Hakim adalah pilar
utama yang dimana peranannya sangat vital dalam sebuah negara hukum. Hakim
tidak saja dituntut untuk dapat memutuskan seadil-adilnya, lebih dari itu hakim
juga wajib menjunjug tinggi wibawa Pengadilan yang selalu tidak lepas dari
penilaian masyarakat.
Melaksanakan
suatu tugas yang mulia tersebut tentu hakim tidak sendirinya dapat lahir
menjadi yang jujur atau baik, melainkan ia dibentuk dalam suatu proses,
pendapat inilah yang dikemukakan oleh seorang Menteri Kehakiman Belanda “Odette Buitendam” (Good judges are not born but made).
Untuk membentuk hakim tersebut menjadi berkualitas,profesionalitas, dan
berintegritas “Odette Buitendam” mengatakan bahwa ada 2 (dua) cara yaitu,
proses rekrutmen atau seleksi hakim dan pendidikan yang diberikan kepada hakim.
Dengan cara ini paling tidak dapat membentuk hakim yang jujur dan baik.
Proses rekrutmen hakim menjadi hal yang
utama, dari proses rekrutmen inilah langkah awal untuk menentukan bahwa apakah
seseorang tersebut layak menjadi seorang hakim. Dengan proses rekrutmen yang
transparansi, akuntabilitas, dan melibatkan partisipasi masyarakat, tentu
membawa harapan baru bahwa hakim dapat terbentuk menjadi hakim yang
berkualitas, profesional, dan berintegritas.
Ketika sudah terbentuk hakim yang disebutkan
diatas yang menjadi tinjaun selanjutnya sejauh mana Kualitas, profesionalitas
dan integritas tersebut dapat bertahan, ini menjadi pertanyaan yang dilematis
untuk dibahas. Tentu tidak dapatlah dilepaskan dari berbagai macam faktor yang
melatarbelakanginya, mungkin karena kesejahteraan hakim yang tidak tercukupi,
suasana politik yang sangat kental sehingga dapat mempengaruhi, atau opini masyarakat
yang dipublikasikan yang dapat mengoncang hati nurani hakim, dan masih banyak
lagi faktor yang dapat membuat hakim tidak dapat mempertahankan Kualitas,
profesionalitas, dan integritasnya.
Usaha selanjutnya ialah menuju kepada
pemberian pendidikan kepada hakim. Dengan pendidikan hakim ini diharapkan hakim
dapat mengikuti perkembangan masyarakat di tengah-tengah masalah yang
dihadapinya. Pendidikan hakim tentu tidak dapat dilepaskan dari tubuh
pengadilan itu sendiri, dukungan, maupun motivasi untuk menuju perubahan kearah
yang lebih baik.
1. Tubuh
Pengadilan
Membahas sistem hukum apakah yang dipakai
dewasa ini terlalu sia-sia untuk dibahas. Indonesia yang nota bene nya, memakai
sistem eropa continental ( daratan eropa ) rasanya sudah tidak dapat dikatakan
murni lagi. Legalitas dan kodifikasi yang seakan-akan membatasi ruang gerak
hakim sudah mengalami pergeseran yang sangat luas, terlebih lagi sudah dapat dikatakan mengarah
kepada sistem Anglo saxon ( aglo america ) yang indentik dengan Judge Made Law.
Maka dari itu kembali kepada tubuh pengadilan itu sendiri, karena hakim
memegang kekuasaan yang mutlak dalam persidangan, yang dimana sistem hukum
apakah yang dipergunakan mengikuti suasana hati nurani dan kebenaran,
Pengadilan
mempunyai tubuh layaknya seperti tubuh manusia. Apabila salah satu dari organ
tubuh tersebut tidak berfungi tentu akan menganggu fungsi organ yang lainnya. Pengadilan yang
didalam tubuhnya terdiri dari Kehakiman dan Kepaniteraan harus dapat
bekerjasama dan menjaga indepedensinya masing-masing. Sudah selayaknya bahwa
budaya malu harus diselenggarakan, malu terhadap mempermainkan setiap perkara
yang ada, malu untuk tidak disiplin , malu untuk menyuap dan disuap, dan
sebagainya.
Didalam tubuh pengadilan dewasa ini, sudah
menjadi sorotan publik. Terlintas terdengar suara bisik-bisik yang mengatakan
bahwa hakim tersebut tidak independen lagi, ini didasarkan kepada fakta yang
dimana seharusnya berdasarkan kepada asas bahwa hakim tidak boleh menanyakan
kepada terdakwa seolah-olah ialah pelaku yang sudah bersalah, menjadi terdakwa
sudah pasti bersalah dan pantas untuk dihukum. Selanjutnya Panitera yang
tugasnya seharusnya mengikuti persidangan dan mencatat semua apa yang terjadi
didalam persidangan, duduk manis mengikuti persidangan dan diselingi rasa
kantuk yang berat. Juru sumpah yang seharusnya dipersiapkan, dapat memakai jasa
panitera untuk menyumpah saksi-saksi. Inilah salah satu preseden yang buruk
yang dipertontonkan kepada masyarakat, maka dari itu sudah selayaknyalah
tertanam stigma bahwa aura persidangan tersebut menjadi sudah tidak berwibawa
lagi.
2. Putusan
Hakim
Putusan
hakim menjadi sorotan publik dewasa ini, hakim seakan-akan sudah tahu siapa
yang bersalah dan pantas dihukum. Memang tidak dapat dipungkiri, kebenaran
tersebut kembali kepada hati nurani hakim. Akan tetapi tidaklah rasional hakim
memutuskan lebih mahal harganya dari pada perbuatan yang dilakukan oleh
terdakwa. Sebagai ilustrasi sederhana, terdapat suatu perkara yang seakan-akan
antara menentukan kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilannya pun sulit
diidentifikasi. Dari tingkat kepolisian, rasanya diskresi tersebut hanya berlaku
kepada kalangan menengah keatas, dari tingkat penuntutan, Jaksa yang mempunyai
hak diponering berat untuk menggunkan untuk kalangan menengah kebawah,
ditingkat pengadilan Hakim merasa malu untuk memutus bebas perkara yang kecil.
Putusan
yang dijatuhkan hakim, bukanlah seperti permainan bola kaki , tim mana yang
lebih kuat sudah dapat ditentukan dialah pemenangnya. Putusan hakim bukanlah
seperti memancing ikan, apabila pelampung ditarik kebawah tidak dapat
dipastikan ikan apa yang didapat, apakah kecil atau besar. Ini menjadi
Dilematis terhadap putusan hakim tersebut yang selalu dibenturkan kepada
kesejahteraan hakim, padahal Profesi hakim tersebut bukanlah profesi yang
sembarangan melainkan profesi yang mulia dan Pengabdianlah yang menjadi
acuannya.
Pembaruhan
kualitas putusan hakim sudah saatnya dimulai, dan memutuskan tali temali
kualitas putusan yang buruk tersebut. karena kunci dari suatu proses
persidangan ialah putusan hakim tersebut, yang apabila salah menerapkan akan
membawa malapetaka kepada rasa keadilan itu.
Efendi Simbolon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar