efendisimbolon.blogspot.com

Jumat, 06 Februari 2015

"MENUJU PENGADILAN YANG TIDAK MENGADILI"

Hakim adalah pilar utama yang dimana peranannya sangat vital dalam sebuah negara hukum. Hakim tidak saja dituntut untuk dapat memutuskan seadil-adilnya, lebih dari itu hakim juga wajib menjunjug tinggi wibawa Pengadilan yang selalu tidak lepas dari penilaian masyarakat.
Melaksanakan suatu tugas yang mulia tersebut tentu hakim tidak sendirinya dapat lahir menjadi yang jujur atau baik, melainkan ia dibentuk dalam suatu proses, pendapat inilah yang dikemukakan oleh seorang Menteri Kehakiman Belanda “Odette Buitendam” (Good judges are not born but made). Untuk membentuk hakim tersebut menjadi berkualitas,profesionalitas, dan berintegritas “Odette Buitendam” mengatakan bahwa ada 2 (dua) cara yaitu, proses rekrutmen atau seleksi hakim dan pendidikan yang diberikan kepada hakim. Dengan cara ini paling tidak dapat membentuk hakim yang jujur dan baik.
Proses rekrutmen hakim menjadi hal yang utama, dari proses rekrutmen inilah langkah awal untuk menentukan bahwa apakah seseorang tersebut layak menjadi seorang hakim. Dengan proses rekrutmen yang transparansi, akuntabilitas, dan melibatkan partisipasi masyarakat, tentu membawa harapan baru bahwa hakim dapat terbentuk menjadi hakim yang berkualitas, profesional, dan berintegritas.
Ketika sudah terbentuk hakim yang disebutkan diatas yang menjadi tinjaun selanjutnya sejauh mana Kualitas, profesionalitas dan integritas tersebut dapat bertahan, ini menjadi pertanyaan yang dilematis untuk dibahas. Tentu tidak dapatlah dilepaskan dari berbagai macam faktor yang melatarbelakanginya, mungkin karena kesejahteraan hakim yang tidak tercukupi, suasana politik yang sangat kental sehingga dapat mempengaruhi, atau opini masyarakat yang dipublikasikan yang dapat mengoncang hati nurani hakim, dan masih banyak lagi faktor yang dapat membuat hakim tidak dapat mempertahankan Kualitas, profesionalitas, dan integritasnya.
Usaha selanjutnya ialah menuju kepada pemberian pendidikan kepada hakim. Dengan pendidikan hakim ini diharapkan hakim dapat mengikuti perkembangan masyarakat di tengah-tengah masalah yang dihadapinya. Pendidikan hakim tentu tidak dapat dilepaskan dari tubuh pengadilan itu sendiri, dukungan, maupun motivasi untuk menuju perubahan kearah yang lebih baik.

1.      Tubuh Pengadilan
Membahas sistem hukum apakah yang dipakai dewasa ini terlalu sia-sia untuk dibahas. Indonesia yang nota bene nya, memakai sistem eropa continental ( daratan eropa ) rasanya sudah tidak dapat dikatakan murni lagi. Legalitas dan kodifikasi yang seakan-akan membatasi ruang gerak hakim sudah mengalami pergeseran yang sangat luas,  terlebih lagi sudah dapat dikatakan mengarah kepada sistem Anglo saxon ( aglo america ) yang indentik dengan Judge Made Law. Maka dari itu kembali kepada tubuh pengadilan itu sendiri, karena hakim memegang kekuasaan yang mutlak dalam persidangan, yang dimana sistem hukum apakah yang dipergunakan mengikuti suasana hati nurani dan kebenaran,
 Pengadilan mempunyai tubuh layaknya seperti tubuh manusia. Apabila salah satu dari organ tubuh tersebut tidak berfungi tentu akan menganggu  fungsi organ yang lainnya. Pengadilan yang didalam tubuhnya terdiri dari Kehakiman dan Kepaniteraan harus dapat bekerjasama dan menjaga indepedensinya masing-masing. Sudah selayaknya bahwa budaya malu harus diselenggarakan, malu terhadap mempermainkan setiap perkara yang ada, malu untuk tidak disiplin , malu untuk menyuap dan disuap, dan sebagainya.
Didalam tubuh pengadilan dewasa ini, sudah menjadi sorotan publik. Terlintas terdengar suara bisik-bisik yang mengatakan bahwa hakim tersebut tidak independen lagi, ini didasarkan kepada fakta yang dimana seharusnya berdasarkan kepada asas bahwa hakim tidak boleh menanyakan kepada terdakwa seolah-olah ialah pelaku yang sudah bersalah, menjadi terdakwa sudah pasti bersalah dan pantas untuk dihukum. Selanjutnya Panitera yang tugasnya seharusnya mengikuti persidangan dan mencatat semua apa yang terjadi didalam persidangan, duduk manis mengikuti persidangan dan diselingi rasa kantuk yang berat. Juru sumpah yang seharusnya dipersiapkan, dapat memakai jasa panitera untuk menyumpah saksi-saksi. Inilah salah satu preseden yang buruk yang dipertontonkan kepada masyarakat, maka dari itu sudah selayaknyalah tertanam stigma bahwa aura persidangan tersebut menjadi sudah tidak berwibawa lagi.

2.      Putusan  Hakim
Putusan hakim menjadi sorotan publik dewasa ini, hakim seakan-akan sudah tahu siapa yang bersalah dan pantas dihukum. Memang tidak dapat dipungkiri, kebenaran tersebut kembali kepada hati nurani hakim. Akan tetapi tidaklah rasional hakim memutuskan lebih mahal harganya dari pada perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa. Sebagai ilustrasi sederhana, terdapat suatu perkara yang seakan-akan antara menentukan kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilannya pun sulit diidentifikasi. Dari tingkat kepolisian, rasanya diskresi tersebut hanya berlaku kepada kalangan menengah keatas, dari tingkat penuntutan, Jaksa yang mempunyai hak diponering berat untuk menggunkan untuk kalangan menengah kebawah, ditingkat pengadilan Hakim merasa malu untuk memutus bebas perkara yang kecil.
Putusan yang dijatuhkan hakim, bukanlah seperti permainan bola kaki , tim mana yang lebih kuat sudah dapat ditentukan dialah pemenangnya. Putusan hakim bukanlah seperti memancing ikan, apabila pelampung ditarik kebawah tidak dapat dipastikan ikan apa yang didapat, apakah kecil atau besar. Ini menjadi Dilematis terhadap putusan hakim tersebut yang selalu dibenturkan kepada kesejahteraan hakim, padahal Profesi hakim tersebut bukanlah profesi yang sembarangan melainkan profesi yang mulia dan Pengabdianlah yang menjadi acuannya.
Pembaruhan kualitas putusan hakim sudah saatnya dimulai, dan memutuskan tali temali kualitas putusan yang buruk tersebut. karena kunci dari suatu proses persidangan ialah putusan hakim tersebut, yang apabila salah menerapkan akan membawa malapetaka kepada rasa keadilan itu.


                                                                        Efendi Simbolon