc. Pengujian yang
dimaksudakan adalah hanya terbatas pada fakta fakta atau keadaan hukum,
pada saat putusan tata uaha negara disengketakan akan dinyatakan batal
dan berakibat tidak sah, sehingga pernyataan batal berlaku surut,
terhitung dari saat dikeluarkannya.
17. Asas Konvensasi atau Asas
Ongelijkheids Compentatie. Asas ini berkaitan dengan rehabilatsi, yakni
pemulihan hak hak penggugat dalam kemampuan dan kedudukan harkat dan
martabatnya sebagai pegawai negeri sipil semula, sebelum adanya
sengketa. Karenanya penggugat dapat diangkat dalam jabatn lainnya,
sekiranya jabatan itu telah diisi oleh orang lain.
18. Asas Hak Uji
Materiil. Yakni pengujian dapat dilakkan oleh badan peradilan terhadap
suatu peraturan perundang undangan di bawah undang undang yang
dikeluarkan oleh badan/pejabat administrasi negara. Pengujian meliputi
sgi formiil dan materiil.
19. Asas Ultra Petita. Hal ini adalah suatu
konsekwensi dari hakim aktif, karena hakim dapat melakukan
penyempurnaan terhadap objek sengketa, dengan cara melengkapi objek
sengketa yang diajukan parta pihak. Penggunaan ultra petita ini,
diupayakan semaksimalnya, dan terbatas pada memperbaiki fakta fakta yang
tidak didalilkan oleh penggugat dan menambahkan dengan yang tidak
diminta oleh penggugat.
20. Asas Putuan Bersifat Erga Omnes. Sengketa
TUN, adalah sengketa hukum publik, maka putuan peradilannya akan
menimbulkan konsekwensi mengikat umum, dan mengikat terhadap sengketa
yang mengandung persamaan yang mungkin timbul pada masa akan datang.
Adapun ciri dari hukum acara peradilan tata usaha negara, terletak
pada asas asas hukum yang melandasinya, yaitu: Pertama. Asas praduga
rechmatig (vermoeden van rechtmatigheid / praesumptio iustae causa. Asas
ini mengandung makna, bahwa setiap tindakan penguasa selalu harus
dianggap rechmatig sampai ada pembatalannya. Dengan asas ini gugatan
tidak menunda pelaksanaan keputusan tata usaha Negara yang digugat
(Pasal 67 (1) UU No.5 Tahun 1986). Kedua. Asas Pembuktian Bebas. Hakim
yang menetapkan beban pembuktian. Hal ini berbeda dengan dengan
ketentuan pasal 1865 BW. Asas ini dianut dalam pasal 107, hanya saja,
masih dibatasiketentuan pasal 100. Ketiga. Asas Keaktifan hakim (dominus
litis). Keaktifan hakim dimaksudkan untuk mengimbangi kedudukan para
pihak, karena tergugat adalah pejabat tata usaha negara, sedangkan
penggugat adalah orang atau badan hukum perdata. Penerapan asas ini,
terdapat dalam ketentuan pasal 58, 63 (1),(2), 80, 85. Keempat. Asas
putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat erga omnes, sengketa TUN,
adalah sengketa hukum publik. Dengan demikian putusan pengadilan TUN,
berlaku bagi siapa saja, tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa
Dalam praktek, tidak semua hal, kputusan tata usaha negara diberi
wewnang oleh atau berdasarkan peraturan perundang undangan, untuk
menyelesaikan secara administratif sengketa tata usaha negara tertentu,
maka sengketa tata usaha negara tersebut, harus diselesaikan melalui
upaya administratif yang tersedia. Pengadilan baru berwenang, memutuskan
dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara, sebagaimana dimaksudakn
dalam ayat 1, jika seluruh upaya administrasi yang bersangkutan telah
digunakan.
Dengan demikian terdapat dua jalur penyelesaian, yakni
dalam hal tidak terdapat upaya administrasi, maka jalur pengadilan tata
usaha tingkat pertama yang ditempuh, sedangkan melalui jalur
administrasi, maka jalur yang tersedia adalah gugatan langsung ke
pengadilan tinggi tata usaha negara.Berdasarkan ketentuan pasal 53 (1),
yang dapat bertindak sebagai penggugat, adalah orang atau badan hukum
perdata, yang berkepentingan dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha
Negara, dengan kerugian/kepentingan. Petitum pokoknya adalah agar
Keputusan Tata Usaha Negara tersebut, dinyatakan tidak sah atau batal,
Petitum tambahan adalah ganti rugi dan rehabilitasi.
D. Objek Sengketa dan SaranaTUN
1. Unsur Objek Tata Usaha Negara.
Unsur
unsur objek sengketa di Pengadilan tata usaha negara, berdasarkan pasal
1(3) UU No. 5 Tahun 1986, terdiri dari, penetapan tertulis, oleh badan
atau pejabat tata usaha negara; tindakan hukum tata usaha negara;
Konkrit individual dan final; akibat hukum bagi seseorang atau badan
hukum perdata.
1. Unsur Penetapan Tertulis.Istilah penetapan
tertulis, terutama ditujukan kepada isi dan bukan kepada bentuk formasi,
yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.Persyaratan
tertulis itu diharuskan untuk kemudahan segi pembuktian. Oleh karena
itu, sebuah memo atau nota dapat memenuhi syarat tertulis, dan akan
merupakan suatu keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara menurut
undang undang ini.
2. Unsur Badan Atau Pejabat Tata Usaha
Negara.Pengertian Badan atau pejabat Tata Usaha Negara, terkesan adalah
orang yang menduduki jabatan, padahal yang menduduki jabatan, bukanlah
orang tetapi jabatannya. Setiap badan atau pejabat tata usaha negara,
meliputi setiap badan, organisasi atau perorangan yang mendapat limpahan
wewenang, untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan dapat digugat di
Peradilan Tata Usaha Negara.
3. Unsur Tindakan Hukum Tata Usaha
Negara. Unsur ini membedakan perbuatan perbuatan pemerintah, yang
merupakan tindakan hukum dan perbuatan pemerintah yasng merupakan
tindakan faktual. Hanya Perbuatan perbuatan pemerintah yang merupakan
tindakan hukum yang menjadi wewenang peradilan tata usaha negara,
selebihnya adalah gugatan ganti kerugian
4. Unsur Konkrit,
Individual dan Final.Unsur konkrit, hanya sekedar membedakan antara
perbuatan pemerintah, yang konkrit dengan yang abstrak. Sedangkan
individula maksudnya bahwa perbuatan pemerintah tersebut ditujukan
kepada individu tertentu atau seseorang atau badan hukum perdata
tertentu. Dalam praktek unsur individual mengalami perkembangan. Unsur
final, berarti keputusan pemerintah tersebut sudah dapat langsung
menimbulkan akibat hukum apabila dilaksanakan. Tidak memerlukan
persetujuan lagi, dari atasan maupun instansi sejajar.
5. Unsur
Akibat Hukum. Artinya keputusan pemerintah tersebut, apabila
dilaksanakan langsung, menimbulkan akibat hukum, bagi seseorang atau
badan hukum perdata. Akibat hukum berupa kerugian yang timbul, yang
diderita oleh orang, yang terkena keputusan.
2. Sarana Tata Usaha Negara.
1.
Peraturan perundang undangan, dan keputusan keputusan tata usaha negara
yang memuat pengaturan bersifat umum.Sebagaimana ditentukan dalam
penjelasan pasal 1 angka 1,2. Pasal 2 huruf b.
2. Peraturan
peraturan Kebijaksanaan. Para pejabat pelaksana pemerintahan sehari
hari, menunjukan betapa badan atau pejabat tata usaha negara, acpkalai
menempuh berbagai langkah kebijaksanaan tertentu, antara lain
menciptakan, apa yang yang disebut sebagai peraturan kebijakan
(beleidsregel, policy rule). Produknya tidak terlepas dari peraturan
kebijakan, yang berkaitan dengan freis emerssen, yaitu bardasarkan atau
pejabat tata usaha negara, yang bersangkutan merumuskan kebijakan,
dalam berbagai bentuk jurische regela, Suatu kebijaksanaan pada
hakekatnya, merupakan produk dari peraturan tata usaha negara, yang
bertujuan, namun tanpa disertai kewenangan pembuatan peraturan dari
badan atau pejabat tata usaha negara, yang menciptakan peraturan
kebijaksanaan tersebut. Peraturan kebijaksanaan dimaksud, pada
kenyataannya telah merupakan bagian dari kegiatan pemerintahan. Saat ini
peraturan kebijaksanaan telah menjadi hal yang penting, dalam hukum
administrasi belanda, atau disebut juga sebagai perundang undang semu
(pseudo-wetgeving) Peraturan kebijaksanaan ini tidak mengikat hukum
secara langsung, namun mempunyai relevansi hukum, karena telah memberi
ruang, bagaimana suatu badan tata usaha negara, menjalankan kewenangan
pemerintahan (beschikingbevoegdheid).
3. Bentuk Gugatan dan Kepentingan.
Gugatan
adalah, adalah suatu permohonan berisi tunutan terhadap badan/pejabat
TUN yang diajukan ke pengadilan administrasi untuk mendapatkan putusan,
suatu gugatan dibuat dalam bentuk tertulis.
4. Dasar atau Alasan Gugatan.
Dasar
atau alasan diajukannya gugatan terhadap suatu keputusan yang
dikeluarkan oleh badan/pejabat TUN, karena keputusan yang dikeluarkan
tersebut oleh penggugat dianggap;
a. Bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, baik bersifat prosedural / formal dan
bersifat materiel / substansial. Maupun karena dikeluarkan oleh
badan/pejabat TUN yang tidak berwenang (onbevoegheid), yang berkaitan
dengan ratione materiae atau ratione loci atau ratione temporis;
Bersifat prosedural berarti berkaitan dengan hukum acara dilingkungan
pemerintah (non kontentiosa) atau prosedur dikeluarkannya keputusan
(beschikking) yang disengketakan. Bersifat formal berkaitan dengan
atribusi atau dasar hukum dikeluarkannya keputusan yang disengketakan.
b. Dikeluarkan atas dasar penyalah-gunaan wewenang (de tournement de pouvoir);
c. Dikeluarkan atas dasar perbautan sewenang-wenang (a bus de droit/ wilikeur).
E. Tentang Putusan Pengadilan TUN
Dalam
hukum acara PTUN, peranan hakim bersifat aktif (nielijkeheid van de
rechter). Hal ini berbeda dengan hukum acara perdata, dimana hakim
bersifat pasif (lijdelijk). Timbulnya hakim aktif dalam PTUN dilandasi
pertimbangan yakni; karena keputusan tata usaha negara yang
disengketakan merupakan bagian dari hukum positif, yang harus sesuai
dengan tertib hukum (rechtsorde) yang berlaku dan sengketa berada dalam
wilayah hukum publik. Karena itu hakim dibebani tugas untuk mencari
kebenaran materiil.
Kecuali peran aktif hakim dimaksudkan untuk
mengimbangi kedudukan yang tidak seimban antara penggugat dengan
tergugat, dimana kedudukan tergugat jauh lebih kuat, daripada kedudukan
pengggugat, baik berupa pasilitas dan keuangan serta kemampuan
pengetahuan. Hakim tidak lagi tergantun sepenuhnnya kepada dalil dan
bukti yang diajukan para pihak kepadanya.
Putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara, diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum, setelah seluruh
rangkaian proses pemeriksaan sengketa. Maka hakim terlebih dahulu
memberikan kesempatan kepada para pihak untuk menyampaikan kesimpulan
masing masing. Selanjutnya hakim akan bermusyawarah, dalam ruang
tertutup guna mempertimbangkan putusan. Permufakatan dilakukan dengan
sungguh sungguh, dengan mufakat bulat, atau dengan suara terbanyak, dan
diupayakan untuk mufakat, bilamana tidak tercapai nufakat , maka hakim
ketua sidang akan menentukan.
Selanjutnya berdasarkan pasal 109 UU
No. 5 Tahun 1986, bahwa putusan pengadilan Tata Usaha Negara harus
memuat; Kepala putusan yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Nama jabatan, Kewarganegaraan, tempat kediaman,
atau tempat kedudukan para pihak yang bersangkutan. Ringkaan gugatan
dan jawaban tergugat yang jelas. Pertimbangan dan penilaian setiapbukti
yang diajukan, dan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa
itu diperiksa. Alasan hukum yang menjadi dasar putusan. Amar putusan
yang tentang sengketa dan biaya perkara. Hari tanggal putusan, serta
keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak. Semua putusan
yang tidak memuat hal hal tersebut, aka mengakibatkan batalnya putusan
tersebut. Amar putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat berupa;
1. Gugatan dinyatakan gugur, apabila penggugat tidak hadir.
2. Gugatan dinyatakan tidak dapat diterima.
3. Gugatan dinyatakan ditolak.
4. Gugatan dinyatakan dikabulkan.
Dalam hal gugatan dinyatakan dikabulkan, maka dalam putusan
tersebut, dapat diterapkan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh badan
atau pejabat Tata Usaha Negara, yang disengketakan itu, yakni berupa
kewenagan; Pencabutan keputusan Tatra Usaha Negara yang bersangkutan
atau Pencabutan keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan
menerbitkan Putusan Tata Usaha Negara yang baru, atau penerbitan
keputusan Tata Usaha Negara, dalam hal gugatan didasarkan pasal 3 UU No.
Tahun 1986.
Setiap orang yang bersengketa di pengadilan
mengharapkan adanya suatu putusan, dan putusan itu merupakan tujuan
akhir dari setiap oang yang bersengketa. Putusan akhir ini dikenal
sebagai suatu putusan yang sifatnya mengakhiri suatu sengketa dalam
tingkat tertentu. Siatnya dapat bersifat menghukum (condemnatoir),
putusan yang bersifat menciptakan (constitutif) dan putusan yang
bersifat menerangkan (declaratoir). Sedangkan putusan sela atau
schorsing adalah putusan yang dikeluarkan oleh hakim, sebelum
mengeluarkan putusan akhir, dengan maksud mempermudah pemeriksaan
perkara selanjutnya dalam rangka memberikan putusan akhir. Putusan ini
dibedakan menjadi putusan praeparatoir. Yakni putusan yang menggabungkan
dua perkara menjadi satu atau putusan untuk menetapkan tenggang waktu,
dimana para pihak harus bertindak. Putusan interlucutoir adalah putusan
berisi perintah kepada salah satu pihak untuk membuktikan sesuatu hal.
Adapun putusan peradilan berisi tentang;
1. Gugatan Gugur.
Putusan
Hakim PTUN dapat berisi menyatakan suatu gugatan gugur karena penggugat
atau kuasa hukumnya tidak hadir di persidangan pada hari, tanggal, dan
jam yang telah ditentukan, baik pada hari sidang pertama dan kedua
secara berturut-turut tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan,
sedangkan penggugat setiap kali telah dipanggil dengan patut. Terhadap
gugatan yang dinyatakan gugur tersebut, penggugat atau kuasa hukumnya
masih diberikan kesempatan untuk memasukkan gugatannya sekali lagi
dengan membayar uang muka biaya perkara dan diberikan nomor register
perkara baru. Kecuali itu perkara dapat pula dinyatakan gugur karena
uang muka biaya perkara habis, sedangkan penggugat tidak menambahnya.
Umumnya setelah pengadilan memperingatkan agar penggugat menambah uang
muka biaya perkara dan penggugat tetap mengabaikannya, sidang
pemeriksaan gugatan akan berhenti. Dalam batas waktu tertentu jika
penggugat tidak juga memenuhi kewajibannya membayar tambahan uang muka
biaya perkara, Hakim dapat dan akan menggugurkan perkara, kecuali
apabila pihak tergugat bersedia mebayar kekurangan tambahan uang muka
biaya perkara. Kemungkinan penggugat tidak bersedia membayar tambahan
biaya perkara, karena penggugat menemukan kesalahan yang cukup esensial
dalam gugatannya, sehingga apabila gugatan diteruskan penggugat
memperkirakan bahwa putusan terhadap gugatannya akan dinyatakan gugur
atau tidak diterima atau bahkan ditolak, sedangkan untuk memperbaikinya
sudah tidak dimungkinkan menurut hukum acara administrasi. Sebaliknya
apabila tergugat mengetahui kelemahan gugatan tersebut, ada kemungkinan
tambahan uang muka biaya perkara akan ibayar oleh tergugat, dengan
harapan pemeriksaan perkara diteruskan dan Hakim akan memutuskan serta
menyatakan gugatan ditolak.
2. Gugatan Tidak Diterima,(niet onvankelijk)
Suatu
gugatan dinyatakan tidak dapat diterima dapat terjadi karena: keputusan
yang digugat tidak termasuk pengertian keputusan menurut hukum positif.
Atau karena keputusan dikeluarkan dalam waktu perang, keadaan bahaya,
keadaan bencana alam, keadaan luar ditentukan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, atau karena syarat-syarat gugatan
tidak dipenuhi, atau karena gugatan tidak berdasar.
3. Gugatanditolak.(Bersepwordt Verwapen / Ofoong onground)
Suatu
gugatan dinyatakan ditolak berarti keputusan Badan/Pejabat TUN
dikuatkan atau dibenarkan, sehingga gugatan tidak dapat diajukan
kembali.
4. Gugatan dikabulkan.(Geground/of teoegewezen).
Menurut
Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung/ Ketua Muda Mahkamah Agung Urusan
Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara Nomor MA/Kumdi/ 213/VII/K/1991,
suatu gugatan dikabulkan dapat berarti Hakim PTUN menetapkan:
a. Mengabulkan gugatan Penggugat;
b.
Menyatakan batal keputusan TUN yang disengketakan atau yang dikeluarkan
oleh badan/pejabat tata usaha negara (hendaknya disebutkan
tanggal...... nomor..... Perihal... ) atau menyatakan tidak sah
keputusan TUN yang disengketakan atau yang dikeluarkan Badan/Pejabat TUN
(tanggal nomor... dan Perihal... )
Putusan pengadilan Tata
Usaha Negara yang dapat dilaksanakan, adalah putusan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu suatu putusan yang tak dapat
diubah lagi,melalui suatu upaya hukum, sebagaimana ditentukan menurut
pasal 115 UU No. 5 Tahun 1986.
Adapun proses pelaksanaan peradilan
TUN oleh pejabat tata usaha negara di beberapa daerah, dipengaruhi oleh
kesadaran kolektif dan interaksi diantara faktor faktor, yang terkait
dengan penyelengaraan pemerintahan dalam arti luas meliputi; DPRD,
Pemerintah daerah, Ombudsmen, mayarakat dan pers/media massa, guna
mendorong tumbuhnya self respect dari pejabat tata usaha negara di
beberapa daerah, untuk senantiasa mematuhi peradilan TUN. Kendala itu
meliputu pemahaman pejabat administradi di daerah dalam memahami teori
negara hukum. Kendala peraturan perundang undangan, kendala pelaksanaan,
sehingga langkah yang diperlukan, yakni peningkatan kesadaran dari
pemerintah, peningkatan kapasitas kemampuan peradilan TUN, Pengawasan
dari DPR atau DPRD, menjaga upya keseimbangan kekuasaan dalam rangka
pembagian kekuasaan negara dalam sistem negara hukum demokratis, agar
dapat memberikan ruang yang memadai bagi peradilan TUN, untuk melakukan
fungsi pengawasan (yudicial control) guna mencegah terjadinya perbuatan
pemerintah yang melanggar peraturan perundang undangan yang berlaku, dan
memenuhi asas asas umum pemerintahan yang baik. Diperlukan peran
Ombudsman,
BAB
KELIMA
BEBAN PEMBUKTIAN DALAM
PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ISLAM
A.Prinsif Pembuktian
Dalam Hukum Islam
Hukum
Pidana islam, adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau
perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang yang dibebani
kewajiban, sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang
terperinci dari alquran dan hadist. Sehingga hukum pidana islam
merupakan syariat ALLAH yang mengandung kemaslahatan bagi kehidupan
manusia baik di dunia maupun diakhirat. Syariat islam dimaksud, secara
materiil mengandung kewajiban asasi bagi setiap manusia untuk
melaksanakannya. Konsep kewajiban syariat, yaitu menempatkan ALLAH
sebagai pemegang hak, baik yang ada pada diri sendiri maupun yang ada
pada orang lain. Setiap orang hanya sebagai pelaksana yang berkewajiban
memenuhi perintah ALLAH , harus ditunaikan untuk kemaslahatan dirinya
dan orang lain.
Sehingga syariat mengandung arti jalan yang jelas
yang membawa kepada kemenangan. Agama yang ditetapkan untuk manusia
disebut syariah, bentuk kesamaan syariah dengan jalannya air, adalah
siapa yang mengikuti syariah, akan bersih jiwanya. Allah menjadikan air
penyebab kehidupan bagi setiap machluk, sebagaimana menjadikan syariah
sebagai penyebab kehidupan yang insani. Syariah mengandung tiga demensi.
Pertama. Akidah, yaitu mencakup hukum hukum yang berhubungan dengan zat
Allah, sifat sifatNYA, iman Kepada NYA, keputusanNYA, hari kiamat dan
hal hal yang mencakup dalam ilmu kalam. Kedua. Dimensi moral, yaitu
membahas sepesifik tentang etika, pendidikan dan pembersihan jiwa, budi
pekerti yang harus dimiliki oleh seseorang, dan sifat sifat buruk yang
harus dihindari oleh seseorang. Ketiga. Dimensi hukum, yaitu meliputi
tindakan tindakan menuasia, seperti ibadah, muamalah, hukuman dan
sebagainya yang termasuk dalam kajian ilmu fiqih.
Syariat dalam fikih islam, dapat dipahami;
a.
Syariat merupakan wahyu ALLAH yang terdapat dalam Alquran dan
As-Sunnah. Fikih merupakan hasil istijah manusia dalam memahami Alquran
dan As-Sunnah yang memenuhi syarat.
b. Syariat bersifat fundamental
dan mempunyai ruang lingkup yang lebih luas, sedangkan fikih bersifat
instrumental, ruang lingkupnya terbatas pada hukum-hukum yang mengatur
perbuatan manusia yang disebut juga perbuatan hukum.
c. Syariat adala
ketetapan Allah dan ketentuan rasul-Nya karena ia berlaku abadi,
sedangkan fikih adalah hasil ijtihad manusia yang bersifat sementara,
karenanya dapat berubah sesuai kondisinya.
d. Syariat hanya satu, sedangkan fikih mungkin lebih dari satu, dalam bentuk mazhab-mazhab atau aliran-aliran.
e. Syariat menunjukkan kesatuan dalam Islam, sedangkan fikih menunjukkan keragamannya.
Pidana
dalam islam dikenal sebagai uqubat atau Jarimah. Pidana adalah segala
bentuk perbuatan yang dilakkan oleh seseorang mukallaf, yang melanggar,
perintah atau larangan ALLAH, yang dikhitbahkan kepada orang orang
mukallaf, yang dikarenakan ancaman hukuman, baik sanksi itu harus
dilaksanakan sendiri, dilaksanakan penguasa maupun ALLAH, baik tempat
pelaksanaan hukuman itu di dunia maupun akhirat.
Asas asas hukum
pidana islam, mengenal juga asas legalitas , asas larangan memindahkan
kesalahan kepada orang lain, asas praduga tidak bersalah. Tentang ruang
lingkup hukum pidana islam meliputi pencurian, perzinahan termasuk
homoseksual dan lesbian, menuduh orang baik-baik yang berzina, meminum
minuman yang memabukkan, membunuh dan atau melukai seseorang, merusak
harta seseorang, melakukan gerakan kekacauan. Hukum pidana jenis ini
dikenal juga sebagai Jarimah yang terdiri dari jarimah tazir dan Hudud.
Jenis hukumannya adalah rajam, atau dera, potong tangan, kurungan,
pengasingan, deportasi dan disalib. Tujuan hukum islam pada umumnya
adalah menegakkan keadilan berdasarkan kemauan pencipta manusia sehingga
terujud ketertiban dan jetenteraman masyarakat, oleh karenanya putusan
hakim harus mengandung rasa keadilan agar dipatuhi oleh masyarakat, yang
mencintai keadilan berdasarkan dalil hukum yang bersumber dari Al
Quran.
Kebutuhan, desakan dalam merekonstruksi hukum islam dalam
konteks ke Indonesiaan, terutama dalam hukum pidana, melalui delik-delik
Rancangan KUHP, kriminalisasi sejumlah perbuatan, yakni delik
kesusilan, santet, kumpul kebo, permukahan (zina) telah terjadi dalam
RUU KUHP. Hal ini merupakan suatu tantangan bagi para ahli hukum Islam,
seluruh umat islam, dan para politisasi untuk menjadikan hukum posistif
dalam perundang-undangan.
Dalam hukum Islam mengenai prinsip-prinsip
pembuktian tidak banyak berbeda dengan perundang-undangan yang berlaku
di zaman modern sekarang ini dari berbagai macam pendapat tentang arti
pembuktian, maka dapat disimpulkan bahwa pembuktian adalah suatu proses
mempergunakan atau mengajukan atau mempertahankan alat-alat bukti di
muka persidangan sesuai dengan hukum acara yang berlaku, sehingga mampu
meyakinkan hakim terhadap kebenaran dalil-dalil yang menjadi dasar
gugatan atau dalil-dalil yang dipergunakan untuk menyanggah tentang
kebenaran dalil-dalil yang telah dikemukakan oleh pihak lawan.
Perbedaannya dalam hukum acara Islam dasar hukum pembuktian ialah
Al-Qur’an, As-Sunnah dan Al-Ijtihad.
Dalam hukum acara perdata,
landasannya pemikiran yang tertuang dalam pasal demi pasal, tetapi
sama-sama memiliki dasar pijakan. hukum acara Islam dasar hukumnya dari
Nash (Al-Hadist). Hukum acara pedata landasannya pemikiran yang
tertuang dalam pasal demi pasal. Persamaannya, menganggap bahwa
membuktikan kebenaran adalah suatu hal yang sangat penting. Tentang
beban pembuktian sama-sama didahulukan pada penggugat yang mengaku
memiliki hak Sistem pembuktian berimbang artinya tergugat juga harus
membuktikan bantahannya. Baik hukum acara Pidana maupun hukum acara
perdata, sama-sama menganggap mutlak diperlukan mengenai alat-alat itu,
tidak hanya bersandar kepada keyakinan hakim saja, karena keyakinan
hakim itu sangat subyektif, maka dari itu sewajarnyalah apabila dari
dalil-dalil yang dikemukakan para pihak yang bersengketa itu, menjadi
dasar pertimbangan bagi hakim agar tercapainya suatu keputusan yang
obyektif.
Menurut hukum Islam bukti tertulis merupakan bukti yang
penting dan pokok, sama halnya di dalam hukum acara perdata bukti
tertulis merupakan bukti yang utama, hanya di dalam hukum acara Islam,
setiap bukti tertulis tidak boleh mengorbankan hukum materiil Islam.
Dalam
hukum acara Islam, setiap alat bukti terutama bukti surat, bukti saksi,
persangkaan, pengakuan dan sumpah berdasarkan Nash, sedangkan selain
itu, misalnya pengetahuan hakim, pemeriksaan setempat, keterangan ahli,
qasamah, qiyafah, qur’ah, nukul dan lain-lain berdasarkan hasil
ijtihad. Dalam hukum Islam tidak semua qarinah dapat dijadikan alat
bukti, qarinah yang bisa dijadikan alat bukti walaupun tidak didukung
oleh bukti lainnya disebut qarinah wadhlihah, yaitu qarinah yang jelas
dan meyakinkan yang tidak bisa untuk dibantah lagi oleh manusia berakal.
Qarinah itu tetap dijadikan sebagai bukti persangkaan, dan bisa menjadi
alat pembuktian yang langsung jika tidak ada lagi bukti yang lain.
Dalam
hukum positif bukanlah (HIR, RBg, BW) bahwa persangkaan itu bukanlah
sebagai alat bukti, atau disebut juga alat pembuktian tidak langsung
karena hakim dalam mengambil kesimpulan, haruslah menghubungkan dan
menyesuaikan dengan alat bukti lainnya. Bila dikomparasikan dengan hukum
acara pidana, maka makna persangkaan / petunjuk dalam hukum Islam lebih
luas. Karena dalam hukum Islam batasan dalam mengaplikasikan alat bukti
persangkaan /petunjuk adalah yakinkan hakim. Sementara itu dalam hukum
acara pidana alat bukti persangkaan /petunjuk hanya dapat diaplikasikan
bila didapat dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa
sehingga alat bukti ini terkesan sebagai alat pembuktian yang bersifat
tidak langsung. bukti saksi merupakan alat bukti yang penting dan
pokok, hanya berbeda dalam masalah.
Menurut hukum Islam, bahwa
pembuktian seseorang harus mampu mengajukan bukti bukti yang otentik,
keharusan ini didasarkan pada Surat Al-Baqarah (20); 282.
Dan
Perisalah dengan dua orang saksi dari laki laki diantaramu, jika tidak
ada dua orang saksi, maka boleh seorang laki laki dan dua orang
perempuan dari saksi saksi yang kamu ridhoi, supaya jika seseorang lupa
maka seseorang lagi mengingatkannhya. Janganlah saksi saksi itu enggan
memberi keterangan apabila mereka dipanggil. Dan periksalah apabila kamu
berjual beli, dan janganlah menulis dan saksi saling sulit menyulitkan.
Jika kamu lakukan, maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan
pada dirimu, dan Bertakwalah kepada ALLAH. Dia mengajarmu dan maha
mengetahui segala sesuatu.
Hai orang orang yang beriman, apabila
salah seorang dari kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat,
maka hendaklah wasiat itu, disaksikan oleh dua orang yang adil diantara
kamu, atau dua orang yang berlainan agama dari kamu. (Q.S. al-Maidah (5)
106).
Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi Muhammad.saw bersabda; Sekiranya
diberikan kepada manusia apa yang digugatnya, tentulah manusia akan
menggugat apa yang dia kehendaki, baik jiwa maupun harta, akan tetapi
sumpah itu dihadapkan kepada penggugat.
Adapun dalil dalil hukum islam, terdiri dari dua macam, yakni;
1. Sumber formil (asli) ialah yang berasal dari wahyu (syari’at), baik itu berasal dari nash Al-Qur’an maupun sunnah;
2. Sumber assesoir (tambahan) ialah yang berasal dari ijtihad para fuqaha seperti, ijma’, qiyas, dan lainnya.
a. Al-Qur’an
Al-Qur’an
adalah merupakan wahyu Allah yang disampaikan oleh Jibril kepada Nabi
Muhammad saw, dalam bahasa Arab, dan dengan makna yang benar, agar
menjadi hujjah bagi Rasulullah dalam pengakuannya sebagai Rasulullah,
juga sebagai undang-undang yang dijadikan pedoman oleh umat manusia dan
mendapat pahala membacanya. Oleh karena itu, terjemahan dari Al-Qur’an,
tidaklah dapat dinamakan Al-Qur’an dan dengan sendirinya tidak dapat
dijadikan dasar untuk menetapkan suatu hukum, karena bahasa Arab sebagai
bahasa Al-Qur’an, mengandung rahasia dan mengandung pengertian yang
luas dari bahasa-bahasa yang lain.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara
dan membicarakan hukum, kebanyakannya bersifat umum tidak membicarakan
soal-soal yang kecil. Meskipun dengan seba singkat, Al-Qur’an sudah
melingkupi semua persoalan yang bertalian dengan dunia dan akhirat.
Jadi, dengan demikian, Al-Qur’an merupakan sumber utama, pertama dan
sumber pokok bagi hukum Islam. Di samping itu Al-Qur’an berfungsi juga
sebagai dalil pokok hukum Islam. Dari ayat-ayat Al-Qur’an ditimba
norma-norma hukum bagi kemaslahatan umat manusia. Dengan Al-Qur’an kita
mendapat petunjuk dan bimbingan dalam memutuskan problematika hidup dan
kehidupan
Sebagai sumber hukum utama dan pertama, Al-Qur’an harus
dinomorsatukan oleh umat Islam dalam menemukan dan menarik hukum.
ayat-ayat Al-Qur’an harus didahulukan dalam menjawab permasalahan yang
muncul ke permukaan. Kaum muslimin tidak diperkenankan mengambil hukum
dan jawaban atas problematikanya dari luar Al-Qur’an selama hukum dan
jawaban tersebut dapat ditemukan dalam nash-nash Al-Qur’an.
Menurut Abd. Wahab Khallaf hukum-hukum yang ada dalam Al-Qur’an pada garis besarnya dapat dibagi kepada tiga macam:
1)
Hukum-hukum yang bertalian dengan keyakinan yang menjadi kewajiban bagi
orang yang mukhallaf meyakininya seperti yang bertalian dengan Allah,
Malaikat, Kitab-kitab Allah, Rasul-rasul Allah dan Hari Akhirat.
2)
Hukum-hukum yang bertalian dengan akhlak, ialah diperbuat atau dikatakan
oleh setiap mukhallaf yang menjadi kewajiban bagi setiap mukhallaf
untuk berakhlak dengan akhlak mulia dan menjauh dari akhlak yang buruk.
3)
Hukum-hukum yang bertalian dengan apa saja yang diperbuat atau
dikatakan oleh setiap mukhallaf dalam pergaulan hidupnya, baik yang
menyangkut hubungan lahiriah antara manusia dengan Tuhannya, dengan
sesama manusia dan dengan alam sekitarnya. Hukum-hukum ini berkembang
menjadi ilmu syari’ah dan inilah yang dinamakan sebagai fiqh atau hukum
Islam.
Selanjutnya Abd. Wahab mengemukakan hukum-hukum yang berhubungan dengan pergaulan hidup ini, di dalam Al-Qur’an ada dua macam:
1)
Hukum-hukum ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, haji, nazar, sumpah,
dan ibadah-ibadah lain yang mengatur hubungan antara manusia dengan
ALLAH. Hukum-hukum ini bersifat tetap dan tidak boleh berubah atau
diubah.
2) Hukum-hukum yang mengatur pergaulan hidup manusia dengan
sesamanya, yaitu disebut hukum mu’amalah. Hukum-hukum mu’amalah ini
diperinci menjadi beberapa bidang hukum, meliputi bidang Hukum Perdata,
Hukum Pidana, Hukum Acara Pidana dan Perdata, Hukum Konstitusi, Hukum
Internasional, dan Hukum Keuangan atau Ekonomi. Hukum-hukum dan
peraturan-peraturan yang berhubungan dengan masyarakat ini dapat berubah
sesuai dengan kemaslahatan masyarakat ini dapat berubah sesuai dengan
kemaslahatan masyarakat yang merupakan jiwa syari’at Islam. Atas dasar
kemaslahatan inilah hukum-hukum itu dapat dipakai pada semua tempat dan
waktu.
Dalam membina hukum, Al-Qur’an selalu berpegang dan berpedoman kepada tiga hal, yaitu:
1) Tidak memberatkan dan menyusahkan umat manusia. Karena itu hukum tidak membebankan di luar kemampuan manusia.
2) Tidak memperbanyak tuntutan, karena itu jumlah ayat-ayat yang mengandung hukum tidak banyak, kurang lebih 200 ayat.
3)
Berangsur-berangsur dalam menetapkan hukum, karena waktu Al-Qur’an
diturunkan bangsa Arab telah mempunyai adat-istiadat yang sudah kokoh.
Maka ada di antara adat-istiadat itu perlu diteruskan karena tidak
membahayakan terhadap pertumbuhan umat, tetapi ada pula yang berbahaya
yang perlu dihapus dengan berangsur-angsur.
Ayat-ayat Al-Qur’an
seluruhnya adalah qath’i (pasti) dari segi turunnya dan lafaznya,
keasliannya dan pemindahannya dari Rasulullah sampai ke tangan umat
Islam sekarang ini. Artinya diyakini kebenarannya datang dari ALLAH.
Sedangkan dari segi penunjukannya terhadap hukum, sebagian adalah qath’i
dan sebagian adalah zanni.
b. Sunnah
Sunnah
menurut bahasa ialah “jalan yang terpuji” dan menurut ulama ushul ialah
segala yang diberitakan dari Nabi saw, baik berupa perkataan, perbuatan
atau pengakuan (taqrir). Sedangkan sunnah menurut istilah ulama fiqh
adalah sifat hukum bagi perbuatan yang dituntut memperbuatnya dalam
bentuk tuntutan yang tidak pasti dengan pengertian iberi pahala orang
yang melakukannya dan tidak berdosa orang yang meninggalkannya.
Perbedaan
ahli ushul dan ahli fiqh dalam pemberian istilah pada sunnah
sebagaimana disebutkan di atas karena berbeda dalam segi peninjauan.
Ulama ushul menempatkan sunnah sebagai salah satu sumber atau dalil
hukum syar’i. Untuk maksud itu ia mengatakan: “Hukum ini ditetapkan
dengan sunnah”. Sedangkan ahli fiqh menempatkannya sebagai salah satu
hukum syara’ yang lima yang mungkin berlaku terhadap suatu pebuatan.
Untuk maksud itu ia berkata: “Perbuatan ini hukumnya adalah sunnah”.
Dalam pengertian ini sunnah adalah hukum dan bukan dalil hukum. Sunnah
menurut pengertian ahli ushul seperti disebutkan di atas, dan segi
materinya terbagi kepada tiga macam:
1) Sunnah Qauliyah yaitu
ucapan Nabi yang didengar oleh sahabat beliau dan disampaikannya kepada
orang lain. Umpamanya sahabat berkata: Nabi Muhammad saw. Bersabda:
“Siapa yang tidak shalat karena tertidur atau karena lupa hendaklah ia
mengerjakan shalat itu ketika ia telah ingat”.
2) Sunnah Fi’liyah
yaitu perbuatan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad yang dilihat atau
diketahui oleh sahabat kemudian disampaikan kepada orang lain dengan
ucapannya. Umpamanya sahabat berkata: “saya melihat Nabi Muhammad saw,
melakukan shalat sunnah ua rakaat sesudah shalat zuhur”.
3) Sunnah
Taqririyah yaitu perbuatan seorang sahabat yang dilakukan di hadapan
atau sepengetahuan Nabi, tetapi tidak ditanggapi atai tidak dicegah oleh
Nabi. Diamnya Nabi tersebut disampaikan oleh sahabat lain dengan
ucapannya. Umpanya seorang sahabat memakan daging dhab di hadapan Nabi.
Nabi mengetahui apa yang dimakan sahabat tersebut tetapi Nabi tidak
melarangnya. Kisah tersebut disampaikan sahabat yang mengetahuinya
dengan ucapan: “saya melihat seseorang sahabat memakan daging dhab di
dekat Nabi, Nabi mengetahui tetapi Nabi tidak melarang”.
Dalam
semua bentuk sunnah di atas, Nabi saw, tidak berbuat dengan keinginan
sendiri tetapi berdasarkan wahyu yang diwahyukan kepadanya. Tetapi yang
bertalian dengan perbuatan sehari-hari yang merupakan perbuatan
kebiasaan seperti minum, makan, tidur, tidaklah terhitung sunnah,
terkecuali dari segi caranya saja. Perbuatan yang seperti ini adalah
perbuatan manusia biasa yang tidak mengikat kaum muslimin untuk
menurutinya, hanya dianjurkan mengikutinya, karena beliau adalah orang
yang lebih utama dicontoh. Adapun fungsi sunnah jika dihubungkan kepada
Al-Qur’an dari segi hukum-hukum yang terkandung dalam keduanya, ulam
ushul membaginya kepada tiga macam, yaitu:
1) Sunnah sebagai
penguat hukum yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an, seperti perintah
mendirikan shalat, puasa, zakat dan haji.
2) Sunnah sebagai penjelas
dan merinci apa yang telah digariskan dalam Al-Qur’an. Fungsi ini
merupakan fungsi yang paling dominan. Misalnya hadis-hadis yang
berhubungan dengan tata cara shalat, zakat, puasa, dan haji. Praktik
Rasulullah saw merupakan penjabaran lebih lanjut dari ayat-ayat
Al-Qur’an yang bersifat mujmal (umum).
3) Sunnah berfungsi
menetapkan hukum yang belum diatur di dalam Al-Qur’an. Misalnya, haram
kawin dengan mengumpulkan seorang wanita dengan saudara ayah atau
saudara ibunya, haram memakan binatang binatang yang bertaring dan
bercakar, haram memakai sutera dan emas bagi kaum laki-laki dan halal
memakan binatang dhab dan mengharamkan keledai piaraan.
Demikianlah
pada pokoknya para ahli hukum Islam berpendapat sunnah itu adalah
sumber hukum Islam yang kedua, karena sunnah juga adalah wahyu, dan
kedudukannya baik sebagai penguat atau penjelas Al-Qur’an dan hanya
sedikit yang berbicara tentang hukum baru.Dalil ataupun landasan
argumentasi para ulama tentang kehujjahan sunnah sebagai sumber hukum
Islam adalah didasarkan pada:
1) Al-Qur’an, sebagaimana banyaknya firman ALLAH yang memerintahkan untuk mematuhi dan menaatinya.
2)
Ijma’. Para sahabat telah sepakat bahwa menjadi kewajiban bagi setiap
muslim mematuhi apa yang dibawa oleh Rasulullah, apakah beliau masih
hidup atau sesudah wafat.
3) Rasio. Al-Qur’an memerintahkan
mengerjakan beberapa kewajiban di antaranya sholat, puasa, zakat dan
haji. Namun Al-Qur’an tidak menerangkan cara pelaksanaannya, maka dalam
hal ini Rasulullah sendiri menerangkan cara-caranya dalam sunnahnya.
Karena itu sunnah sebagaimana disebutkan fungsinya di atas, umat Islam wajib untuk mengikuti dan mentaatinya.
c. Dalil Ijtihadi
Pada
pembahasan sebelumnya telah disebutkan bahwa dalil atau sumber hukum
Islam itu terbagi pada dua macam, yaitu dalil yang bersifat naqli yang
berasal dari nash Al-Qur’an dan sunnah, dan kedua adalah dalil-dalil
yang bukan berasal dari nash yang disebut dalil-dalil aqli atau ijtihadi
berasal dari dalil-dalil akal dan merupakan penalaran dan pemahaman
dari para mujtahid. Namun demikian tidak berarti terlepas dan tidak ada
hubungannya dengan asas-asas pokok agama Islam yang terdapat dalam
nash.Dalam pembahasan berikut mengenai hal tersebut akan diuraikan
secara singkat dan global saja, sekedar memberikan gambaran dan
pemahaman selintas tentang bagaimana adanya dalil-dalil ijtihadi
tersebut? Dan apa saja yang termasuk dalil-dalil ijtihadi? Serta
peranannya dalam menghasilkan hukum Islam.
Sebagaimana telah diktahui
dan diyakini oleh seluruh umat Islam bahwa manusia dalam seluruh
tingkah lakunya dalam upaya mencapai hidup yang baik dan benar di dunia
dan diakhirat harus mengikuti dan berdasarkan pada wahyu atau
hukum-hukum ALLAH dan tidak sesuatu pun yang terhindar dari kontrol
ALLAH.
Namun telah dimaklumi pula bahwa hukum-hukum ALLAH yang
mengatur tingkah laku manusia (af’al al-mukallafin) yang secara jelas
dan terperinci di dalam nash Al-Qur’andan juga sunnah sangatlah
terbatas. Ayat-ayat hukum tersebut kebanyakan bersifat umum dan global,
dan penjelasan dari Nabi sendiri (hadis-hadis hukum) juga terbatas serta
bersifat sederhana, sehingga tidak mungkin menjangkau kepada
keseluruhan kejadian-kejadian dan peristiwa peristiwa yang bermunculan
kemudian dalam kehidupan umat Islam.
Dengan dalil-dalil ijtihadi
inilah sebagai upaya alternatif para ulama menemukan jawaban ketentuan
hukum terhadap peristiwa-peristiwa yang tidak ditemukan dalam Al-Qur’an
dan sunnah. Karena dari dalil-dalil ijtihadi dapat dihasilkan hukum
Islam maka bagi ulama ushul dan fuqaha ia disebut juga sebagai sumber
atau dalil hukum Islam. Adapun dalil-dalil ijtihadi itu para ulama suhul
fiqh membaginya kepada dua. Pertama, dalil-dalil ijtihadi yang
disepakati para mujtahid yaitu, ijma’, dan qiyas. Kedua, yang
diperselisihkan adalah ihtisan, maslahat mursalah, urf, syar’un man
qabalana, istishhab, saddudz-dzari’ah dan mazhab sahabat. Dalil-dalil
ijtihadi ini ketika darinya dihasilkan hukum tentang sesuatu, maka ia
disebut sebagai sumber atau dalil hukum Islam. Dan ketika ia dijadikan
sebagai sarana menemukan dan menetapkan hukum sesuatu maka ia disebut
sebagai metode istimbat hukum Islam.
Hukum-hukum yang dihasilkan
dari dalil-dalil ijtihadi ini dapat ditemukan di dalam kitab-kitab fiqh
atau ushul fiqh yang ditulis oleh para ahli hukum Islam. Misalnya
tentang haramnya minuman keras dan sejenisnya diqiyaskan dari haramnya
khamr sebagaimana hukumnya disebutkan dengan jelas. Contoh yang lain
adalah halal atau bolehnya jual-beli dengan cara pesanan (salam), hukum
ini dihasilkan dengan metode ihtihsan. Demikian juga hukum wajibnya
mengumpulkan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar Siddiq dan tentang perlunya
mendirikan penjara, adalah hukum yang ditetapkan berdasarkan metode
maslahat mursalah. Dan masih banyak lagi hukum Islam yang dihasilkan
dari dalil-dalil ijtihad ini dengan metode-metode yang berbeda.
Dari
sini dapat dilihat, dari dalil-dalil ijtihadi ini dapat dikeluarkan dan
dihasilkan hukum Islam yang mampu merespon dan memberikan solusi hukum
terhadap dinamika kehidupan umat dengan segenap problematika dan
persoalan yang muncul. Baik persoalan-persoalan yang ada setelah
wafatnya Nabi hingga masa para ulama mujtahid ataupun
persoalan-persoalan kekinian yang berlum pernah ada sebelumnya yang
jawabannya tidak terdapat nash dan juga kitab-kitab fiqh, seperti
persoalan pencangkokan kornea mata, bayi tabung, bedah plastik dam masih
banyak lagi persoalan baru lain yang memerlukan jawaban kepastian
hukumnya.
Namun tentu saja harus diingat, karena hukum-hukum yang
dihasilkan dari dalil-dalil ijtihadi adalah merupakan hasil ijtihadi
para ulama, maka kekuatan atau kehujjahannya tidak sama dengan hukum
yang langsung diambil dari Al-Qur’an atau sunnah yang bersifat qath’i,
tetapi zanni.
B. Alat Bukti Dalam Hukum Islam
Alat
bukti, adalah alat untuk menjadikan pegangan hakim, sebagai dasar
memutus suatu perkara, sehingga dengan berpegang kepada alat bukti
tersebut dapat mengakhiri sengketa diantara pihak yang
berperkara.Sehingga alat bukti, adalah suatu upaya yang dapat
dipergunakan oleh pihak pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim di
muka pengadilan, dan dipergunakan oleh hakim untuk memutus suatu
perkara, sehingga alat bukti diperlukan oleh pencari keadilan maupun
pengadilan.Menurut hukum islam alat bukti terdiri dari;
1. Al Iqrar. Adalah suatu bentuk keterangan, ataupun pengakuan. Yang dilakukan oleh tersangka.
2. Al Bayyinah. Adalah saksi dari pihak pendakwa, yang disampaikan secara lisan.
3. Al Yamin.bermakna mempunyai kekuatan
4. AN Nukul.Bermakna sebagai alat bukti penolakan sumpah.
5. AL Qosamah. Bermakna kuat, segala sesuatu yang dinyatakan secara khidmat atau diberikan dengan sumpah.
6.
Ilmu pengetahuan hakim. Artinya adalah bahwa hakim boleh memutuskan
suatu perkara karena pengetahuannya dalam perkara pidana secara mutlak.
7. Qorinah. Bermakna petunjuk yang dapat menimbulkan keyakinan.
8.
Qosamah.Bermakna sebagai sebagai sumpah, tetapi biasanya dipergunakan
untuk peradilan pidana islam, Karena dimintakan oleh wali si terbunuh,
karena tidak diketahui siapa yang telah melakukan pembunuhan tersebut,
sehingga atas permintaan keluarga korban untuk bersumpah, sebanyak 50
orang yang taat beragama, bahwa mereka bukan pembunuhnya.
9. Qiyaffah
10. Qurah
11. Bukti berdasarkan indikasi yang tampak
12. Pengakuan. Bermakna menetapkan dan mengakui sesuatu hak dengan tidak mengingkarinya.
13.
Saksi. Adalah suatu pemberitaan yang pasti, yaitu ucapan yang keluar
yang diperoleh dengan penyaksian langsung atau dari pengetauan yang
diperoleh dari orang lain, karena beritanya telah tersebar, semuanya
diyakini bukan karena dugaan atau perkiraan.
14. Saksi Non Muslim,
adalah saksi-saksi yang dapat mengungkapkan tabir yang menutup
kebenaran, orang-orang yang dapat mengungkapkan kebenaran itu,
adakalanya dari orang-orang yang bukan Islam dan orang-orang itu dapat
dijamin kepercayaannya, maka dalam hal ini kesaksian dapatlah diterima.
Misalnya pembuktian yang harus diberikan dokter yang kebetulan dokter
tersebut bukan Islam, menurut Ibnu Qayyim tidak ada salahnya untuk
diterima asalkan keterangan dokter tersebut dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya.
15. Sumpah.Bermakna suatu kekuatan ( yamin), dan
mengandung unsur illahiyah, karena adanya keterkaitan apa yang telah
diucapkan dengan pertanggungjawaban.
16. Surat Resmi. Meliputi surat suarat kepada Raja Raja, surat yang sudah disegel, dan disampaikan kepada alamat yang dutuju.
17.
Saksi Ahli. Pendapat ahli, adalah setiap orang yang mempunyai keahlian
dalam bidang tertentu, dan hakim boleh meminta bantuan kepadanya, dalam
berbagai masalah yang dihadapi, agar lebih terang dan memperoleh
kebenarang yang meyakinkan
18. Pemeriksaan Setempat. Dalam islam
pemeriksaan setempat diperlukan terhadap perkara perkara yang
membutuhkan kejelasan, dari hakim yang sedang memutus perkara dalam
rangka mencari kebenaran, isi suatu gugatan, dan dibolehkan untuk
melakukan sidang ditempat.
19. Permintaan para pihak yang bersengketa.
20. Berdasarkan berita mutawir.
21.
Berdasarkan berita tersebar.Berdasarkan hasil penelusuran. Dimaksudkan
denan berita tersebar, adalah berita yang derajad antara berita
mutawatir dan berita orang perorangan, yakni suatu berita yang sudah
mendapatkan dikalangan khalayak ramai.
Prinsif hukum islam yang
berkaitan dengan dakwaan, bertitik tolak pada konsep hukum islam
mengenai keadilan, sebagaimana ditentukan dalam Suart Al nisa ayat 58.
”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyerahkan amanah kepada yang berhak
menerimanaya, dan apabila kamu menetapkan hukum, berhukumlah dengan
adil.” dan Al Maidah ayat 42.”Dan jika kamu menghukum, maka hukumlah
perkara itu deiantara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai
orang orang yang adil”.
Alat alat bukti menurut hukum Islam, baik secara keperdataan maupun pidana, lazimnya dikenal sebagai berikut;
1. Saksi.
Hukum acara peradilan Islam, membolehkan saksi satu orang tanpa
dikuatkan dengan sumpah.Hal ini berbeda dengan hukum acara perdata, yang
membolehkan hanya satu saksi sebagaimana ditentukan, satu saksi
bukanlah saksi. (unus testis nullus testis). Saksi non Muslim; Dalam
hukum acara perdata, tidak dopermasalahkan.Dalam hukum Islam kesepakatan
fuqaha saksi non muslim tidak diterima kesaksiannya. Para ahli hukum
Islam telah sepakat bahwa kesaksian orang-orang non muslim terhadap
orang Islam tidak diperkenankan secara mutlak. Mereka berpendapat bahwa
kesaksian itu adalah masalah kekuasaan (tauliyah), sedang orang-orang
non muslim tidak berkuasa atas orang-orang Islam sebagaimana tersebut
dalam Surat An-Nisa’ ayat 141.
Dimana dikemukakan bahwa Allah tidak
akan menjadikan jalan bagi orang-orang non muslim berkuasa terhadap
orang-orang Islam. Demikian juga tersebut dalam surat At-Thalaq ayat 2
di mana Allah SWT memerintahkan agar dalam menyelesaikan segala masalah
hendaknya dipersaksikan dengan dua orang saksi yang adil dari golonganmu
(Orang Islam).
Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi’I
menolak kesaksian orang-orang non muslim secara mutlak, kecuali dalam
hal yang sangat darurat seperti kesaksian dokter non muslim terhadap
suatu peristiwa dan kejadian. Ibnu Qayyim mengemukakan bahwa penolakan
secara mutlak terhadap kesaksian orang non muslim kepada orang Islam
sebagaimana yang telah dilaksanakan oleh para ahli hukum Islam
sebenarnya perlu ditinjau kembali. Lebih lanjut Ibnu Qayyim mengemukakan
bahwa dalam masalah persaksian yang penting adalah saksi-saksi tersebut
dapat mengungkapkan tabir yang menutup kebenaran, orang-orang yang
dapat mengungkapkan kebenaran itu, adakalanya dari orang-orang yang
bukan Islam dan orang-orang itu dapat dijamin kepercayaannya, maka dalam
hal ini kesaksian dapatlah diterima.
Demikian juga
dalam hal pembuktian yang harus diberikan dokter yang kebetulan dokter
tersebut bukan Islam, menurut Ibnu Qayyim tidak ada salahnya untuk
diterima asalkan keterangan dokter tersebut dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya. Pendapat Ibnu Qayyim, sejalan dengan perkembangan zaman
saat ini, di mana pengaruh globalisasi dunia mengakibatkan kehidupan
masyarakat menjadi mambaur satu sama lain, yang tidak terikat dengan
satu agama saja. Apabila terjadi permasalahan diantara mereka bukan
suatu hal yang mustahil peristiwa dan kejadian yang terjadi itu justru
disaksikan oleh orang-orang yang beragama selain Islam. Para praktisi
hukum dibeberapa Negara Islam, pendapat Ibnu Qayyim ini banyak
dipergunakan dalam menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi di dalam
kehidupan masyarakat. Oleh karena itu para praktisi hukum harus dapat
membedakan saksi sebagai syarat hukum atau sebagai alat pembuktian,
kalau syarat hukum berkenaan dengan syarat materiil dan berhubungan
dengan diyanatan, sedangkan saksi sebagai alat pembuktian berhubungan
dengan syarat formal yang berkaitan dengan qadlaan.
Dalam
pemeriksaan di persidangan Pengadilan Agama sering dijumpai bahwa
kasus-kasus yang memerlukan bantuan pihak lain, seperti pembuktian yang
akan disampaikan oleh saksi yang bukan beragama Islam, visum dokter yang
dibuat oleh dokter yang berkaitan langsung dengan orang non muslim.
Apabila para hakim tetap berpegang pada kitab-kitab fiqh tradisional,
sudah barang tentu kasus-kasus tersebut akan mengalami hambatan dalam
penyelesainnya. Sehubungan dengan hal yang dikemukakan di ata
Syekh Mahmoud Syaltout dalam Muqaranah Mazahib mengemukakan bahwa
ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan saksi lebih dititik beratkan
kepada utamanya sifat kepercayaan dan kebenaran dari suatu peristiwa.
Oleh karena itu, berdasarkan penelitian yang mendalam tidak ada dalil
yang konkret tentang tidak boleh diterimanya keterangan kesaksian dari
saksi non muslim baik yang menyangkut bidang muamalah maupun bidang
jinayat, yang penting saksi itu jujur, adil, dan dapat dipercaya
meskipun ia bukan beragama Islam. Atas dasar pemikiran ini, lebih lanjut
Syaltout mengemukakan bahwa banyaknya para ahli hukum Islam menolak
kehadiran saksi non muslim di depan sidang pengadilan Islam sebenarnya
hanya tergantung pada ruang dan waktu tertentu saja, bukan berdasarkan
dalil-dalil yang qath’i. praktisi hukum haruslah berpegang kepada qaidah
fiqhiyah yang mengatakan bahwa hukum itu akan berubah dengan adanya
perubahan waktu dan tempat. Dengan demikian, pendapat yang menolak
kehadiran saksi non muslim di sidang pengadilan sebagaimana dalam
fiqh-fiqh yang lama perlu disesuaikan dengan kondisi saat ini.
Dengan tetap berpedoman kepada nilai-nilai yang tersebut dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta ketentuan-ketentuan yang tersebut dalam
qaidah fiqhiyah dan kenyataan kondisi yang hidup dalam masyarakat, juga
sejalan dengan pendapat Ibnu Qayyim dan Mahmoud Syaltout sebagaimana
tersebut di atas, maka kesaksian non muslim baik berupa keterangan saksi
maupun berupa akta outentik dapat diterima sebagai alat bukti dalam
persidangan majelis hakim pengadilan agama. Hal ini sepanjang hal-hal
yang menyangkut masalah qadlaan guna memperjelas suatu peristiwa dan
kejadian yang dipersengketakan oleh para pihak yang berperkara, bukan
masalah yang berhubungan dengan diyanatan yang berhubungan dengan
ketentuan syari’at agama seperti masalah nikah, talak, dan rujuk.
Oleh
karena itu, para praktisi hukum di pengadilan agama harus membedakan
status saksi antara saksi sebagai syarat hukum agama Islam dengan status
saksi sebagai alat bukti. Untuk dapat mengetahui kedudukan saksi
tersebut, tidaklah mungkin dilakukan oleh praktisi hukum kalau tidak
mengetahui sepenuhnya hukum materiil Islam, sedangkan saksi sebagai alat
bukti merupakan pembenaran suatu peristiwa yang berkaitan dengan hukum
formal. Elastisitas hukum Islam dengan segala problematikanya saat ini
merupakan tantangan bagi praktisi hukum untuk lebih mendalami falsafah
hukum Islam, sehingga hukum Islam dapat diterpakan dalam suasana yang
lebih baik pada suatu waktu dan tempat sehingga masyarakat dapat
menerimanya.
Di samping itu peranan praktisi hukum di pengadilan
agama dalam mengantisipasi perubahan sosial dan perubahan nilai dalam
masyarakat sangatlah diharapkan. Para praktisi hukum di pengadilan agama
harus berani memikul tanggung jawab dalam rangka menegakkan kebenaran
dan keadilan secara konkrit dengan berperan sebaik-baiknya dalam
menafsirkan aturan-aturan hukum yang brelaku, menciptakan hukum baru,
mencari asas-asas hukum baru dan kalau perlu melakukan contra legem dari
suatu aturan hukum yang berlaku saat ini.
Saksi Wanita;
Masalah ini telah menjadi sebuah isu yang diperdebatkan dalam teologi
Islam. Mengenai pemberian kesaksian oleh perempuan dalam hal kontrak
keuangan, dalam Al-Quran surat Al-Baqarah (2) ayat 282, terhadap ayat
ini para fuqaha telah mendiskusikan satu aturan umum. Yaitu satu saksi
laki-laki setara nilainya dengan dua orang saksi perempuan dan karena
itu laki-laki lebih unggul dari perempuan. Juga ayat ini menyebutkan dua
saksi perempuan dan satu saksi laki-laki dalam kaitannya hanya dalam
kontrak keuangan saja. Tidak ada penyebutan tentang kontrak-kontrak
jenis lain, namun para fuqaha menyimpulkan dari ayat ini bahwa dalam
masalah apa pun, baik keuangan ataupun yang lain seorang perempuan akan
diperlakukan sebagai separoh saksi. Sikap yang benar pandangan ini harus
di perlakukan sebagai hasil interprestasi dan kajian mereka atas surat
Al-Baqarah ayat 282.
Dalam memahami ayat ini yang penting
adalah bahwa walaupun dua saksi perempuan diajukan sebagai pengganti
seorang saksi laki-laki hanya salah seorang diantara keduanya yang
memberikan kesaksian fungsi yang lain tidak lebih dari pengingatnya jika
dia bimbang (karena kurangnya pengalamannya dalam masalah keuangan).
Ungkapan Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 282 adalah:“jika salah seorang
di antara keduanya membuat kesalahan yang lain akan mengingatkan Pada
masa itu selalu ada kemungkinan bagi saksi perempuan melakukan kesalahan
dalam masalah keuangan karena mereka tidak berpengalaman dan bukan
karena rendahnya kemampuan kecerdasan. Ayat ini harus dikategorikan
sebagai ayat kontekstual dan bukan normatif. Al-Qur’an tentu saja tidak
menetapkan suatu norma bahwa dalam masalah kesaksian dua orang perempuan
diperlakukan sebagai setara dengan satu laki-laki. Jika itu yang
dimaksudkan Al-Qur’an maka di manapun masalah kesaksian muncul,
Al-Qur’an akan memperlakukan perempuan dengan cara yang sama. Namun
kenyataannya tidak begitu. Ada tujuh ayat lain tentang pencatatan
kesaksian dalam Al-Qur’an, tetapi tidak satu pun yang menetapkan syarat
dua orang saksi perempuan sebagai pengganti satu saksi laki-laki.
Ayat-ayat tersebut antara lain dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 106,
ada kalimat yang digunakan untuk dua orang saksi.
Di sini
kalimat yang digunakan untuk dua orang saksi adalah dua orang yang adil.
Tidak disebutkan jenis kelaminnya. Kedua saksi bisa keduanya laki-laki,
keduanya perempuan atau sati orang laki-laki dan satu orang perempuan
yang dituntut hanyalah keadilan dan kepercayaan. Dalam Al-Qur’an surat
An-Nisa ayat 15 berbunyi: “ Hendaklah ada empat orang saksi di antara
kamu (yang menyaksikan)” Di sini kata “minkum” yang digunakan dalam tata
bahasa arab, kata ini mencakup kedua jenis kelamin jadi tidak ada
pengkhususan jenis kelamin saksi. Dalam Al-Qur’an surat An-Nur ayat 4
berbunyi: “dan orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat
zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi. ” Ayat ini
berkenaan dengan tuduhan zina kepada seorang perempuan baik-baik yang
mnurut ayat ini diperlukan empat saksi untuk membuktikannya. Namun di
sini tidak disebutkan jenis kelamin saksi. Para fuqaha pada umumnya
berpendirian bahwa kesaksian perempuan tidak bisa diterima untuk hukum
hudud. Ayat ini berkenaan dengan hukuman hudud yaitu hukuman dera 80
(delapan puluh) kali bagi pemberian tuduhan palsu terhadap perempuan
baik-baik, namun tidak mengkhususkan jenis kelamin saksi yang
diperlukan.
Dalam Al-Qur’an surat An-Nur ayat 6 sampai dengan
ayat 9. Ayat ini berkenaan dengan masalah li’an yakni mengutuk diri
sendiri jika berbicara dusta. Dari ayat ini ternyata seorang perempuan
mempunyai hak untuk membatalkan kesaksian seorang laki-laki (dalam hal
ini suaminya), dan bersumpah dapat memastikan suaminya sebagai pendusta.
Dengan demikian, seorang perempuan tidak hanya mempunyai hak untuk
menjadi saksi tetapi juga hak untuk membantah kesaksian laki-laki. Di
sini pengambilan sumpah dilakukan karena tidak ada saksi-saksi dan bahwa
sumpah itu berlaku juga dalam hukuman hudud, walaupun para fuqaha
mengatakan bahwa perempuan tidak dapat memberikan kesaksian dalam
hukuman hudud. Ibnu Qayyim, seorang murid Ibnu Taymiyyah berpendapat
bahwa seorang perempuan jika dia dapat dipercaya dapat diterima sebagai
saksi. Dia mengatakan dalam bukunya bahwa “jika perempuan tersebut
sempurna ingatannya tentang apa yang dia lihat, adil dan juga cenderung
religious maka hukum ditetapkan atas dasar kesaksiannya saja”.
Dalam banyak kejadian kesaksian seorang perempuan saja dianggap
cukup, karena itu proposisi yang lebih benar adalah bahwa masalah
diputuskan atas dasar kesaksian dua orang perempuan dan sumpah penggugat
yang benar (yang berarti tidak diharuskan menghadirkan seorang saksi
laki-laki bersama mereka). Inilah yang dinyatakan Imam Malik dan
merupakan satu pendapat yang disandarkan kepada Imam Ahmad. Dengan
demikian, dapat dilihat bahwa para fuqaha mempunyai pendapat yang sangat
beragam dalam masalah kompetensi perempuan dalam hal memberikan
kesaksian, dalam kondisi zaman sekarang yang telah berubah, dan sudah
tidak bisa dihitung di dunia ini, kaum perempuan yang cerdas-cerdas
bahkan bisa melebihi kaum laki-laki dan juga telah banyak kaum perempuan
yang menduduki posisi-posisi yang penting, juga tidak sedikit kaum
perempuan yang mengetahui peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian yang
penting dalam pergaulan hidup sesama manusia.
Mereka dapat
dipercaya, oleh karenanya saksi perempuan bisa diterima dalam segala hal
baik perkara perdata maupun pidana.Kesaksian dikenal dalam sebutan as
syahadah, artinya pernyataan atau pemberitaan yang pasti. Ucapan yang
keluar dari pengetahuan yang diperoleh dengan penyaksian langsung.
Mengetahui sesuatu secara pasti, mengalami dan melihatnya, seperti
perkataan, saya menyaksikan sesuatu, artinya saya mengalami serta
melihat sendiri sesuatu itu, maka saya ini sebagai saksi. Seseorang yang
hendak menjadi saksi harus dapat memenuhi syarata, dewasa, berakal,
mengetahui apa yang disaksikan, beragama islam, adil, saksi itu harus
dapat melihat, dan dapat berbicara.
2. Surat
Dalam hukum
islam bukti tulisan adalah merupakan satu alat bukti, selain pengakuan
dan saksi, bukti tulisan merupakan akta yang kuat sebagai alat bukti di
pengadilan dalam menetapkan hak atau membantah suatu hak. Pentingnya
bukti tulisan berdasarkan Q.S Al Baqarah (2); 282. Hai orang orang yang
beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai, untuk waktu yang
ditentukan hendaklah kamu menuliskannya, dan hendaklah seorang penulis
diantara kamu menuliskannya dengan benar, dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana ALLAH, telah mengajarkannya, maka hendaklan ia
menulis dan hendaklah orang yang berhutang itu, mengimamkan apa yang
ditulis itu, dan hendaklah ia bertaqwa kepada ALLAH Tuhannya. Jika kamu
dalam perjalanan dan bermuamalah tidak secara tunai, sedangkan kamu
tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan
yang dipegang oleh yang berpiutang. (Q.S 2;283)
Alat bukti
tulisan surat dipersamakan dengan saksi, sebagaimana Nabi Muhammad,
telah mengirimkan surat suratnya kepada Raja Raja lainnya, dan
menyampaikan argumentasi melalui surat surat, dan Beliau, tidak
memperlihatkan isi suratnya kepada orang yang diperintah untuk
mengirimnya. Tidak pernah terjadi sekalipun sepanjang sejarah hidup
beliau, menyerahkan surat yang telah disegelnya, dan memerintahkan untuk
diserahkan ke alamat yang dituju. Karenya penulisan wasiat, merupakan
bukti tulisan. Sehingga bukti tulisan dapat dinilaioleh hakim, untuk
dijadikan dasar pertimbangan hukum dalam menjatuhkan putusan, sehingga
secara imperatif sebagai bukti yang mengikat, sehingga bukti tulisan
dapat dipandang sebagai bukti yang mengikat.
3. Persangkaan/Petunjuk (qarinah)
Secara
bahasa, qarinah diartikan sebagai tanda tanda, yang merupakan hasil
kesimpulan hakim dalam menangani berbagai kasus melalui ijtihad.
Sehingga tanda tanda itu dapat menimbulkan keyakinan. Persangkaan dibagi
menjadi dua, yakni Pertama. Qarinaah Qununiyyah, yakni persangkaan yang
ditentukan oleh undang undang.Kedua. Qarinah Qudloiyyah, yakni
persangkaan yang merupakan hasil kesimpulan hakim setelah memeriksa
perkara. Sehingga qarinah yang dapat dijadikan alat bukti, harus jelas
dan meyakinkan, tidak akan dibantah lagi oleh manusia normal atau
berakal, atau seluruh persangkaan yang oleh undang undang di lingkungan
peradilan, sepanjang tidak dengan jelas jelas bertentangan dengan hukum
islam, sehingga persangkaan itu, dapat dijadikan dasar pemutus. Dalam
islam suatu contoh konkrit, tentang persangkaan itu, yakni;
1. Kasus Yusuf dan Zulaiha, sebagaimana al Quran surat Yusuf ayat 25 dan 27.
2.
Nabi Muhammad saw, pernah menggunakan persangkaan, yaitu memberikan
barang hilang yang diketemukan kepada orang yang dapat menyebutkan sifat
sifat pokok dari barangnya itu.
3. Khalifah Umar bin Khatab, pernah menghukum had seorang perempuan hamil, padahal ia tidak bersuami.
4. Pengakuan.
Ikrar atau pengakuan, adalah menetapkan dan mengakui sesuatu hak
dengan tidak mengingkarinya. Dasar hukum pengakuan adalah Al Quran Surah
An Nisa (4); 135.
Wahai orang orang yang beriman, jadilah kamu
orang yang benar benar penegak keadilan, menjadi saksi karena ALLAH,
biarpun terhadap dirimu sendiri.
Dan hendaklan orang yang berhutang
itu, menyatakan dengan tertulis, dan hendaklah bertaqwa kepada ALLAH,
bahwa dalam pengakuannya itu tidak boleh berbohong. Q.s Al Baqarah (2);
282.
Karenanya terhadap pengakuan, dalam praktek peradilan islam,
tidak dapat dijadikan dasar yang utama. Adapun persayaratan pengakuan
adalah orang yang berakal, baliq dan tidak dipaksa, serta bukan orang
yang berada di bawah pengampuan. Pengakuan adalah suatu alat bukti yang
terbatas, dan berlaku bagi yang memberikan pengakuan saja, tidak dapat
mengenai diri orang lain, walaupun dipandang sebagai alat bukti yang
paling kuat, sehingga berbeda dengan saksi, persaksian mengenai orang
lain dengan kaedah menyatakan.
Beban pembuktian, menurut hukum islam
di Malaysia, berdasarkan pada prinsif prinsif, hukum pidana islam,
yakni; Pertama. Ke atas siapakah beban pembuktian, terletak pada yang
mendakwakan kesalahan tersangka. Kedua. Apakah tahap pembuktian
diperlukan oleh pendakwa. Sehingga menurut undang undang AKMSWP 1997,
yakni yang memikul beban pembuktian adalah pihak pendakwa, sehingga
menjadi tugas hakim, untuk menilainya.
C. Putusan Peradilan dan Keadilan
Dalam Islam
Hakim
menurut islam, memiliki kewenangan yang luas, dalam melaksanakan
keputusan hukum dan bebas dari pengaruh siapapun. Hakim wajib menerapkan
prinsif keadilan dan persamaan terhadap siapapun. Tugas hakim adalah
melaksanakan keadilan. Karenanya hakim harus menjaga segala tingkah
lakunya dan menjaga kebersihan pribadinya dari perbuatan yang, dapat
menjatuhkan martabatnya sebagai hakim, sehingga hakim dalam persidangan,
harus bebas dari pengaruh orang lain, persidangan terbuka untuk umum,
tidak membedakan orang, dan selalu memberikan nasehat untuk berdamai,
dan memberikan hak untuk berbicara kepada orang lain, untuk berbicara
kepada orang lain yang menuntut keadilan, setiap putusannya wajib untuk
bertawakkal, dan setiap putusan, berdasarkan syariat, melindungi pencari
keadilan, memandang sama kepada para pihak, dan memulai persidangan
dengan ucapan yang sopan.
Alquran dalam suarat An nisa ayat 58
menegaskan. “Bila kamu menetapkan hukum antara manusia, maka hendaklah
kamu tetapkan dengan cara adil.” Sehingga putusan seorang hakim harus
mencerminkan rasa keadilan hukum, dengan tidak memandang kepada siapapun
hukum itu diputuskan. Sikap ini didasarkan pada Firman Allah dalam
surat Al Maidah ayat 8. “ Hai orang orang yang beriman, hendaklah kamu
menjadi orang yang lurus karena ALLAH, menjadi saksi yang adil dan
janganlah kebencian terhadap suatu kaum menyebabkan kamu berlaku tidak
adil. Bersikaplah adil, karena adil itu telah dekat kepada tagwa.
Selanjutnya dalam surat An nisa ayat 135, menentukan.´Wahai orang orang
yang beriman, jadilah kamu orang yang benarf benar penegak keadilan,
menjadi saksi karena ALLAH, biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu
bapakmu dan kaum kerabatmu, jika ian kaya atau miskin, maka ALLAH lebih
tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsumu, karena
ingin menyimpang dari kebenaran, dan jika kamu memutarbalikan kata atau
enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya ALAAH maha mengetahui segala
sesuatu yang kamu kerjakan.
Keadilan yang dikaitkan dengan hukum, dan
peradilan islam, dianggap sebagai interdependentie. Lahirnya hukum
dituntut adanya rasa keadilan, terujudnya keadilan, melahirkan yeori
keadilan, dan teori keadilan perlu diujudkan dalam hukum, dan hukum
harus melahirkan keputusan hukum yang mencerminkan rasa keadilan. Islam
merupakan sendi yang fundamental dalam rangka penegakan supremasi hukum.
Maka dalam tatanan masyarakat sangat memerlukan lembaga peradilan yang
menciptakan rasa dan nilai keadilan. Lembaga peradilan merupakan tempat
memutar roda keadilan guna menjaga keseimbangan hidup dalam mesyarakat.
Adapun wilayah kekuasaan peradilan dalam islam, dibagi menjadi 8,
hal ini hampir bersamaan dengan wilayah yurisdiksi peradilan, yakni
sebagai berikut;
1. Ikhtisan An-Navie. Yakni konesp hakim yang hanya
diperbolehkan memutus sustu perkara tertentu jenisnya, misalnya perkara
perdata, menyangkut hukum keluarga atau perdata khusus, yang menyangkut
bidang ekonomi, sehingga hakim yang diangkat untuk bidang tertentu
dilarang untuk memutuskan perkara lain yang telah ditetapkan.
2.
Al-Ikhtisan Bi Miqdar Muayyan. Yurisdiksi dari hakim yang hanya boleh
memutuskan dan memeriksa perkara dan mengadili dengan ukuran tertentu,
yakni hakim hanya boleh memutuskan perkara yang mempunyai nilai di bawah
200 dirham, dan 20 dinar, atau batas hukuman yang telah ditetapkan,
sehingga putusan batal menurut hukum, apabila melebihi kadarnya.
3.
Al- Ikhtisan Bi Qadiyah Mulayyah. Seorang hakim, hanya diberikan kuasa
untui mengadili dan menyelesaikan suatu perkara tertentu saja, hal ini
berarti kekuasaannya hanya bidang tertentu saja.
4. Al- Ikhtissa
Badal Al Wainna Wa al- Hadist. Bahwa seorang hakim hanya mempunyai
wewenang semua perkara, dengan mengecualikan hanya beberapa kasus saja.
Perkara perkara yang telah dikecualikan tidak boleh diadili.
5. Al-Ikhtisan Al Makani. Seorang hakim hanya boleh mengadili suatu kasus ditempat tertentu saja.
6.
Ikhtisas Al Qadhi Inda Taaduddihim. Dalam pemimpin mengangkat beberapa
orang hakim dalam suatu tempat, Ia hanya mempunyai yurisdiksi di dalam
kawasan tersebut saja.
7. Al Ikhtishash Al Qadha bi Zaman Muniayan.
Bilamana seorang hakim yang diangkat, hanya memeriksa tugas untuk
memeriksa dan mengadili suatu kasusu, hanya pada hari atau masa tertentu
saja, maka tidak sah memeriksa pada hari lainnya.
8. Ikhtisas Al qadha bi Madzahab Muiyyan. Yakni seorang hakim hanya boleh memutuskan perkara, hanya dengan mashab tertentu saja.
BAB
KEENAM
BEBAN PEMBUKTIAN DALAM
PRAKTIK PERADILAN MAHKAMAH KONSTITUSI
A. Wewenang dan Beban Pembuktian
Dalam
catatan sejarah, judicial review kali pertama muncul dalam praktek
hukum di Amerika serikat, melalui putusan supreme court Amerika serikat
dalam perkara Merbury vs Madison tahun 1803. Meskipun ketentuan
judicial review tidak tercantum dalam undang undang dasar Amerika
Serikat. Keberadaan mahkamah konstitusi (MK), secara teoritis
diperkenalkan Oleh Hans Kelsen (1881-1973), yakni pelaksanaan aturan
konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin, hanya
jika suatu organ selain badan legislatif, diberikan tugas untuk menguji.
Apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan juga tidak
diperlakukannya, jika menurut organ ini produk badan legislatif
tersebut tidak konstitusional.
Idea Hans Kelsen, dikemukakan oleh
Muh. Yamin dalam sidang badan penyelidik usaha usaha persiapan
kemerdekaan (BPUPKI). Selanjutnya dalam rentang sejarah, suatu momentum
perubahan UUD pada era reformasi, idea pembentukan Mahkamah Konstitusi
di Indonesia, diterima keberadaannya, sebagai mekanisme untuk mengontrol
pelaksanaan undang undang dasar dalam bentuk undang undang. Selain itu
pembentukan Mahkamah Konstitusi didorong oleh berbagai alasan, yakni
sebagai negara hukum, terjadinya perubahan UUD, yang mengakibatkan
pergeseran hubungan kekuasaan negara secara besar besaran.
Sesungguhnya
dalam rangka memberdayakan Mahkamah Agung, ikatan hakim Indonesia
(IKAHI), telah lama memperjuangkan agar Mahlamah Agung diberi kewenangan
untuk menguji undang undang terhadap UUD 1945, sebagai salah satu
strategi, yang dicetuskan sejak tahun 1970 –an, untuk memperdayakan
Mahkamah Agung. Strategi yang diusulkan itu juga meliputi pembatasan
upaya hukum kasasi dan peninjauan kembali, untuk mengurangi beban
tungakan perkara yang terlalu besar, yang kebanyakana dilihat dari sudut
hukum, sudah jelas terbukti dan tidak ada masalah hukum penting yang
harus diperiksa Mahkamah Agung, yang merupakan salah penerapan maupun
melampaui wewenangnya. Stragi lain, adalah mewujudkan sistem satu atap,
yang memberi kewenangan pada Mahkamah Agung, untuk menangani dan
mengawasi, kewenagan dan dan organisasi, sehingga dapat menjamin
kemandirian Mahkamah Agung, tuntutan tersebut tidak pernah mendapatkana
perhatian yang serius dalam waktu yang cukup lama. Setelah krisis
ekonomi melanda Indonesia dan gerakan reformasi di tahun 1998, terjadi
perubahan yang sangat drastis, dalam kehidupan sosial politik dalam
kehidupan sosial, politik dan hukum di Indonesia. Di awali dengan
perubahan UUD 1945.
Konstitusi merupakan aturan dasar
ketatanegaraan, yang dibuat oleh masyarakat guna memberikan arah dalam
penyelengaraan pemerintahan negara. Konstitusi merupakan realisasi, dari
demokrasi yang berisi kesepakatan tentang pembatasan kekuasaan negara
oleh rakyat dan bukan sebaliknya. Kebebasan ditentukan oleh penguasa.
Konstitusi sebagai alat pembatas penguasa, agar tidak melakukan
penyalahgunaan wewenang (abuse of power) harus memuat. Pembatasan
wewenang antar lembaga negara legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Merupakan pelaksanaan kedaularan rakyat sebagai hasil perjanjian. Harus
adanya lembaga yang menjaga, agar konstitusi tetap dapat dijalankan
dengan baik, dan sesuai dengan cita cita negara. Pasal 24C ayat (1),(2)
UUD 1945, telah menggariskan wewenang Mahkamah Konstitusi sebagai
berikut;
1. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir, yang putusannnya bersifat final untuk menguji
undang udang terhadap undang undang dasar, memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannnya diberikan oleh undang undang dasar,
memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang
hasil pemilu.
2. Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas
pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran Presiden
dan / atau Wakil Presiden menurut Undang Undang Dasar.
Wewenang
Mahkamah Konstitusi, secara khusus, diatur dalam pasal 10 Undang Undang
Mahkamah Konstitusi, yakni; Menguji Undang Undang terhadap Undang Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Memutus
pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum. Mahlkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat DPR,
bahwa Presiden dan / atau Wakil Presiden diduga telah melakukan
pelangaran hukum, berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela lainnya,
dan atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau wakil
Presiden, sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar 1945.
Menguji
Undang Undang terhadap Undang Undang Dasar 1945, merupakan tugas yang
mendominasi kewenangan Mahkamah Konstitusi, sebagaimana tampak dari
permohonan yang masuk, dan terdaftar di kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi, dengan parameter, sebagaimana ditentukan dalam pasal 5
Undang Undang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan yang baik, yakni
dalam membentuk peraturan perundang undangan, harus berdasarkan pada
asas pembentukan peraturan perundang undangan yang baik, meliputi;
1. Kejelasan tujuan.
2. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat.
3. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan.
4. Dapat dilaksanakan.
5. Kedayagunaan dan kehasilgunaan.
6. Kejelasan rumusan, dan
7. Keterbukaan.
Tentang
memutus sengketa kewenangan lembaga negara, yang kewenangannya
diberikan oleh UUD 1945, yakni dibatasi, oleh lembaga negara yang
memperoleh kewenangannya menurut UUD 1945. Sehingga lembaga negara
tersebut, harus merupakan organ konstitusi, yaitu yang dibentuk atas
konstitusi, maupun secara langsung wewenangnya diatur dan diturunkan
dari UUD 1945. Memutus pembubaran Partai Politik, yakni yang mempunyai
standing untuk mengajukan pembubaran partai politik, sebagaimana yang
diatur dalam pasal 68 Undang Undang Mahkamah Konstitusi hanya
pemerintah, yaitu pemerinatahan pusat, sebagai satu kesatuan di bawah
pimpinan Presiden.Dengan suatu kewajiban bagi pemerintah untuk
menguraikan dengan jelas. Idologi, asas, tujuan, program dan kegiatan
partai politik. Yang kesemuanya bertentangan dengan UUD 1845.
Pelaksanaan
putusan Mahkamah Konstitusi dengan membatalkan pendaftaran partai pada
pemerintah.Pembubaran partai politik diatur juga dalam Undang Undang
tentang Partai Politik. Tentang Mermutus perselisihan hasil Pemilihan
Umum. Sebagai pemohonnya adalah perorangan warga negara Indonesia calon
anggouta DPD peserta pemilihan umum.. Pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden peserta pemilihan umum, serta peserta partai politik. Menjadi
termohon adalah Komisi Pemilihan Umum, meskipin asal perselisihan pada
daerah tertentu, terutam mengenai salah perhitungan yang dilakukan oleh
KPU, dan hasilk perhitungan yang benar menurut pemohon. Selanjutnya
adalah Impeachment Presiden/ Wakil Presiden. Terutama adanya
pengkihianatan, korupsi, tindak pidana berat, perbuatan tercela, serta
tidak memenuhi syarat lagi sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Pembuktian
yang dilakukan mengenai argumentasi atau dalil yang didasarkan atas
alat alat bukti yang diajukan, dalam pemeriksaan perkara, merupakan
bagian yang paling penting dalam hukum acara di pengadilan. Di dalamnya
terkait erat persoalan hak hak hukum dan bahkan hak asasi manusia,
setiap orang atau pihak pihak yang dipersangkakan telah melakukan
pelanggaran hukum.Lebih lebih dalam hukum pidana, dimana seseorang dapat
didakwa telah melakukan perbuatan pidana tertentu, yang apabila
berdasarkan alat alat bukti, yang diajukan disertai oleh keyakinan hakim
menyatakan bersalah, padahal sebenarnya tidak bersalah. Sehingga
putusan hakim berdasarkan pembuktian, yang dilakukan itu dapat
menyebabkan orang yang bersalah bebas tanpa ganjaran. Sedangkan orang
yang sama sekali tidak bersalah, menjadi terpidana, dengan cara yang
sangat tidak adil. Karenanya pembuktian yang dikembangkan oleh hakim,
haruslah benar benar dapat dipertanggungjawabkan, sehingga dapat sungguh
sungguh menghasilkan keadilan.
Proses peradilan konstitusi, dalam
perkara pengujian undang undang, diawali dengan persoalan konkrit orang
perorang, yang dinyatakan memiliki Legal standing, untuk berperkara,
tetapi substansi perkara yang dipermasalahkan, oleh pemohon, adalah
menyangkut undang undang, yang berisi norma hukum yang bersifat umum dan
abstrak. Oleh karena, proses peradilan dalam perkara pengujian undang
undang, berkaitan erat dengan kepentingan umum. Jika suatu norma dalam
undang undang terbukti, dengan UUD, dan karena itu dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, maka alasan yang dipakai untuk
itu, haruslah didasarkan atas pertimbangan kepentingan umum, yaitu
setidak tidaknya untuk kepentingan umum, yang lebis besar dan lebih
luas. Malahan jika dikaitkan dengan kenyataan, bahwa putusan Mahkamah
konstitusi, sangat luas dampaknya, kepada tertib hukum, yang diharapkan
melindungi kepentingan umum itu, maka mau tidak mau, hakim konstitusi
haruslah membuat keputusan berdasarkan, pembuktian yang benar benar
sangat mendalam.Setiap undang undang yang telah disyahkan, menjadi norma
hukum yang mengikat untuk umum, dapat dikatakan mencerminkan kehendak
mayoritas, suara rakyat yang berdaulat disuatu negara. Sebabnya ialah,
setiap undang undang yang disahkan, menjadi norma hukum yang berlaku
mengikat untuk umum, adalah produk hukum yang telah mendapatkan
persetujuan. Pembuktian dalam perkara pengujian undang undang, haruslah
diorientasikan, untuk menemukan kebenaran hakiki, dari pokok persoalan,
yang sedang diuji nilai konstitusionalnya. Jika pembuktian hanya terpaku
pada hal hal yang bersifat formil. Niscaya para hakim konstitusi tidak
dapat menemukan kebenaran yang terdapat dibalik layar (the underlying
truth). Karena itu, walaupun pihak tidak mengajukan bukti bukti yang
memadai. Para hakim karena jabatannya, secara ex-officio, wajib menggali
sendiri, kebenaran materiil dimaksud, untuk sampai pada keyakinan dalam
menjatuhkan putusan, yang bersifat final dan mengikat.
Tentang
beban pembuktian berdasarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi No.
06/PMK/2005 Tentang Pedoman beracara Dalam Perkara Pengujian Undang
Undang. Ditentukan, bahwa pembuktian dibebankan kepada pemohon.Bilamana
dimungkinkan. Hakim dapat memerintahkan pembebanan pembuktian kepada
Termohon Presiden dan atau DPR atau pihak yang terkait. Pasal 18.
1. Pembuktian dibebankan kepada Pemohon.
2. Apabila dipandang perlu. Hakim dapat pula membebankan pembuktian kepada Presiden/Pemerintah/DPR dan atau pihak terkait.
3. Presiden/Pemerintah/DPR, dan atau pihak lain, dapat mengajukan bukti sebaliknya (Tegen bewijs).
4.
Dalam hal Mahkamah Konstitusi, menentukan perlu mendengar keterangan
Presiden/Pemerintah dan DPR, keterangan ahli dan atau saksi, didengar,
setelah keterangan Presiden/pemerintah dan DPR, kecuali untuk
kepentingan kelancaran persidangan. Mahkamah menentukan lain.
Perselisihan
yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi, sesungguhnya memiliki karakter
tersendiri, dan berbeda dengan perselisihan yang dihadapi sehari hari
oleh peradilan biasa.Hal ini disebakan oleh adanya sifat kepentingan
umum yang tersangkut di dalamnya, meskipun andaikat permohonan diajukan
oleh seseorang atau individu tertentu, keputusan yang diminta oleh
pemohon dan diberikan oleh Mahkamah Konstitusi, akan membawa akibat
hukum yang tidak hanya mengenai orang seorang atau individu yang
mengajukan permohonan, tetapi juga orang lain, lembaga negara, dan
aparatur pemerintah atau masyarakat pada umumnya. Terutama tentang
pengujian undang undang terhadap undang undang dasar.
Perselihan
hukum, diatur secara limitatif dalam aturan hukum, yang membolehkan dan
melarang, dalam satu proses yang tertib, dimana pihak pihak yang
dipanggil secara patut, serta pihak pihak yang memberikan keterangan
untuk didengar, menegakkan dan melindungi hak haknya, sebelum pengadilan
menggunakan haknya untuk memutus perkara.
B. Asas dan Ragam Pembuktian
Mahkamah
Konstitusi, dalam melaksanakan kinerjanya, harus tunduk pada asas asas
peradilan yang baik, dalam undang undang hukum acara, kekuasaan
kehakimana, serta asas asas lainnya meliputi.
1. Asas
Persidangan terbuka untuk umum, sebagaimana ditentukan dalam undang
undang kekuasaan kehakiman, menentukan bahwa sidang terbuka untuk umum,
kecuali undang undang menentukan lain. Hal ini berlaku secara universal
dan berlaku disemua lingkungan peradilan. Pasal 40(1), undang undang
Mahkamah Konstitusi, menentukan secara khusus, bahwa sidang Terbuka
untuk umum, kecuali rapat permusyawaratan hakim. Keterbukaan sidang
merupakan sosial kontrol, dan juga bentuk akuntabilitas hakim,
transparansi dan akses publik secara luas yang dilakukan Mahkamah
Konstitusi, dengan dapat membaca transkrif, berita acara, dan putusan
yang dipublikasikan lewat situs internet.
2. Asas Indpenden dan
Imparsial. Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga yang
melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka, untuk menyelenggarakan
peradilan, guna menegakkan hukum dan keadilan. Sehingga dalam
menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga kemandirian
peradilan. Independen atau kemadirian, sangat berkaitan erat dengan
sikap imparsial atau tidak memihak. Sehingga laranga adanya intervensi
dari pihak manapun, dan hal demikian tidak bersifat mutlak, tetapi
dibatasi oleh hukum dan kieadilan yang didasarkan pada pandangan hidup,
kesadaran dan cita cita hukum serta cita cita moral yang meliputi
suasana kejiwaan, serta watak dari rakyat yang dirumuskan dalam
Pancasila.Kebebasan hakim disertai dengan dukungan keahlian,
pertanggungjawan serta ketaatan pada kode etik.
3. Peradilan
Dilaksanakan Secara Cepat, Sederhana dan Murah. Dimaksudkan dengan
sederhana, cepat dan baya ringan, adalah pemeriksaan dan penyelesaian
perkara dilakukan dengan acara yang efisien dan efektif, sedangkan biaya
murah, adalah biaya perkara yang dapat dipikul oelh rakyat. Keduanya
tanpa mengorbankan ketelitian dalam mencari kebenaran dan keadilan.
Biaya perkara yang dibebankan pada pemohon atau termohon dikenal dalam
acara Mahkamah Konstitusi. Semua biaya yang menyangkut persidangan di
Mhkamah Konstitusi dibebankan pada biaya negara. Hal ini dapat dipahami,
karena tindakan tindakan yang diminta dilakukan oleh badan peradilan,
seperti di pengadilan umum, untuk sita dan eksekusi yang merupakan
beban terbesar, tidak dikenal di Mhkamah Konstitusi. Karenanya dalam
praktek, untuk melaksanakan asas ini, diperlukan sidang jarak jauh
melalaui fasilitas Teleconfrence.
4. Asas Hakim Aktif dan juga Pasif
Dalam Proses Persidangan. Hal ini terjadi disebabkan oleh karakteristik
khusus perkara konstitusi, yang kental dengan kepentingan umum,
ketimbang kepentingan perorangan, telah menyebabkan proses persidangan,
tidak dapat diserahkan melulu pada inisiatif para pihak. Mekanisme
sosial kontrol, harus digerakkan pemohon dengan satu permohonan, dan
dalam hal demikian, hakim bersikaf pasif, dan tidak boleh secara aktif
melakukan, inisiatif untuk memggerakkan mekanisme Mahkamah Konstitusi,
memeriksa perkara tanpa diajukan dengan satu permohonan, karenanya hakom
juga aktif dalam memeriksa, terutama dalam menggali bukti, keterangan
keterangan, yang dianggap perlu, untuk membuat jelas dan terang, hal
yang diajukan dalam permohonan tersebut.
5. Asas Ius Curia Novit.
Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan
suatu perkara yang diajukan dengan dalih, bahwa hukum tidak ada atau
kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Asas ini,
merupakan suatu pintu masuk bagi hakim untuk menemukan hukum melalui
penafsiran, konstruksi dan penghalusan hukum.
Ragam alat bukti,
yang ditentukan secara limitatif dalam Pasal 36 (1) UU No. 24 Tahun 2003
Tentang Mahkamah Konstitusi; yakni berupa; surat atau tulisan,
keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan para pihak, petunjuk, alat
bukti lain, berupan informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau
yang serupa dengan itu.
1. Surat atau tulisan;
Alat bukti
surat, atau tertulis, adalah segala dokumen yang bersifat tertulis,
berisi huruf, tanda,baca baca, kata, anak kalimat atau kalimat, termasuk
gambar, bagan, atau hal hal yang memberikan pengertian tertentu,
mengenai sesuatu hal, yang tertuang di atas kertas, ataupun bahan bahan
lainnya, yang bukan kertas. Salah satu bukti surat adalah dokumen resmi,
seperti undang undang, lembaran negara dan tambahan berita negara.
Lembaran daerah dan tambahan berita daerah. Risalah risalah dan arsip.
Surat atau akte otentik. Surat resmi lainnya yang dibuat oleh pejabat
umum. Dibuat dan dibubuhi tanda tangan pejabat dan petugas yang
bersangkutan. Dokumen tertulis yang bersifat resmi.
Selanjutnya
ditentukan, bahwa pemeriksaan alat bukti surat atau tulisan, dimulai
dengan menanyakan cara perolehannya, yang dapat dipertanggungjawabkan
secara hukum. Pemeriksaan alat bukti surat atau tulisan yang berupa foto
copy, meliputi; materai, legalisasi dan atau pencocokan dengan surat
aslinya. Dalam hal, tidak dipenuhi, maka ketua sidang dapat
mengembalikannya kepada Pemohon, untuk dipenuhi sebelum atau pada sidang
berikutnya.Selanjutnya bilamana dipenuhi, maka ketua sidang menyatakan
sah alat bukti tersebut dalam suatu persidangan.
Dalam praktek
peradilan tata usaha negara, alat bukti surat atau tulisan, dimaknai
hampir bersamaan dengan prakatek peradilan Mahkamah Konstitusi, demikian
juga menurut praktik peradilan Perdata.
Surat sebagai alat bukti,
meliputi, akta otentik, yang dibuat oleh pejabat umum, yang menurut
peraturan perundang undangan, berwenang membuat surat, dengan maksud,
untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa hukum yang
tercantum di dalamnya.Termasuk juga akte di bawah tangan, yakni surat
yang dibuat dan ditandatangani, oleh pihak pihak yang bersangkutan,
dengan maksud untuk dapat dipergunakan, sebagai alat bukti tentang
peristiwa, atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya.. Selanjutnya
surat surat lain yang bukan akta, diserahkan pertimbangannya oleh
hakim. Karena surat surat itu, sejak dibuatnya, bukan secara sengaja,
untuk dijadikan sebagai alat bukti, tetapi, guna menjaga terjadi hal hal
yang tidak diinginkan dikemudian hari.Alat bukti surat dalam praktek,
dapat juga berupa penolakan atau pencabutan keputusan tata usaha negara,
termasuk resi, kwitansi, yang diterima oleh penggugat dari pegawai,
instansi yang bersangkutan.
Berdasarkan UU No. 8 Tahun 2011 Tentang
Perubahan Atas Undang Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi. Hal hal yang penting dalam perubahan UU dimaksud, ialah
Susunan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, Pengawasan Hakim
Konstitusi, Masa Jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK, syarat pendidikan
untuk dapat diangkat sebagai hakim konstitusi, sedrta kode etik dan atau
pedoman perilaku hakim MK. Pasal 41 UU No. 8 Tahun 2011, menentukan
bahwa dalam pemeriksaan persidangan, hakim konstitusi memeriksa
permohonan beserta alat bukti yang diajukan.
Adanya kewajiban untuk
memanggil para pihak yang berperkara untuk memberi keterangan yang
dibutuhkan dan atau meminta keterangan secara tertulis kepada lembaga
negara yang terkait dengan permohonan. Lembaga negara wajib menyampaikan
penjelasannnya dengan jangka waktu tujuh hari kerja sejak permintaan
hakim konstitusi diterima. Pemeriksaan sidang meliputi pemeriksaan pokok
perkara, pemeriksaan alat bukti tertulis, mendengarkan keterangan para
pihak yang berperkara, mendengarkan keterangan saksi, mendengarkan
keterangan ahli, mendengarkan keterangan pihak terkait, pemeriksaan
rangkaian data, keterangan, perbuatan, keadaan dan atau peristiwa yang
sesuai dengan alat bukti lain yang dapat dijadikan petunjuk; dan
pemeriksaan alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan,
dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektonik dengan alat optik
atau yang serupa dengan alat bukti lain.
2.Keterangan Saksi
Saksi, adalah, seseorang yang memberikan pernyataan atau menandatangani
kesaksian, dalam suatu dokomen. Sebagai alat bukti dikemudian hari atau,
seseorang yang memberikan keterangan berdasarkan kesaksiannya sendiri,
memngenai sesuatu fakta yang dilihatnya sendiri, didengarnya sendiri,
dirasakannya sendiri, atau dialaminya sendiri. Kesaksian itu merupakan
keterangan keterangan, yang dapat berisi fakta fakta yang dilihat,
didengar, dialami oleh saksi yang bersangkutan. Karena itu siapa saja
yang memenuhi syarat sebagai saksi, kecuali orang yang tidak sehat atau
sakit jiwa dan untuk kasus kasus tertentu, anak kecil yang belum dewasa.
Sebagaimana yang ditentukan dalam KUHAP, pasal 171, yakni anak yang
umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin. Orang sakit
ingatan atau sakit jiwa, meskipun ingatannya baik kembali.
Pada
umumnya saksi dapat dipaksa, oleh hakim, untuk memberikan keterangan
berdasarkan kesaksiannya. Bilamana menolak setelah dipanggil dengan
patut. Maka dapat dikenakan pasal 38(1). UU No. 24 Tahun 2003 Tentang
Makamah Konstitusi.Dapat dinilai melakukan penghinaan terhadap
pengadilan (comtemp of court). Sehingga saksi wajib menjawab pertanyaan
dengan di bawah sumpah. Saksi dilarang untuk menyembunyikan informasi
tentang kesaksiannya, atau menjawab pertanyaan dalam persidangan dalam
persidanga terbuka menurut kesaksiannya.
Kesaksian pada umumnya
diberikan secara lisan dalam persidanga yang terbuka untuk umum. Akan
tetapi dalam hal hal tertentu, dengan persetujuan majelis hakim,
kesaksian dapat saja diberikan secara tertulis. Jika saksi yang sudah
dipanggil secara patut, karena sakit, yang tiak memungkinkan untuk
hadir.Setiap saksi memberikan keterangan yang faktual berdasarkan
kesaksiannya di bawah sumpah, sehingga saksi harus menyampaikannya
secara objektif dan apa adanya. Dalam pembuktian saksi dapat diajukan
oleh Pemohon,termohon, pihak lembaga negara yang terkait, dan pihak yang
mempunyai kepentingan lainnya..
Pasal 21PMK. No. 06/2005.
Menentukan, bahwa saksi dapat diajukan oleh Pemohon, Presiden
/Pemerintah,DPR,DPD,pihak terkait, atau dipanggil atas perintah
Mahkamah. Pemeriksaan saksi dimulai dengan menanyakan indentitas, nama,
tempat, tanggal lahir /umur, agama, dan alamat, dan kesediannya diambil
sumpah atau janji berdasarkan agamanya, untuk menerangkan apa yang
didengar, dilihat dan dialaminya sendiri. Lapal sumpah atau janji saksi
adalah sebagai berikut;” Saya bersumpah/berjanji sebagai saksi, akan
memberikan keterangan yang sebenarnya tidaklain dari yang sebenarnya.
Untuk yang beragama islam didahului dengan “Demi Allah” untuk yang
beragama Kristen, protestan dan Katholik ditutup dengan : semiga Tuhan
menolong saya”. Untuk yang beragama hindu dimulai dengan “om atah parama
wisesa”. Untuk yang beragama Budha. “Demi Hyang Budha, saya bersumpah,
diakhiri dengan sadhu, sadhu, sadhu. Untuk yang beragama lain, mengikuti
aturan agamanya masing masing.
Saksi dapat dibedakan, antar mereka,
yang diajukan oleh salah satu dari pihak pihak tersebut. Posisi saksi
atau para saksi itu, terhadap pokok perkara, pada dasarnya dapat
dibedakan menjadi; Kelompok saksi, yang kesaksiannya turut memperkuat
undang undang yang diuji, serta kelompok saksi yang kesaksiannya
memperlemah undang undang yang sedang diuji. Sedangkan saksi yang
dipanggil atas inisiatif majelis hakim sendiri. Biasanya keterangan
yang mereka berikan dalam persidangan sangat tergantung, kepada pihak
mana yang mengajukan sebagai saksi dalam persidangan. Jika yang
mengajukan pihak pemohon, biasanya mereka cenderung berpihak kepada
pemohon. Saebaliknya, saksi yang diajukan oleh pemerintah, biasanya
cenderung berpihak kepada kepentingan pemerintah.. Wsemuja saksi harus
dapat ditanya oleh para pihak. Semua pihak yang berkepentingan dengan
kesaksian atau keterangannya sebagai saksi, harus diberi kesempatan oleh
Majelis hakim untuk melakukan cross examination.
Kridibilitas saksi
dapat, dapat dipertanyakan oleh pihak pihak dalam persidangan di
Mahkamah Konstitusi, terutama oleh pihak yang berlawanan kepentingan
dengan kesaksiannya. Majelis hakim harus memberikan kesempatan yang adil
kepada pihak pihak itu, untuk mengajukan pertanyaan kepada saksi
sebagaimana mestinya. Guna mendapatkan kejujuran dan kebenaran
keterangan saksi, majelis hakim dapat mengadakan tanya jawab cross
examination yang terbatas. Batasannya adalah materi pokok perkara dan
hal hal yang memang berkaitan dengan persoalan kridibilitas saksi.
Kebijaksanaan yang ditempuh oleh Majelis hakim menganai soal ini, dapat
mencakup pula permintaan, mengenai hal hal yang besifat tambahan, yang
dianggap penting dalam tanya jawab, mengenai kridibilitas saksi
tersebut.Dalam hal saksi mengeluarkan pernyataan yang berubah rubah atau
tidak konsisten, majelis hakim juga dapat mengajukan pertanyaan
pertanyaan mengenai hal itu. Pihak pihak yang berpekara dapat diberi
kesempatan oleh majelis hakim, untuk mengajukan pertanyaan.Atas
permintaan salah satu pihak, Majelis hakim dapat memerintahkan, seorang
saksi atau saksi saksi untuk mengeluarkan calon saksi dari ruang sidang,
sehingga diantara mereka sendiri, tidak saling mendengarkan kesaksian
masing masing.
3.Keterangan ahli
Pengertian keterangan ahli,
adalah keterangan seorang di bawah sumpah mengenai sesuatu hal, menurut
pengetahuan dan pendapat berdasarkan bidang keahlianya yang
bersangkutan.(exspert testimony, verklaringen van een deskundege,
ekspert witness). Kesaksian ahli di Mahkamah konstitusi dibedakan secara
tajam. Saksi didengar berdasarkan kesaksian yang dilhat, didengar,
dialami. Kesaksian itu tidak hanya bersifat faktual, tetapi juga
mengandung persepsi dan opini, orang biasa yang tidak hanya digolongkan
sebagai ahli.Jika pengetahuan ilmiah, tehnis, atau pengetahuan khusus
lainnya dianggap, dapat membantu pengetahuan pengadilan meniali bukti
atau fakta yang sedang diperiksa, seorang saksi yang mempunyai
kualifikasi sebagai ahli, karena pengatahuan, keterampilan, pengalaman,
pelatihan atau pendidkan, dapat diminta untuk menilai hal tersebut.
Penilaian itu dapat, berupa pendapat atau bentuk lainnya. Sepanjang
kesaksian itu; Didasarkan atas fakta atau data yang cukup. Merupakan
hasil dari prinsif prinsif dan atau metode yang terpercaya. Saksi yang
bersangkutan, telah menerapkan prinsif prinsif dan metode yang memang
terpercaya, terhadap fakta fakta yang terkait dengan perkara yang
bersangkutan. Berdasarkan fakta fakta itulah, pendapat ahli, dapat
memberikan fakta yang diketahuinya di dalam persidangan.
Ahli dapat
diajukan oleh pemohon Presiden/Pemerintah, DPR, DPD, pihak terkait atau
dipanggil atas perintah Mahkamah. Keterangan ahli yang dapat
dipertimbangkan oleh Mahkamah, adalah keterangan yang diberikan oleh
seorang, yang tidak memiliki kepentingan yang bersifat pribadi (conflict
of interest) dengan subjek dan atau objek perkara yang sedang
diperiksa. Pemeriksaa ahli dimulai dengan menanyakan indentitas, dan
riwayat hidup serta keahliannya, dan ditanyakan juga kesediannya untuk
disumpah atau janji menurut agamanya, untuk memberikan keterangan sesuai
dengan keahliannya. Terhadap ahli dalam bidang yang sama keahliannya,
dapat diajukan oleh pihak pihak yang dilakukan dalam waktu yang
bersamaan.
Dalam praktek di Mahkamah konstitusi, biasanya pihak
pihak yang mengajukan ahli dari berbagai bidang, untuk didengar
keterannya dalam persidangan. Mereka dapat diajukan oleh Pemohon oleh
pemerintah atau pihak terkait, yang kepentingan langsung terkait dengan
materi perkara. Jika undang undang yang diuji berkenaan dengan materi
yang kompleks dan menuntut pengatahuan yang multi atau lintas disiflin,
kadang kadang oleh pihak pihak diajukan pula para ahli dari masing
masing biang keahliannya yang diperlukan.Para ahli biasanya terdapat
berbagai perbedaan. Ketrangan para ahli sangat diperlukan,dalam rangka
kualitas pembuktian, yang dapat membawa hakim pada kesimpulan yang tepat
menganai ateri perkara, pengujian undang undang yang bersangkutan.
Biasanya ahli yang diajukan untuk memberi keterangan di Mahkamah
Konstitusi meliputi; Ahli dibidang hukum tata negara, ahli dibidang
hukum selain dari hukum tata negara, yang berkaitan dengan materi undang
undang yang diuji. Ahli di luar hukum yang berkaitan dengan substansi
undang undang yang sedang diuji serta ahli lainnya, dari bidang bidang
yang bersifat menunjang dalam proses pembuktian terhadap substansi yang
sedang diuji.Pengujian ahli itu, merupakan hak semua pihak yang terkait
dengan pengujian undang undang yang bersangkutan.
Menurut pasal 42A
UU No. 8 Tahun 2011, menentukan, bahwa saksi dan ahli dapat diajukan
oleh para pihak yang berperkara, pihak terkait atau dihadirkan oleh
Mahkamah Konstitusi. Saksi anahli memberikan keterangan di bawah sumpah
atau janji, saksi dan ahli masing masing berjumlah paling sedikit dua
orang saksi.
4. Keterangan para pihak
Para pihak yang terlibat
langsung, dalam perkara pengujian undang undang adalah, Pemohon,
Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah ,
Lembaga negara yang terkait langsung sebagai pelaksana undang undang
yang bersangkutan.Pihak pihak lain di luar organ negara yang mepunyai
kepentingan, yang terkait langsung dengan undang undang yang
bersangkutan. Bahkan bilaman diperlukan Mahkamah konstitusi dapat
memanggil pihak lain, di luar dari lembaga negara, termasuk MPR, untuk
dimintai keterangan mengenai hal hal, yang berkaitan dengan undang
undang dasar. Keterangan itu dapat dibagi; meliputi suatu keterangan
yang bersifat informatif dan faktual. Selanjutnya juga ang berisi opini
dan kepentingan masing masing.
Pemeriksaan terhadap pihak terkait,
dilalukan dengan mendengar keterangan yang berkaitan dengan pokok
permohonan. Pihak terkait yang mempunyai kepentingan langsung diberikan
kesempatan, untuk memberikan keterangan lisan dan atau tertulis.
Mengajukan pertanyaan kepada ahli dan atau saksi. Mengajukan ahli ahli
dan atau saksi sepanjang berkaitan dengan hal hal, yang dinilai belum
mewakili dalam keterangan ahli dan atau saksi yang telah didengar
keterangannya dalam persidangan. Menyampaikan kesimpulan akhir secara
lisan dan atau tertulis.
5.Petunjuk
Petunjuk, sebagai alat
bukti yang dikenal dalam KUHAP, dalam perkembangannya, dimaknai sebagai
pengamatan hakim. Petunjuk hanya diperoleh dari keterangan saksi, surat
dan barang barang bukti bukti.Karenanya dalam praktek , bahwa
pengamatan hakim, tidak berbeda dengan petunjuk. Hanya berbeda dalam
lingkup, kesimpulan yang ditarik dari alat alat bukti kesaksian, surat
dan barang barang bukti. Pengamatan hakim, hanya dibatasi pada
pengamatan dalam persidangan dan tidak mencakup pada hal hal yang dapat
memberikan petunjuk di luar sidang, sehingga petunjuk dapat diperoleh
dari alat alat bukti lain, yang tidak dibahas dalam persidangan tetapi
disertakan dalam berkas perkara.
Menurut UU No. 8 Tahun 2011, Pasal
41, Menentukan bahwa pemeriksaan rangkaian data, keterangan, perbuatan,
keadaan dan atau peristiwa yang sesuai dengan alat bukti lain yang
dapat dijadikan petunjuk
6.Bukti Elektronik
Alat bukti lain,
berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau yang serupa
dengan itu. Beberapa informasi yang diucapkan, dilirimkan, diterima atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan
itu. Alat bukti yang bersifat elektronik ini sebenarnya, memang sesuatu
yang masih baru. Dalam praktek belum semua orang mengakuinya sebagi alat
bukti, masih banyak yang meragukannya, karenanya merupakan suatu
perkembangan baru. Akan tetapi setiap bukti elektronik, yang isisnya
sama saja dengan bukti surat atau dokumen yang berisi tulisan. Pada
praktek peradilan di Mahkamah Konstitusi pemeriksaan sidang dengan
menggunakan bukti elektronik dapat diterima sah dalam rangka pembuktian.
UU No 8 Tahun 2011, menentukan dalam pasal 41, bahwa pemeriksaan
alat bukti yang lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan,
diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang
serupa dengan alat bukti itu.
C. Beban Pembuktian Progresif
Adanya
aspek keyakinan hakim, yang timbul dari alat alat bukti, yang diajukan
para pihak yang berperkara, sebagai dasar untuk mengambil keputusana di
Mahkamah Konstitusi, sehingga dapat dikemukakan bahwa hukum acara
mahkamah konstitusi, untuk mencarai kebenaran materiil. Keyakian hakim
yang timbul dari alat bukti yang sah (beyond reasonable doubt) tentang
kesalahan seorang terdakwa, merupakan ciri utama sikap hakim dalam acara
pidana, standar pembuktian demikian justru diadopsi dalam undang undang
Mahkamah Konstitusi. Hal itu dapat dibandingkan dengan Undang Undang
No. 5 Tahun 1986, tentang peradilan tata usaha negara, menentukan, bahwa
apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian
pembuktian, dan untuk sahnya diperlukan sekurang kurangnya dua alat
bukti berdasarkan keyakinan hakim. Karenanya tujuan dari pembuktian
dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi, adalah untuk memberikepastian
akan kebenaran secara materiil, adanya fakta peristiwa dan hukum,
sebagaimana didalilkan pemohon, kebenaran materiil demikian, tidak dapat
dikatakan mutlak, karena sikap keyakinan hakim tetap saja subjektif.
Adapun hal hal yang tidak perlu dibuktikan dalam hukum acara peradilan
Mahkamah Konstitusi, yakni;
1. Notoire Fiet. Peristiwa hukum atau
keadaan yang telah diketahui secara umum, karena telah diketahui semua
orang, atau telah dianggap diketahui orang, yang tidak memerlukan bukti
lagi.
2. Hal hal yang sudah diketahui sndiri oleh hakim, baik karena
pengalaman maupun karena melihat sendiri di depan persidangan,
penbgetahuan berdasarkan pengalaman.
3. Adanya pengakuan yang tidak
disangkal oleh pihak lawan, atas dalil yang dikemukakan oleh salah satu
pihak, sehingga dipandang sebagai, sebagai hal tidak diperselisihkan.
1. Alat Bukti Utama.
Dari beberapa alat bukti yang dikenal dalam undang undang tentang
Mahkamah Konstitusi, maka yang paling sering, dipergunakan adalah.
Keteranga tertulis mapun lisan dari pihak DPR dan Pemerintah. Bukti
bukti surat atau tulisan yang diajkan oleh pemohon dan keterangan ahli
yang diajukan, baik oleh pemohon ataupun oleh pihak pemerintah dan DPR.
Hal ini disebabkan,bahwa ketentuan umum yang terdapat dalam dokumen
undang undang tersebar bebas dalam ruang publik. Semua orang dapat
memperoleh dan membacanya secara bebas yang harus diuji terhadap UUD
Tahun 1945, yang juga merupakan dokumen milik publik. Karena itu dokumen
yang diperlukan hanya tinggal keterangan keterangan yang terdapat dalam
dokumen dokumen yang merekam atau mendokumentasikan idea idea dalam
proses penyusunan, rumusan rumusan teks undang undang dan Undang Undang
Dasar itu sendiri, yang terdapat dalam dokumen dokumen yang dikuasai
oleh MPR, DPR dan pemerintah. Selebihnya bagi Mahkamah Konstitusi
adalah, keterangan para ahli, yang terkait dengan persoalan yang sedang
dipermasdalahkan.
Kadang kadang diantara para ahli itu
sendiri, terdapat ruang perbedaan pendapat yang tajam mengenai sesuatu
masalah. Karena itu, penting bagi Mahkamah Konstitusi untuk memberikan
kesempatan kepada pihak pihak, yang saling berbeda atau saling
bertentangan kepentingan, untuk sama sama menghadirkan ahli dari
perspektif yang berlainan. Bahkan mahkamah konstitusi bergerak sangat
maju, karena menerima informasi elektronik, dan yang tersimpan dalam
serat optik atau yang serupa dengan itu, sebagai alat bukti yang sah.
Dengan cara dan perolehannya secara sah.
2. Beban Pembuktian di MK
Dalam
Sistem peradilan di manapun, pada umumnya, dianut prinsif bahwa siapa
yang mendalilkan sesuatu, maka dialah yang harus membuktikan. Namun
dalam perkara perkara tertentu, seperti pada perkara lingkungan, berlaku
prinsif pembebanan terbalik atau yang biasanya disebut sebagai strict
liability. Persoalannya adalah, dalam perkara pengujian undang undang,
dipihak manakah beban pembuktian berada. Menjawab hal ini, maka perlu
diketahui teori teori yang biasa dikembangkan oleh para ahli mengenai
beban pembuktian. Yakni;
1. Teori Normatif.(Normatif theory).Siapa
yang dibebani tanggung jawab pembuktian pada pokoknya secara normatif,
dapat ditentukan tersendiri oleh undang undang. Jika undang undang sudah
menentukan pihak mana yang diberi beban pembuktian, maka pihak itulah
yang bertanggungjawab membuktikan.
2. Teori Affirmatif (Affirnative
theory).Beban pembuktian dipikulkan dipundak yang mendalilkan, yang
harus membuktikan bukanlah orang dituduh, dengan cara mengingkari
tuduhan, melainkan pihak yang menuduhlah yang harus membuktikan
tuduhannya. Artinya proses pembuktian yang dilakukan haruslah
mengafirmasikan kebenaran fakta atau data apa yang dipersangkakan atau
didalilkan. Sehingga sangat tidak adil menurut teori ini, untuk
membebankan kewajiban dipundak orang yang dituduh..
3. Teori
Kepatutan (Billijkheid).Menurut teori ini, bahwa yang seharusnya
dibebani kewajiban untuk membuktikan sesuatu dalil, bukanlah siapa yang
mendalilkan ataupun siapa yang dituduh, melainkan pihak mana yang lebih
kuat kedudukannya dalam pembuktian. Jika pihak yang lemah dibebani
kewajiban pembuktian, tentulah tidak adil, karena itu siapa yang kuat
dialah yang wajib membuktikan. Sebagai contoh adalah kasus pencemaran
lingkungan oleh suatu industri. Masyarakat yang mendalilkan adanya
pencemaran, melalui gugatan class action, maka pihak industrilah yang
membuktikan adanya pencemaran tersebut. Beban pembuktian yang berada
dipihak tertuduh pencemaran itulah, yang biasa dikenal dengan beban
pembuktian terbalik seuai dengan doktrin strict liability, atau tanggung
jawab mutlak pencemar.
4. Teori Presumtion of Liberty..Teori ini,
mendasarkan diri pada pra-anggapan, bahwa rakyat itu bebas sampai adanya
pembatasan oleh undang undang(presumtion liberty). Jika yang dianut
adalah prinsif siapa yang mendalilkan inkonstitusionalitas undang
undang, dialah yang harus membuktikan, berarti pra-anggapan yang dianut
adalah prinsif presumtion of constitutionality, bukan presumtion
liberty. Dengan mengandaikan, bahwa setiap undang undang semestinya
dapat dianggap sudah baik, dan konstitusional berdasarkan prinsif
presumtion of constutitionality, maka pembuktian dibebankan kepada yang
mendalilkan insncontationalitas. Namun jika yang dianut adalah prinsif
presumtion of liberty, berati rakyat dianggap sebagai manusia bebas,
sampai adanya undang undang yang membatasi kebebasan itu. Oleh karena
ityu beban pembuktian undang undang itu, harus diletakkan dipundak
negara, yang menetapkan undang undang itu mengikat untuk umum.
5.
Teori Hak (subjectieve rehtelijkeetheorie).Yakni siap yang mengemukakan
hak yang dibantah pihak lain, harus membuktikannya, termasuk ang
dibuktikan bukan hanya hak tetapi juga suatu keadaan.
6. Teori Hukum
Objectif(objectieve rechtelijkeetheorie). Pihak yang mendalilkan adanya
peraturan hukum materiil tertentu, harus membuktikan kaedah hukum
objektive yang dijadikan dasar tersebut. Bukan hanya harus dibuktikan
bahwa hukum objektive tertentu telah memberi hak dan kewenangan. Jikalau
undang undang tertentu yang dinyatakan berlaku menimbulkan kerugian
Pada haknya, harus dibuktikan juga kerugian yang ditimbulkan tersebut.
7.
Teori Pembebanan Berdasarkan Kaedah yang Bersangkutan (Pocess
rechtelijketheorie). Bahwa pihak yang dibebani untuk membuktikan, telah
ditentukan oleh kaedah hukum tertentu. Terkadangnorma hukum tertentu
hukum acara, ditentukan dalam pasal tertentu tentang siapa yang dibebani
pembuktian.
Sebelum mengadakan penilaian terhadap alat alat
bukti, yang diajukan oleh pihak pihak dalam persidangan, majelis hakim
harus terlebih dahulu, mencocokkan alat bukti, yang diajukan dengan alat
alat bukti yang diajukan, dengan alat alat bukti yang ada pada hakim.
Maksudnya agar kelak dikemudian hari, tidak timbul kesalahan dalam
menilai sesuatu bukti, yang diajkan oleh pemohon tetapi tidak terdapat
dalam berkas perkara hakim, atau sebaliknya terdapat dalam berkas para
hakim, padahal tidak diajukan atau sudah ditarik kembali oleh
pemohon.Tentang sah atau tidaknya alat alat bukti yang diajukan, akan
dinilai oleh majelis hakim dalam suatu rapat tertutup, dalam suatu
permusyawaratan yang bersifat rahasia.
D. Keyakinan Hakim
Dalam Putusan MK
Putusan
dalam peradilan, merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat berwenang
yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat secara
tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan para pihak kepadanya.
Sebagai perbuatan hukum yang akan menyelesaikan sengketa yang
dihadapkan kepadanya, maka putusan hakim itu, merupakan tindakan negara
dimana kewenangannya dilimpahkan kepada hakim baik berdasarkan UUD 1945
maupun undang undang.
Mahkamah konstitusi, dalam perkembangan
putusan putusannya, mencerminkan suatu kewenangan untuk mengawal
konstitusi, mengawal demokrasi, serta pelindung hak konstitusional warga
negara dan pelindung HAM. Dalam pelaksanaanya, maka praktik peradilan
Mahkamah Konstitusi, berpegang pada hukum acaranya, yang ditentukan
menurut Pasal 86 UU No. 24 Tahun 2003, untuk kelancarannya, MK
membentuk peraturan MK (PMK). Yang hingga kini, terdiri dari;
1. PMK RI No. 01/PMK/2003 Tentang Tata Cara Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkah Konstitusi.
2. PMK RI No. 02/PMK/2003 Tentang Kode Etk dan Pedoman Tingkah Laku.
3. PMK RI No. 03/PMK/2004 Tentang Tata Tertib Persidangan Dalam Pada Mahkamah Konstitusi.
4. PMK RI No. 04/PMK/2004 Tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilu.
5. PMK RI No. 05/PMK/2005 Tentang Prosudur Pengajuan Keberatan Atas Penetapan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2004.
6. PMK RI No. 06/PMK/2005 Tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang Undang.
7. PMK RI No. 07/PMK/2005 Tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.
8. PMK RI No. 08/PMK/2006 Tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara.
9. PMK RI No. 09/PMK/2006 Tentang Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.
10. PMK RI No. 10/PMK/2006 Tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
11. PMK RI No. 11/PMK/2006 Tentang Pedoman Administrasi Yustisial Mahkamah Konstitusi.
12. PMK RI No. 12/PMK/2008 Tentang Prosudur Beracara Partai Politik.
13. PMK RI No. 13/PMK/2008 Tentang Pedoman Penulisan Putusan Putusan Mahkamah Konstitusi.
14. PMK RI No. 14/PMK/2008 Tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggouta DPR, DPD dan DPRD.
15. PMK RI No. 15/PMK/2008 Tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah.
16. PMK RI No. 16/PMK/2009 Tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggouta DPR,DPD dan DPRD
17. PMK RI No. 17/PMK/2009 Tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
18.
PMK RI No. 18/PMK/2009 Tentang Pedoman Pengajuan Permohonan Elektronik
(Electronic Filling) dan Pemeriksaan Persidangan Jarak Jauh (Video
Confrence)
19. PMK RI No. 19/PMK/2009 Tentang Pedoman Tata Tertib Persidangan.
20. PMK RI No. 20/PMK/2009 Tentang Pedoman Penulisan Putusan.
Putusan
di Mahkamah Konstitusi, mengenal adanya bentuk produk hukum, yakni
putusan, peraturan, ketetapan dibidang administrasi umum. Semuanya
dijalankan dengan suatu prosudur yang tepat, dilaksanakan dengan cara
yang tepat, dan diadministrasikan dengan cara yang tepat. Semua produk
hukum, dapat diakses oleh semua pencari keadilan, dan dapat membantu
upaya bangsa, untuk membangun keadilan yang lebih merata disetiap relung
relung kemanusiaan.
1. Bentuk Putusan.
Bentuk putusan ,
merupakan produk hukum utama, yang harus diproduksi oleh Mahkamah
Konstitusi, sebagai lembaga peradilan konstitusi.Pada putusan, memuat
tujuh unsur, yakni;
1. Kepala putusan berbunyi”DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA.:
2. Indentitas pihak;
3. Ringkasan permohonan.
4. Pertimbangan terhadap fakta;yang terungkap dalam persidangan;
5. Pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan;
6. Amar putusan;
7. Hari, tanggal, putusan, nama hakim konstitusi dan panitera.
Putusan
hakim selalu dengan irah irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa, selanjutnya pada bagian awal, harus diuraikan tentang
identitas para pihak yang mengajukan permohonan, selanjutnya tentang
duduk perkaranya, dengan memuat ringkasan yang jelas dalam rangka
pengujian undang undang, memuat tentang uraian rinci pertimbangan
pertimbangan mengenai fakta fakta, yang terungkap dalam persidangan, dan
pertimbangan hukum, yang dijadikan dasar untuk mengambil putusan yang
bersifat final dan mengikat.
Permohonan diajukan secara tertulis
dalam bahasa Indonesia oleh Pemohon dan kuasanya, dalam dua belas
rangkap, dengan memuat, indentitas pemohon, yang meliputi nama, tempat
tangal lahir/umur, agama, pekerjaan, kewarganegaraan, alamat lengkap,
no. Telp/faksimel/email.Uraian hal yang menjadi dasar permohonan, yang
meliputi kewenangan Mahkamah Konstitusi, kedudukan hukum pemohon,
pengujian undang undang yang bersangkutan.Uraian mengenai hal hal yang
dimohonkan oleh pemohon, untuk diputus dalam permohonan pengujian undang
undang secara formal, atau. Uraian mengenai hal hal yang dimohonkan
dalam permohonan pengujian undang undang secara materiil, dan Tanda
tangan pemohon dan kuasanya.
Pada bagian awal putusan, selalu
diuraikan dengan jelas mengenai indentitas para pihak yang mengajukan
permohonan. Sebanyak apapun jumlah pemohon, harus dimuat dengan jelas
dalam permohonan mengenai indentitas mereka. Indentitas, seluruhnya
berkaitan dengan dengan pokojk perkara, masing masingnya diterangkan
dalam bukti surat yang mendukung., yakni photo copy kartu tanda
penduduk, dukumen tanda daftar resmi sebagai badan hukum, untuk
organisasi yang berstatus badan hukum. Selanjutnya tentang duduk
perkaranya, yang memuat tentang ringkasan secara jelas, tentang
persoalan yang dipermasalahkan dalam rangka pengujian undang undang,
serta menentukan bagian mana yang menentukan dari undang undang, yang
dinilai bertentangan dengan norma hukum dari UUD Tahun 1945, serta
kerugian yanmg dideritanya. Setelah itu diuraikan dengan rinci
pertimbangan pertimbangan mengenai fakta fakta, yang terungkap dalam
persidangan, serta pertimbangan pertimbangan hukum yang menjadi dasar
untuk mengambil putusan yang bersifat pinal dan mengikat dalam perkara
pengujian undang undang bersangkutan. Pertimbangan hukum itulah, yang
menghantarkan pada kesimpulan amar putusan yang ditulis pada bagian yang
tersendiri. Setelah itu, pada bagian terakhir atau penutup putusan
dimuast mengenai hari, tanggal putusan, nama hakim dan panitera.
2. Pendapat Berbeda
Dalam
putusan peradilan Mahkamah Konstitusi, harus dimuat tentang pendapat
hakim yang berbeda, tentang putusan yang bersangkutan. Hal ini
ditentukan secara tegas dalam pasal 45 (10) UU No. 24 Tahun 2003.
Dimaksudkan dengan pendapat hakim yang berbeda itu, adalah pendapat
hakim yang tidak mengikuti kesepakatan mayoritas hakim, yang menyusun
keseluruhan isi putusan itu. Sebagaimana ditentukan menurut pasal 48(7)
UU No. 24 Tahun 2003. Maknanya dari sembilan orang hakim konstitusi,
atau sekurang kurangnya 7 orang hakim konstitusi dapat terjadi silang
pendapat, yang tidak dapat dipertemukan sama sekali. Meskipun sudah
diusahakan semaksimal mungkin, perbedaan pendapat diantara para hakim,
itu tidak juga dapat dipertemukan, maka putusan daqpat diambil dengan
suara terbanyak. Pendapat hakim yang berbeda mencerminkan pendapat yang
hidup yang juga berkembang ditengah tengah masyarakat, karenanya
pendapat tersebut harus dihormati, dan bahkan diberi kesempatan, untuk
dibuka, sehingga masyarakat mengetahuinya secara transparan.
3. Dissenting, Cuncurrent, dan Conceinting Opinion
Pendapat
hakim yang berbeda dari pendapat mayoritas, yang menentukan putusan
dapat dibagi menjadi dua macam, yakni Pertama. Dissenting Opinion, yakni
suatu pendapat yang berbeda secara substantif, sehingga menghasilkan
amar yang berbeda. Kedua. Adalah Concurrent Opinion atau Consenting
opinion, yakni suatu pendapat yang pada kesimpulan akhirnya sama, tetapi
argumen yang diajukan berbeda. Karenanya dalam praktek sulit dibedakan
pengertian pengertian tersebut, tetapi, pendapat pendapat yang diajukan
itu, sama sekali berbeda argumennya, dan berbeda kesimpulannya terhadap
pendapat mayoritas hakim yang menjadi putusan final dan mengikat.
4. Penuangan Dalam Putusan
Penuangan
pendapat berbeda, bersifat fakultatif, optional, tidak bersifat
imperatif, sebagaimana ditentukan menurut pasal 45(10) UU No. 24 Tahun
2003. Pencantuman pendapat berbeda, selalu harus dimuat dalam putusan,
akan tetapi dalam praktik, keharusan pencantuman itu tidaklah realistis.
Lazimnya proses pembahasan suatu permohonan pengujian undang undang,
diperlukan tahapan tahapan yang cukup panjang. Di dalamnya terdapat
proses take and give, diantara pandangan pandangan yang saling berbeda
diantara para hakim, yakni melalui tahap penyusunan pendapat hukum
individual hakim yang bersifat resmi dan tertulis, sebagaimana
ditentukan menurut pasal 45 (5) UU No. 24 Tahun 2003.
Akibat hukum
putusan Mahkamah Konstitusi sebagai negatif legislator, dapat saja
mengabulkan permohonan pemohon atau menolaknya, akan tetapi, dapat saja
suatu permohonan dinyatakan tidak dapat diterima, karena tidak memenuhi
syarat formal yang diharuskan. Putusan Mahkamah Konstitusi meniadakan
satu keadaan hukum atau menciptakan hak atau kewenangan tertentu. Akibat
hukum yang timbul dari satu putusan hakim, jika menyangkut pengujian
terhadap undang undang diatur dalam pasal 58 Undang Undang Mahkamah
Konstitusi.
Sehingga putusan tersebut tidak berlaku surut, dan kekuatan mengikatnya adalah sejak diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
BAB
KETUJUH
EPILOG
EPILOG.
Beban
pembuktian dalam praktik berbagai pengadilan, hanya terjadi, bilamana
suatu keadaan yang berbenturan kepentingan para pihak, baik dengan
kepentingan publik maupun kepentingan privat, yang ditenggarai telah
mengganggu kepentingan hak hak, serta dilanggarnya hak konstitusi
perorangan, maupun kelompok warga negara. Maka pengadilan akan melihat,
mendengar, dan menilai tentang argumentasi yuridis, melalui serangkaian
pembuktian dengan berbagai cara cara yang logis, dan penuh keyakinan,
agar hakim yang memutuskan perkara yang diajukan menjadi yakin atas
beban pembuktian yang ditunjukkannya.
Kekhasan dari peradilan pidana,
perdata, tata usaha negara, peradilan tata negara, maupun hukum islam,
sebahagian besar mempunyai kemirifan, dalam pembebanan pembuktian,
walaupun terdapat berbagai perbedaan yang hakiki. Tetapi seluruhnya,
mempersilahkan kepada hakim, untuk menentukan, memberikan keyakinannya
dalam memutus sengketa, yang ditanganinya. Karena itu suatu keputusan
hakim adalah keadaan yang mengakhiri segala sengketa secara yuridis.
Tentang
beban pembuktian dalam perkara praktik peradilan pidana, perdata, tata
usaha negara maupun peradilan Mahkamah Konstitusi, semuanya memerlukan
pembuktian, dengan beban pembuktian yang dianut dengan ciri cirinya
masing masing.Beban pembuktian dalam hukum acara perdata, dikenal
beberapa alat alat pembuktian sebagaimana ditentukan pada pasal 1865 KUH
Perdata, beban pembuktian diatur dalam pasal 1244, 1365, 1394, 1769,
1977(1), 252, 489, 533, 535, 468(1), KUH Perdata. Sedangkan pembuktian
dalam Peradilan Tata Usaha Negara meliputi; Surat atau tulisan;
keterangan ahli; keterangan saksi; pengakuan para pihak, dan pengetahuan
hakim. Sebagaimana ditentukan dalam pasal 100 hingga 107 Undang-undang
No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Fungsi peradilan
tata negara, adalah sebagai kontrol yuridis, terhadap administrasi
lembaga baik struktural maupun non struktural, sedangkan kontrol non
yuridis meliputi,proses pembuatan perundang undangan, keputusan, baik
sebelum maupun setelah dibuatnya keputusan. Pada Mahkamah Konstitusi
ragam alat bukti diatur dalam pasal 36 (1) UU No. 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstitusi. Sebagai alat bukti yang syah, dijadikan sebagai
bahan pertimbangan oleh hakim konstitusi dalam memeriksa dan memutuskan
setiap perkara konstitusi yang dimohonkan kepadanya. Alat bukti itu
meliputi; suarat atau tulisan, keterangan saksi, keterangan ahli,
keterangan para pihak, petunjuk, alat bukti lain berupa informasi yang
diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan
alat optik atau yang serupa dengan itu.
Dalam suatu masyarakat yang
teratur, dimana masyarakat sudah memiliki sesuatu cara untuk
mempertahankan hukumnya. Penguasa mewujudkan badan-badan yang diberikan
tugas untuk mempertahankan hukum. inilah yang disebut kekuasaan
kehakiman.
Ajaran Trias Politika dari Montesquieu, didahului oleh
perbedaan-perbedaan yang lain. Perbedaan dalam kekuasaan-kekuasaan
pembuatan undang-undang, pengadilan, dan eksekutif yang sampai sekarang
lebih dari dua abad, ajarannya masih memadai buat, dan sudah menjadi
milik umum. Tetapi belum merupakan titik terakhir. Pada suatu waktu,
bersamaan dengan pertumbuhan terus-menerus dalam hubungan-hubungan
masyarakat, menjelma pula pembagian yang lain, yang akan menggantikan
ajaran Montesquieu. Permulaan perubahan itu sudah dapat dilihat dari
sekarang.
Hukum pembuktian dengan menentukan bebannya, menjadi suatu
perhatian yang utama, dalam praktik berbagai peradilan. Penerapan beban
pembuktian, yang ditentukan dalam perundang undangan secara ketat,
dimaksudkan, agar terhindar dari kesewenang wenangan, dari perilaku
penguasa, maupun hakim dalam penerapannya. Karena itu, dalam pencarian
keadilan dan kepastian hukum, dalam falsafahnya, berkeinginan untuk
mengedapankan keadilan, diatas kepastian hukum, sehingga tercapai tujuan
yang lebih jauh dari setiap sistem peradilan, yakni, mendekatkan
keadilan yang sesungguhnya, yang tercermin dalam putusan putusan
peradilan. Karena itu rezim hakim dalam menutuskan suatu perkara, yang
dipikulnya, adalah tercapainya tujuan terjauh dari hukum, yakni
keadilan. Karena capaian keadilan, terus diperjuangkan oleh masyarakat,
hingga tingkat yang tertinggi, yakni kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Keadilan adalah sesduatu yang abstrak, tetapi dapat dirasakan dan bahkan
diperjuangkan secara konkrit.
Praktek peradilan pidana korupsi,
dalam era sekarang ini, terus menuai permasalahan, karena para penegak
hukum, masih bekerja, dengan kerangka tebang pilih, dengan menafsirkan
pembuktian secara subjektif. Padahal kunci pokok yang paling utama dalam
penegakkan tindak pidana korupsi, adalah, suatu komitmen dari penegak
hukum, untuk bekerja secara profesional, memberikan penelusuran alat
alat bukti, dengan cerdas. Sehingga pengungkapan alat alat bukti, sangat
mudah untuk ditelusuri, karena peraturan perundang undangan yang
terkait, sudah cukup memadai, karenanya komitmen penegakkan hukum oleh
aparatur, harus dalam semangat moral yang tinggi dan harus jauh dari
dimensi dan pernik pernik politis.Penegakkan hukum, dengan fokus pada
penggunaan beban pembuktian, masih menjadi alat rekayasa, dengan
pertautan pada kepentingan dan tekanan politis.Tekanan politis, adalah
suatu benturan dari suaru konspigurasi kekuatan politik, dengan pengaruh
pengaruh dan tekanan kekuatan politik, untuk mencapai tujuannya.
Kebebasan
aparatur penegak hukum dari intervensi kekuasaan apapun dalam artian
yang luas, masih menyisahkan, persoalan yang belum terpecahkan. Padahal
peraturan perundang undangan telah cukup ketat dan sangat limitatif,
menentukan jalan dan proses pembuktian, guna pencapaian tujuannya, untuk
membantu sistem peradilan pidana, guna menentukan pelaku kejahatan,
yang selalu juga berkembang seirama dengan perkembangan dan kemajuan
ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Hukum Pembuktian sangat relevan, untuk
dikaji dan didalami, sehingga tidak hanya pengetahuan tehnis yang
meningkat, tetapi makna filosofis, pemanfaatan beban pembuktian dalam
praktik peradilan, dipahami, dengan memeperhatikan segi segi
kemanusiaan, dan perlindungan terhadap hak hak asasi manusia. Dalam
beban pembuktian, semua pihak di pengadilan memerlukan pembuktian
sebagai suatu argumentasi logis dan rasional, untuk membuktikan bersalah
atau tidaknya seorang tersangka, oleh hakim.
Prinsif
prinsif pembagian beban pembuktian dalam praktik peradilan perdata,
harus dibuktikan adalah hal yang positif, maknanya di dalamnya terdapat
fakta atau terkandung suatu peristiwa hukum. Hal yang negatif tidak
perlu dibuktikan, karenanya sesuatu yang tidak patut membebani bukti
kepada tergugat mengenai hal negatif, karena tidak mungkin dapat
dibuktikan hal yang tidak diketahuinya atau yang diperbuatnya.
Pembebanan secara profesional, bahwa masing masing pihak dibebani wajib
bukti untuk membuktikan dalil gugatan dan dalil bantahan. Tetapi pihak
penggugat dibebani wajib bukti, bilamana tidak dapat membuktikan dalil
gugatannya, maka cukup beralasan untuk membebaskan tergugat untuk
membuktikan dalil bantahannya. Siapa yang menguasai suatu hak atas
barang tidak dibebani wajib bukti. Hal ini didasarkan pada asas
kepatutan. Dianggap tidak patut membebani pembuktian kepada seseorang
untuk membuktikan barang yang dikuasainya, karenanya siapa yang
menguasai atau memiliki hak atas suatu barang, tidak perlu
membuktikannya.
Daftar Pustaka
Aziz Syamsuddin. Tindak Pidana Khusus.(Jakarta; Sinar Grafika, 2011) hlm 168-169
A.
Pillo. Pembuktian dan Daluarsa Menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata Belanda. Alih bahasa M.Isa Arief. (Jakarta; Intermasa, 1978)
Akhmad Ali.Menguak Realitas Hukum Rampai Kolom dan Artikel Pilihan Dalam Bidang Hukum. (Jakarta; Prenada Media Grouf, 2008)
Akhmad
Sumargono. Reformasi Birokrasi Menuju Pemerintahan Yang Bersih Telaah
Kritis Terhadap Perjalanan Birokrasi Di Indonesia.(Jakarta; Pusat Kajian
Strategi Politik dan Pemerintahan PKSPP, 2009) hlm 14-15.
Akhmad M.
Ramli. Perkembangan Hukum dan Penegakan Hak Asasi Manusia., Dalam
Tinjauan Kritis atas Perkembangan Hukum Seiring Perkembangan Masyarakat
Indonesia Kapita Selekta Hukum. Tim Penulis Pakar Hukum Universitas
Padjadjaran (Bandung Widya Padjadjaran, 2009)
Anthon F.Susanto.Wajah
Peradilan Kita. Konstruksi Sosial Tentang Penyimpangan, Mekanisme
Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana,(Bandung;PT.Rafika Aditama,
2004)
Ahmad Rifai. PenemuanHukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif.(Jakarta; Sinar Grafika, 2010)
Abdul
Manan. Reformasi Hukum Islam di Indonesia. Tinjauan Aspek Metodelogis,
Legalisasi dan Yurisprudensi (Jakarta; PT. RajaGrafindo, 2007)
--------------------.
Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu Kajian Dalam Sistem
Pradilan Islam( Jakarta; Prenada Media Grouf, 2007)
Abdul Halim
Berkatullah dan Teguh Prasetyo.Hukum Islam Menjawab Tantangan Zaman Yang
Terus Berkembang.(Yogyakarta; Pustaka Pelajar; 2006)
Anshoruddin. Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif ( Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2004)
A.Rachmat
Rosyadi dan H.M.Rais Ahmad Formalisasi Syariat Islam Dalam Perspektif
Tata Hukum Indonsia (Bogor; Ghalia Indonesia, 2006)
Ade Maman Suherman.
Azam
Mohd Shariff. Prosudur Pendakwaan Jenayah Syariah;Analisis Keats
Peruntukan Undang Undanhg di Bawah Akta Prosudur Jenayah Syariah
(wilayah wilayah Persekutuan) 1997dan akta keterangan mahkamah
syariah.Dalam Jurnal Undang Undang dan Masyarakat.(Bangi,
Selangor,D.E.Malaysia, 2011)
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana (Bandung: PT. Citra Adytia Bakti,2003)
Bernard L. Tanya. Hukum Dalam Ruang Sosial.(Yogyakarta; Genta Publishing, 2010)
Baqir Manan dan Kuntara Maqnar. Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia.(Bandung; Alumni, 1997)
Bambang Sugeng dan Sujayadi.Hukum Acara Perdata dan Dokumen Litigasi Perkara Perdata.(Jakarta;Prenada Media Grouf, 2011).
Edmon Makarim. Pengantar Hukum Telematika Suatu Kjompilasi Kajian.(Jakarta; PT. RajaGrafindo, 2005)
P.A.F.
lamintang dan Theo Lamintang. Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengtahuan
Hukum Pidana dan Yurisprdensi.(Jakarta; Sinar Grafika, 2010)
Jan
Remmelink, Hukum Pidana Komentar Atas Pasal Pasal Terrpenting Dari KUH
Pidana Belanda, dan Pasdanannya Dalam KUH Pidana Indonesia.(Jakarta;
PT.Gramedia Pustaka Utama, 2003)
R. Subekti. Hukum Pembuktian.(Jakarta; Pradnya Paramita, 2008)
Mokhammad
Najih. Politik Hukum Pidana Pasca Reformasi Implementasi Hukum Pidana
Sebagai Instrumen Dalam Mewujudkan Tujuan Negara.( Malang; IN-Trans
publishing, 2008)
Oemar Seno Adji. KUHAP Sekarang.(Jakarta; Erlangga, 1985)
Otje
Salman dan Anthon F.Susanto. Tinjauan Filsafat Hukum Tentang Penegakkan
Hukum Di Indonesia.Dalam Kapita Selekta Hukum Tim Penulis Pakar Hukum
Universitas Padjadjaran.(Bandung;Widya Padjadjaran, 2009)
OC.Kaligis. Pendapat Ahli Dalam Perkara Pidana.(Bandung; Alumni, 2008)
----------------. Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka Terdakwa dan Terpidana.(Bandung; Alumni, 2006)
M. Yahya Harahap.Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan.(Jakarta; Sinar Grafika, 2000)
-----------------------------Hukum
Acara Perdata Tentang Gugatan Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan
Putusan Pengadilan.(Jakarta; Sinar Grafika, 2009)
H.M.A.Kuffal. Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum.(Malang; Universitas Muhammadiyah Malang, 2004)
Soedirjo. Jaksa Dan Hakim Dalam Proses Pidana.(Jakarta; CV.Akademika Pressindo, 1985)
Sudikno Mertokusumo. Hukum Acara Perdata Indonesia.(Yogyakarta; Liberty, 1998)
Karen Lebacqz. Teori Teori Keadilan. Diterjemahkan oleh Yudi Santoso. (Bandung; Nusa Media, 1986)
Loebby Loqman, Perkembangan Azas Legalitas dalam Hukum Pidana Indonesia, (Semarang: Makalah, 2004)
Lintong
O.Siahan. Teori Hukum dan Wajah PTUN Setelah Amandemen 2004 (UU No.
5/1986 jo.UU NO. 6 Tahun 2004) (Jakarta; Percetakan Negara, 2009)
Lilik Mulyadi. Pebalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi.(Bandung; Alumni, 2007)
---------------------.
Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana Teori, Praktik, Teknik
Penyusunan dan Permasalahannya.(Bandung; PT.Citra Adytia Bakti; 2007)
hlm 119.
Rusli Muhammad. Hukum Acara Pidana Kontemporer. (Yogyakarta; FH-UII Press, 2009)
Romli
Atmasasmita. Perampasan Aset Melalui Pembuktian Terbalik Studi
Perbandingan Hukum Pidana.(Jakarta; Mabes Polri, Fokus Grouf Discusson,
10 Maret 2011)
------------------------------. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer.(Jakarta; Prenada Media Grouf, 2010)
Rofinus
Hotmaulana. Perlindunan Terhadap Hak Hak Tersangka/Terdakwa Atas
Penerapan Beban Pembuktian Terbalik.(Jakarta; Mabes Polri, Fokus Grouf
Discusson, 10 Maret 2011)
Rozali Abdullah.Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.(Jakarta; PT.Rajagrafindo Persada,2002)
Retnowulan Sutanto dan Iskandar Oeripkartawinata.Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek.(Bandung; Mandar Maju, 1989)
R.Soeroso. Yurisprudensi Hukum Acara Perdata Bagian 4 Tentang Pembuktian.(Jakarta; Sinar Grafika, 2010)
Syaiful
Bakhri. Hukum Pembuktian Dalam Praktik Peradilan Pidana.(Yogyakarta;
Total Media, bekerjasama dengan P3IH Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Jakarta, 2009)
-----------------------. Sejarah
Pembaruan KUHP& KUHAP. (Yogyakarta; Total Media, bekerjasama dengan
P3IH Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, 2011)
Syarif dan Achmad Rizky Pratama. Mengungkap Wajah Peradilan Tata Negara Indonesia.(Yogyakarta; Genta Press, 2008)
S.F.Marbun. Peradilan Administrasi Negara di Indonesia.(Yogyakarta; FH-UII Press,2011)
Subekti.Hukum Acara Perdata.(Bandung; Binacipta, 1982),
Suparman Mardjuki. Tragedi Politik Hukum dan HAM.(Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2011) .
Syamsuddin
Suhor. Jenayah Undang Undang Mengimbas Perkembangan. Dalam Undang
Undang Malaysia 50 Tahun Merentasi Zaman. (Fakulti Undang Undang;
Universiti Kebangsaan Malaysia; Bangi Selangor, 2007)
Indriyanto Seno Adji. KUHAP Dalam Prospektif. (Jakarta; Diadet Media, 2011)
Philipus.M.Hadjon,dkk. Pengantar Hukum Adiminstrasi Indonesia. (Yogyakarta; Gadjah Mada University Press, 2005)
Teguh Samudera. Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata.(Bandung; Alumni, 1992)
Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I,(Jakarta; Penerbit Universitas Indonesia 1958)
-------------------------. Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata.(Bandung; Alumni, 1992)
Martiman
Prodjohamidjojo. Hukum Pembuktian Dalam Sengketa Tata Usaha Negara (UU
No. 5 Tahun 1986, LN,No.77. (Jakarta;Pradnya Paramita, 1997)
---------------------------. Pembahasan Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek. (Jakarta, Pradnya Paramita, 1989)
Maruarar Siahaan. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.(Jakarta; Sinar Grafika, 2011)
Makhrus Munajat. Hukum Pidana Islam di Indonesia.(Yogyakarta; Teras, 2009)
Jimly Asshiddigie. Hukum Acara Pengujian Undang Undang.(Jakarta; Konstitusi Press, 2006)
Wirjono Projodikoro. Hukum Acara Perdata Di Indonesia (Bandung; Sumur Bandung, 1992)
W.Riawan
Tjandra.Peradilan Tata Usaha Negara Mendorong Terujudnya Pemerintahan
Yang Bersih dan Berwibawa.(Yogyakarta; Universitas Atmajaya,, 2009)
Zairin Harahap.Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.(Jakarta; PT.RajaGrafindo Persada, 1997)
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.Enam Tahun Mengawal Konstitusi dan Demokrasi.(Jakarta; Sekjen dan Kepaniteraan MK, 2008)
Zainuddin Ali. Hukum Pidana Islam. (Jakarta; Sinar Grafika, 2007)