efendisimbolon.blogspot.com

Jumat, 17 Januari 2014



MAHKAMAH KONSTITUSI
Oleh: Zen Zanibar M.Z.

Pengantar
Hadirnya Mahkamah konstitusi di berbagai negara memiliki sejarah sendiri-sendiri. Artinya ada kebutuhan praktek yang memicu perlunya lembaga tersendiri untuk menanggulangi berbagai persoalan bernegara. Ide the Guardian of the Constitution muncul dalam kasus Marbury vs Madison (1803) yang amat terkenal di seluruh dunia dan perkembangan ide pengujian  sampai dengan berdirinya MK di negara-negara eks komunis Eropa Timur. Mekanisme judicial review kemudian diterima sebagai  cara negara hukum moderen mengontrol kecenderungan kekuasaan sewenang-wenang penguasa.
Bagaimana gagasan pengujian konsitusional berkembang, tentu saja beranjak dari praktek di Yunani Kuno.  Di era itu yang di psphisma (decree) tidak boleh bertentangan dengan nomoi (constitutional law). Akan celaka bagi legislator yang menerbitkan psphisma yang bertentangan dengan nomoi yaitu ancaman pidana  berupa tindakan publik (public right of action), sedangkan psphismanya sendiri menjadi tidak berlaku (void). Di Jerman gagasan  pengujian muncul di sekitar  paruh kedua abad ke 12 yang berawal dari sengketa kewenangan individu penguasa dan pelanggaran hak individu, hal yang sama juga muncul di Perancis pada abad ke 13, di Portugal baru diperkenalkan pada abad ke 17 yang dituangkan dalam Kitab Hukum Philip (Philip’s Code). Pada periode abad ke 18 di Perancis sejajar dengan situasi di sekitar Revolusi Perancis berkembang perhatian terhadap pengujian konstitusional karena pengaruh ide-ide kebebasan. Perancis adalah negara di daratan Eropa yang terus  memperdebatkan antara ide supermasi parlemen dengan supremasi konstitusi yang baru berakhir ketika pembentuk Konstitusi V tahun 1958. Di awal abad ke 19 perkembangan ide pengujian konstitusional lebih dipengaruhi oleh kasus Marbury vs Madison yang terjadi pada tahun 1803 yang disebut sebagai ‘the most briliant innovation’.  Diskusi kasus tersebut meluas di kalangan ahli hukum diberbagai negara yang kemudian diikuti munculnya pelembagaan pengujian, misalnya MA Austria pada tahun 1867 memperoleh kewenangan pengujian, yang berujung pada gagasan Hans Kelsen untuk membentuk MK di Austria. Kemudian diikuti Swiss pada tahun 1874 dengan memberi kewenangan pengujian kepada MA. Di Norwegia terjadi pada tahun 1890, sedangkan di Rumania  terjadi menjelang PD I.[3] Indonesia sendiri mengkuti jejak berbagai negara, termasuk Thailand (1998 meskipun pengujian UU sudah dimulai sejak 1949), baru membentuk Mahkamah Konstitusi pada perubahan III pada tahun 2002. 

Mahkamah Konstitusi RI

Pasal 24C ayat (1) mengatakan Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Kemudian ayat  (2) mengatakan “Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.”
Dari ketentuan di atas ada perbedaan yang jelas antara kekuasaan mengadili yang diselenggarakan MK dengan MA. MA memiliki perangkat institusi di tingkat provinsi untuk peradilan banding dan tingkat kabupaten untuk peradilan tingkat pertama, sedangkan MK hanya ada satu lembaga, satu tempat domisili di ibukota negara dan satu kantor.  
Kewenangan MK tersebut kemudian dijabarkan dalam UU No.23 Tahun 2003. Pasal 10 mengatakan MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
§  Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
§  Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
§  Memutus pembubaran partai politik; dan
§  Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
§  Wajib memberikan putusan atas pendapat DPR jika Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah  melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
  Khusus yang terakhir, pelanggaran hukum yang didakwakan DPR berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela ialah: a. pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam undang-undang.  b. korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana diatur dalam undang-undang. c. tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. d. perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sementara yang dimaksud tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 UUD 1945.
Dalam rangka melaksanakan wewenang tersebut MK berwenang memanggil pejabat negara, pejabat pemerintah, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan (Pasal 11). Sebagai lembaga negara penyelenggara kekuasaan kehakiman selain MA, MK bertanggung jawab mengatur organisasi, personalia, administrasi,  dan  keuangan sesuai dengan prinsip pemerintahan yang baik dan bersih (Pasal 12).
Bentuk tanggungjawab dimaksud dilakukan melalui kewajiban mengumumkan  laporan berkala kepada masyarakat  secara terbuka mengenai:     a. permohonan yang terdaftar, diperiksa, dan diputus; b. pengelolaan keuangan dan tugas administrasi lainnya.
Laporan berkala tersebut dimuat dalam  berita berkala (Laporan Tahunan) yang diterbitkan oleh Mahkamah Konstitusi (Pasal 13). Wujud lain dari tanggung jawab adalah adanya akses bagi masyarakat untuk mendapatkan putusan MK (Pasal 14).

Fungsi MK yang sudah dilaksanakan

q  Pengujian undang-undang terhadap UUD 1945;
Sejak MK berdiri sudah 69 permohonan pengujian UU terhadap 41 UU. Di antara UU yang diuji ialah, UU Ketenagakerjaan, UU Penyiaran, UU Migas, UU SDA, UU Ketengalistrikan, UU Advokat, UU Jabatan Notaris, UU Sistem Jaminan Sosial Nasional, UU Susduk, UU Kadin, UU APBN dan lain-lain.
Alasan pengujian UU yang hendak diajukan karena menurut pihak pemohon menganggap  hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang. Pihak yang dapat menjadi pemohon adalah:
§  perorangan warga negara Indonesia;
§  kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai  dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
§  badan hukum  publik atau privat; atau 
§  lembaga negara.

Dalam memeriksa permohonan pengujian UU MK dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat berkenaan dengan permohonan kepada MPR, DPR, DPD dan/atau Presiden. Dalam praktek peradilan MK telah pernah meminta keterangan DPR, DPD dan Presiden. Baik DPR, DPD maupun Presiden dalam kehadirannya menunjuk kuasa. Kuasa hukum DPR acapkali diwakili oleh anggota DPR yang duduk dalam komisi yang membidangi hukum atau anggota yang pernah duduk dalam Pansus RUU yang bersangkutan.
Kuasa Hukum Presiden seringkali diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM serta menteri terkait. Seringkali pula kuasa hukum Presiden didampingi pejabat dalam lingkungan Setneg yang memang membidangi perundang-undangan.
Jika permohonan pengujian suatu UU dikategorikan tidak memenuhi syarat, maka MK dalam amar putusannya menyatakan permohonan tidak dapat diterima.  Terhadap permohonan yang beralasan, maka MK akan menyatakan permohonan dikabulkan. Dalam hal permohonan dikabulkan maka dalam amar putusannya dinyatakan  materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagi dari UU yang brtentangan dengan UUD 1945. Jika pembentukan UU tidak memenuhi ketentuan prosedur pembentukan UU berdasarkan UUD 1945, maka amar putusan MK menyatakan permohonan dikabulkan. Sebaliknya apabila UU yang dimohonkan pengujian ternyata tidak bertentangan dengan UUD 1945, baik mengenai pembentukan (formal) maupun materinya sebagaian atau keseluruhan, maka amar putusannya menyatakan permohonan ditolak.

q  Sengketa Kewenangan Lembaga Negara
Sengketa kewenangan yang pertama diperiksa oleh MK adalah sengketa kewenangan yang diajukan oleh DPD yang berkaitan dengan pengangkatan anggota BPK oleh Presiden. DPD berpendapat usul pengangkatan anggota BPK 2004-2009 harus melibatkan DPD sebagaiman dimaksud Pasal 23F UUD 1945.
Sengketa kedua diajukan oleh Gubernur Lampung sehubungan dengan Keputusan DPRD Provinsi lampung untuk tidak lagi berkerjasama dengan Gubernur Lampung. Sayangnya permohonan ini mati sebelum bertunas karena kemudian dicabut sebelum diperiksa. Perkara ini sebenarnya sangat menarik jika saja diproses MK, karena akan menjadi contoh kasus sengketa kewenangan yang diharapkan menumbuhkan penyelesaian sengketa ketatanegaraan yang relatif muda pasca amandemen. Perdebatan yang akan muncul, misalnya,  apakah Gubernur dan DPRD dapat dikategorikan sebagai lembaga negara? Perdebatan itu akan menjadi panggung solusi yuridis atas konflik politik tingkat lokal yang dewasa ini terjadi di banyak daerah.
Kasus ketiga diajukan oleh Badrul Kamal dan Pasanganya dalam Pilkada Depok tahun 2005. Pokok persoalan adalah soal pengajuan PK oleh KPUD atas Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat, yang memutus sengketa hasil Pilkada Depok. Dalam persidangan muncul perdebatan menyangkut legal standing pemohon. Apakah pasangan calon walikota yang diputuskan terpilih menurut putusan pengadilan tinggi memiliki legal standing dalam perkara sengketa kewenangan atau berhak sebagai pihak yang bermohon dengan pokok persoalan apakah KPUD tidak berwenang sebagai Pemohon Kasasi.
Kasus keempat diajukan oleh Saleh Manaf dan pasangannya atau Bupati dan wakil Bupati Bekasi yang diberhentikan oleh Mendagri a.n. Presiden berdasarkan putusan MA. Proses pemeriksaan perkara ini sedang berlangsung. Tentu perdebatan akan berkisar pada, misalnya: legal standing yang dikaitkan kepada jubah jabatan yang sudah dilepas karena telah diberhentikan, apakah termohon betul memiliki wewenang memberhentikan, dan lain-lain yang akan berkembang dalam pemeriksaan.   
Sesungguhkan sanagat besar harapan perkara sengketa kewenangan lembaga negara akan menjadi pangggung yuridis bagi semua persoalan politik yang melibatkan lembaga-lembaga negara baik yang ada di tingkat nassional maupun lokal. Dalam tradisi negara sistem presidensial murni mestilah konflik politik  tidak boleh diabiarkan  
q  Memutus Pembubaran Parpol
Membubarkan Parpol tidak boleh lagi semena-mena seperti era tahun 1960-an s.d. 1998. Berpartai bagi warganegara adalah hak asasi yang tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun.  Aadalah keawajiban konstitusional pemerintah memberi ruang hidup bagi Parpol. Bahkan sedapat mungkin memberi pupuk bagi Parpol yang telah mendapat tempat di hati warga negara, oleh karena Parpol dalam kajian ilmu politik adalah organisasi yang sangat berperan untuk menumbuhkan paartisipasi warganegara dalam ikut menyelenggarakan negara secara benar. Karena itu kalau pemerintah memiliki kemauan membubarkan Parpol hanya dimungkinkan bila pemerintah menempuh jalur peradilan melalui pengajuan permohonan kepada MK.
Untuk mengajukan permohonan haruslah jelas alasannya. Yang terpenting adalah pemerintah menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan partai politik yang bersangkutan, yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan tidak memenuhi syarat  tentulah permohonan pemerintah itu tidak dapat diterima. Sebaliknya jika permohonan pemerintah beralasan, maka MK akan mengabulkan permohonan, jika sebaliknya, maka permohonan ditolak.
Dengan demikian hanya satu cara yuridis untuk membubarkan Parpol. Memang sebuah Parpol dapat saja membubarkan diri karena alasan interen Parpol. Parpol juga dapat membubarkan diri jika dalam Pemilu tidak memenuhi threshold atau tidak berhasil memperoleh dukungan minimal yang disyaratkan. Namun dalam negara demokrasi konstitusional atau negara hukum yang demokratis pembubaran Parpol hanya mungkin dilakukan secara fair.[4]

q  Sengketa Hasil Pemilu


Pemilu legislatif memilih anggota DPR, DPRD dan DPD serta Pe,milu Capres dan Cawapres pada tahun 2004 lalu membuktikan bahwa penyelenggaraan Pemilu perlu dikawal oleh lembaga peradilan yang bekerja tanggap, cepat, dan mampu menciptakan proses peradilan sebagai solusi final bagi penyelenggaraan Pemilu yang demokratis. Dalam Pemilu 2004 tercatat 23 perkara yang diajukan Parpol peserta Pemilu yang mencakup 274 kasus, 21 perkara Pemilu anggota DPD dan 1 perkara   Pilpres.
Perselisihan hasil Pemilu adalah keberatan pemohon terhadap penetapan hasil Pemilu oleh KPU.  Keberatan dimaksud karena jika pemohon memiliki alasan bahwa penghitungan hasil perolehan suara yang ditetapkan oleh KPU berbeda dengan penghitungan hasil perolehan suara menurut pemohon.
Dalam Perkara perselisihan penghitungan hasil Pemilu UU No. 23 tahun 2004 menysyratkan:
Pertama, pemohon adalah:  1. perorangan warga negara Indonesia calon anggota DPD peserta pemilihan umum; 2. pasangan Capres dan Cawapres peserta pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden; dan c. Parpol peserta Pemilu.
Kedua, permohonan hanya dapat diajukan terhadap penetapan hasil Pemilu yang dilakukan secara nasional oleh KPU yang mempengaruhi: a.terpilihnya calon anggota DPD; b. penentuan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta terpilihnya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden; c. perolehan kursi Parpol peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan.
Ketiga, permohonan hanya dapat diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3 X 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak KPU mengumumkan penetapan hasil Pemilu secara nasional. 
Syarat penting dari permohonan adalah uraian yang jelas tentang:
Pertama, kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan hasil penghitungan yang benar menurut pemohon.
Kedua, permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon.
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai permohonan atas perselisihan hasil Pilpres wajib diputus dalam jangka waktu: paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan diregister dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi; paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan atas hasil Pemilu legislatif diregister dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
Bagaimana isi putusan MK dalam perkara hasil Pemilu. UU MK mengatakan:  dalam hal MK berpendapat bahwa pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat, maka amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima, sebaliknya dalam hal MK berpendapat bahwa permohonan beralasan, maka amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan.
Dalam hal permohonan dikabulkan MK menyatakan membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar. Jika permohonan ternyata menurut MK tidak beralasan, maka amar putusan menyatakan permohonan ditolak.
Beberapa contoh putusan perkara hasil Pemilu 2004:

q   Wajib memutus pendapat DPR  Mengenai Dugaan Pelanggaran
oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden

Dua kasus penurunan Presiden dari jabatan pernah dilakukan MPRS (Presiden Sukarno pada Sidang Istimewa MPRS tahun 1967) dan MPR (Presiden Abdurrahman Wahid pada tahun 2000).  Perubahan konstitusi diikuti dengan pergeseran dari sistem pemerintahan semi presidensial ke presidensial murni tidak memungkinkan lagi MPR memberhentikan Presiden seperti sebelumnya. Era MPR sebagai superbody sudah berakhir.
Dalam sistem presidensial murni perkara impeachment yang mengajukan permohonan adalah DPR. DPR selaku pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya mengenai dugaan: a. Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau b. Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam permohonan pemohon/DPR wajib menyertakan keputusan DPR dan proses pengambilan keputusan  mengenai  pendapat  DPR  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7B ayat (3) UUD 1945, risalah dan/atau berita acara rapat DPR, disertai bukti mengenai dugaan. MK menyampaikan permohonan yang sudah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi kepada Presiden dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
Dalam hal Presiden dan/atau Wakil Presiden mengundurkan diri pada saat proses pemeriksaan di Mahkamah Konstitusi, proses pemeriksaan tersebut dihentikan dan permohonan dinyatakan gugur oleh Mahkamah Konstitusi. Apabila MK berpendapat bahwa permohonan tidak memenuhi syarat, amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima.
Jika MK memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, amar putusan menyatakan membenarkan pendapat DPR. Apabila MK memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau tidak terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, amar putusan menyatakan permohonan ditolak.
Putusan MK mengenai permohonan atas pendapat DPR tersebut, wajib diputus dalam jangka waktu paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pendapat DPR wajib disampaikan kepada DPR dan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Sejak MK berdiri kasus impeachment belum pernah terjadi. Seperti terjadi di Ameerika, kasus impeachment tidak pernah berhasil. 



[1] Disampaikan dalam Karya Latihan Hukum (KALABAHU) 2006 LBH Jakarta, 20 April 2006
[2] Staf Ahli MKRI/Sekretaris Ketua MKRI, Dosen FH dan Pasca Unsri, Univ. Pancasila, Unib Bengkulu,  dan beberapa universitas swasta di Jakarta
[3] Jimly Asshiddiqie, Model-model Pengujian Konstitutional di Berbagai Negara, Cet.I, Konpress, Jakarta, 2005
[4] Baca juga Jimly Asshiddiqie, Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah Konstitusi, Cet.I, Konpress, Jakarta, 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar