Oleh: Zen
Zanibar M.Z.
Pengantar
Hadirnya Mahkamah konstitusi di berbagai negara memiliki
sejarah sendiri-sendiri. Artinya ada kebutuhan praktek yang memicu perlunya
lembaga tersendiri untuk menanggulangi berbagai persoalan bernegara. Ide
the Guardian of the Constitution
muncul dalam kasus Marbury vs Madison (1803) yang amat terkenal di seluruh
dunia dan perkembangan ide pengujian
sampai dengan berdirinya MK di negara-negara eks komunis Eropa Timur.
Mekanisme judicial review kemudian
diterima sebagai cara negara hukum
moderen mengontrol kecenderungan kekuasaan sewenang-wenang penguasa.
Bagaimana
gagasan pengujian konsitusional berkembang, tentu saja beranjak dari praktek di
Yunani Kuno. Di era itu yang di psphisma
(decree) tidak boleh bertentangan
dengan nomoi (constitutional law).
Akan celaka bagi legislator yang menerbitkan psphisma yang bertentangan dengan
nomoi yaitu ancaman pidana berupa
tindakan publik (public right of action),
sedangkan psphismanya sendiri menjadi tidak berlaku (void). Di Jerman
gagasan pengujian muncul di sekitar paruh kedua abad ke 12 yang berawal dari
sengketa kewenangan individu penguasa dan pelanggaran hak individu, hal yang
sama juga muncul di Perancis pada abad ke 13, di Portugal baru diperkenalkan
pada abad ke 17 yang dituangkan dalam Kitab Hukum Philip (Philip’s Code). Pada
periode abad ke 18 di Perancis sejajar dengan situasi di sekitar Revolusi
Perancis berkembang perhatian terhadap pengujian konstitusional karena pengaruh
ide-ide kebebasan. Perancis adalah negara di daratan Eropa yang terus memperdebatkan antara ide supermasi parlemen
dengan supremasi konstitusi yang baru berakhir ketika pembentuk Konstitusi V
tahun 1958. Di awal abad ke 19 perkembangan ide pengujian konstitusional lebih
dipengaruhi oleh kasus Marbury vs Madison yang terjadi pada tahun 1803 yang
disebut sebagai ‘the most briliant
innovation’. Diskusi kasus tersebut
meluas di kalangan ahli hukum diberbagai negara yang kemudian diikuti munculnya
pelembagaan pengujian, misalnya MA Austria pada tahun 1867 memperoleh
kewenangan pengujian, yang berujung pada gagasan Hans Kelsen untuk membentuk MK
di Austria. Kemudian diikuti Swiss pada tahun 1874 dengan memberi kewenangan
pengujian kepada MA. Di Norwegia terjadi pada tahun 1890, sedangkan di
Rumania terjadi menjelang PD I.[3]
Indonesia sendiri mengkuti jejak berbagai negara, termasuk Thailand (1998
meskipun pengujian UU sudah dimulai sejak 1949), baru membentuk Mahkamah
Konstitusi pada perubahan III pada tahun 2002.
Mahkamah Konstitusi RI
Pasal 24C ayat (1) mengatakan Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai
politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Kemudian
ayat (2) mengatakan “Mahkamah Konstitusi
wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan
pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.”
Dari ketentuan di atas ada perbedaan yang jelas antara
kekuasaan mengadili yang diselenggarakan MK dengan MA. MA memiliki perangkat
institusi di tingkat provinsi untuk peradilan banding dan tingkat kabupaten
untuk peradilan tingkat pertama, sedangkan MK hanya ada satu lembaga, satu
tempat domisili di ibukota negara dan satu kantor.
Kewenangan MK tersebut kemudian dijabarkan dalam UU No.23 Tahun 2003. Pasal 10
mengatakan MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk:
§ Menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
§ Memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
§ Memutus
pembubaran partai politik; dan
§ Memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
§ Wajib
memberikan putusan atas pendapat DPR jika Presiden dan/atau Wakil Presiden
diduga telah melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Khusus yang terakhir, pelanggaran hukum yang
didakwakan DPR berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela ialah: a. pengkhianatan terhadap
negara adalah tindak pidana terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam
undang-undang. b. korupsi dan penyuapan
adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana diatur dalam
undang-undang. c. tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. d. perbuatan tercela adalah
perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Sementara yang dimaksud tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden adalah syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 UUD 1945.
Dalam
rangka melaksanakan wewenang tersebut MK berwenang memanggil pejabat negara,
pejabat pemerintah, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan (Pasal
11). Sebagai lembaga negara penyelenggara kekuasaan kehakiman selain MA, MK
bertanggung jawab mengatur organisasi, personalia, administrasi, dan
keuangan sesuai dengan prinsip pemerintahan yang baik dan bersih (Pasal
12).
Bentuk
tanggungjawab dimaksud dilakukan melalui kewajiban mengumumkan laporan berkala kepada masyarakat secara terbuka mengenai: a. permohonan yang terdaftar, diperiksa,
dan diputus; b. pengelolaan keuangan dan tugas administrasi lainnya.
Laporan
berkala tersebut dimuat dalam berita
berkala (Laporan Tahunan) yang diterbitkan oleh Mahkamah Konstitusi (Pasal 13).
Wujud lain dari tanggung jawab adalah adanya akses bagi masyarakat untuk
mendapatkan putusan MK (Pasal 14).
Fungsi
MK yang sudah dilaksanakan
q Pengujian
undang-undang terhadap UUD 1945;
Sejak
MK berdiri sudah 69 permohonan pengujian UU terhadap 41 UU. Di antara UU yang
diuji ialah, UU Ketenagakerjaan, UU Penyiaran, UU Migas, UU SDA, UU
Ketengalistrikan, UU Advokat, UU Jabatan Notaris, UU Sistem Jaminan Sosial
Nasional, UU Susduk, UU Kadin, UU APBN dan lain-lain.
Alasan
pengujian UU yang hendak diajukan karena menurut pihak pemohon menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya undang-undang. Pihak yang dapat menjadi pemohon
adalah:
§ perorangan
warga negara Indonesia;
§ kesatuan
masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
§ badan
hukum publik atau privat; atau
§ lembaga
negara.
Dalam
memeriksa permohonan pengujian UU MK dapat meminta keterangan dan/atau risalah
rapat berkenaan dengan permohonan kepada MPR, DPR, DPD dan/atau Presiden. Dalam
praktek peradilan MK telah pernah meminta keterangan DPR, DPD dan Presiden.
Baik DPR, DPD maupun Presiden dalam kehadirannya menunjuk kuasa. Kuasa hukum
DPR acapkali diwakili oleh anggota DPR yang duduk dalam komisi yang membidangi
hukum atau anggota yang pernah duduk dalam Pansus RUU yang bersangkutan.
Kuasa
Hukum Presiden seringkali diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM serta menteri
terkait. Seringkali pula kuasa hukum Presiden didampingi pejabat dalam
lingkungan Setneg yang memang membidangi perundang-undangan.
Jika
permohonan pengujian suatu UU dikategorikan tidak memenuhi syarat, maka MK
dalam amar putusannya menyatakan permohonan tidak dapat diterima. Terhadap permohonan yang beralasan, maka MK
akan menyatakan permohonan dikabulkan. Dalam hal permohonan dikabulkan maka
dalam amar putusannya dinyatakan materi
muatan ayat, pasal, dan/atau bagi dari UU yang brtentangan dengan UUD 1945.
Jika pembentukan UU tidak memenuhi ketentuan prosedur pembentukan UU
berdasarkan UUD 1945, maka amar putusan MK menyatakan permohonan dikabulkan.
Sebaliknya apabila UU yang dimohonkan pengujian ternyata tidak bertentangan
dengan UUD 1945, baik mengenai pembentukan (formal) maupun materinya sebagaian
atau keseluruhan, maka amar putusannya menyatakan permohonan ditolak.
q Sengketa
Kewenangan Lembaga Negara
Sengketa
kewenangan yang pertama diperiksa oleh MK adalah sengketa kewenangan yang
diajukan oleh DPD yang berkaitan dengan pengangkatan anggota BPK oleh Presiden.
DPD berpendapat usul pengangkatan anggota BPK 2004-2009 harus melibatkan DPD
sebagaiman dimaksud Pasal 23F UUD 1945.
Sengketa
kedua diajukan oleh Gubernur Lampung sehubungan dengan Keputusan DPRD Provinsi
lampung untuk tidak lagi berkerjasama dengan Gubernur Lampung. Sayangnya
permohonan ini mati sebelum bertunas karena kemudian dicabut sebelum diperiksa.
Perkara ini sebenarnya sangat menarik jika saja diproses MK, karena akan
menjadi contoh kasus sengketa kewenangan yang diharapkan menumbuhkan
penyelesaian sengketa ketatanegaraan yang relatif muda pasca amandemen.
Perdebatan yang akan muncul, misalnya,
apakah Gubernur dan DPRD dapat dikategorikan sebagai lembaga negara?
Perdebatan itu akan menjadi panggung solusi yuridis atas konflik politik
tingkat lokal yang dewasa ini terjadi di banyak daerah.
Kasus
ketiga diajukan oleh Badrul Kamal dan Pasanganya dalam Pilkada Depok tahun
2005. Pokok persoalan adalah soal pengajuan PK oleh KPUD atas Putusan
Pengadilan Tinggi Jawa Barat, yang memutus sengketa hasil Pilkada Depok. Dalam
persidangan muncul perdebatan menyangkut legal standing pemohon. Apakah
pasangan calon walikota yang diputuskan terpilih menurut putusan pengadilan
tinggi memiliki legal standing dalam perkara sengketa kewenangan atau berhak
sebagai pihak yang bermohon dengan pokok persoalan apakah KPUD tidak berwenang
sebagai Pemohon Kasasi.
Kasus keempat diajukan oleh Saleh
Manaf dan pasangannya atau Bupati dan wakil Bupati Bekasi yang diberhentikan
oleh Mendagri a.n. Presiden berdasarkan putusan MA. Proses pemeriksaan perkara
ini sedang berlangsung. Tentu perdebatan akan berkisar pada, misalnya: legal
standing yang dikaitkan kepada jubah jabatan yang sudah dilepas karena telah
diberhentikan, apakah termohon betul memiliki wewenang memberhentikan, dan
lain-lain yang akan berkembang dalam pemeriksaan.
Sesungguhkan sanagat besar harapan
perkara sengketa kewenangan lembaga negara akan menjadi pangggung yuridis bagi
semua persoalan politik yang melibatkan lembaga-lembaga negara baik yang ada di
tingkat nassional maupun lokal. Dalam tradisi negara sistem presidensial murni
mestilah konflik politik tidak boleh
diabiarkan
q Memutus
Pembubaran Parpol
Membubarkan
Parpol tidak boleh lagi semena-mena seperti era tahun 1960-an s.d. 1998. Berpartai
bagi warganegara adalah hak asasi yang tidak boleh diganggu gugat oleh
siapapun. Aadalah keawajiban
konstitusional pemerintah memberi ruang hidup bagi Parpol. Bahkan sedapat
mungkin memberi pupuk bagi Parpol yang telah mendapat tempat di hati warga negara,
oleh karena Parpol dalam kajian ilmu politik adalah organisasi yang sangat
berperan untuk menumbuhkan paartisipasi warganegara dalam ikut menyelenggarakan
negara secara benar. Karena itu kalau pemerintah memiliki kemauan membubarkan
Parpol hanya dimungkinkan bila pemerintah menempuh jalur peradilan melalui
pengajuan permohonan kepada MK.
Untuk
mengajukan permohonan haruslah jelas alasannya. Yang terpenting adalah
pemerintah menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang ideologi, asas,
tujuan, program, dan kegiatan partai politik yang bersangkutan, yang dianggap
bertentangan dengan UUD 1945. Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa
permohonan tidak memenuhi syarat
tentulah permohonan pemerintah itu tidak dapat diterima. Sebaliknya jika
permohonan pemerintah beralasan, maka MK akan mengabulkan permohonan, jika
sebaliknya, maka permohonan ditolak.
Dengan
demikian hanya satu cara yuridis untuk membubarkan Parpol. Memang sebuah Parpol
dapat saja membubarkan diri karena alasan interen Parpol. Parpol juga dapat
membubarkan diri jika dalam Pemilu tidak memenuhi threshold atau tidak berhasil
memperoleh dukungan minimal yang disyaratkan. Namun dalam negara demokrasi
konstitusional atau negara hukum yang demokratis pembubaran Parpol hanya
mungkin dilakukan secara fair.[4]
q Sengketa
Hasil Pemilu
Pemilu
legislatif memilih anggota DPR, DPRD dan DPD serta Pe,milu Capres dan Cawapres
pada tahun 2004 lalu membuktikan bahwa penyelenggaraan Pemilu perlu dikawal
oleh lembaga peradilan yang bekerja tanggap, cepat, dan mampu menciptakan
proses peradilan sebagai solusi final bagi penyelenggaraan Pemilu yang
demokratis. Dalam Pemilu 2004 tercatat 23 perkara yang diajukan Parpol peserta
Pemilu yang mencakup 274 kasus, 21 perkara Pemilu anggota DPD dan 1 perkara Pilpres.
Perselisihan
hasil Pemilu adalah keberatan pemohon terhadap penetapan hasil Pemilu oleh
KPU. Keberatan dimaksud karena jika
pemohon memiliki alasan bahwa penghitungan hasil perolehan suara yang
ditetapkan oleh KPU berbeda dengan penghitungan hasil perolehan suara menurut
pemohon.
Dalam
Perkara perselisihan penghitungan hasil Pemilu UU No. 23 tahun 2004
menysyratkan:
Pertama,
pemohon adalah: 1. perorangan warga
negara Indonesia calon anggota DPD peserta pemilihan umum; 2. pasangan Capres
dan Cawapres peserta pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden; dan c. Parpol
peserta Pemilu.
Kedua,
permohonan hanya dapat diajukan terhadap penetapan hasil Pemilu yang dilakukan
secara nasional oleh KPU yang mempengaruhi: a.terpilihnya calon anggota DPD; b.
penentuan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden serta terpilihnya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden; c.
perolehan kursi Parpol peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan.
Ketiga,
permohonan hanya dapat diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3 X 24 (tiga
kali dua puluh empat) jam sejak KPU mengumumkan penetapan hasil Pemilu secara
nasional.
Syarat
penting dari permohonan adalah uraian yang jelas tentang:
Pertama,
kesalahan hasil penghitungan suara yang
diumumkan oleh KPU dan hasil
penghitungan yang benar menurut pemohon.
Kedua,
permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU
dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon.
Putusan
Mahkamah Konstitusi mengenai permohonan atas perselisihan hasil Pilpres wajib
diputus dalam jangka waktu: paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak
permohonan diregister dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi; paling lambat
30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan atas hasil Pemilu legislatif
diregister dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
Bagaimana
isi putusan MK dalam perkara hasil Pemilu. UU MK mengatakan: dalam hal MK berpendapat bahwa pemohon
dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat, maka amar putusan menyatakan
permohonan tidak dapat diterima, sebaliknya dalam hal MK berpendapat bahwa
permohonan beralasan, maka amar
putusan menyatakan permohonan dikabulkan.
Dalam
hal permohonan dikabulkan MK menyatakan membatalkan hasil penghitungan suara
yang diumumkan oleh KPU dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar.
Jika permohonan ternyata menurut MK tidak beralasan, maka amar putusan
menyatakan permohonan ditolak.
Beberapa
contoh putusan perkara hasil Pemilu 2004:
q
Wajib
memutus pendapat DPR Mengenai Dugaan
Pelanggaran
oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden
Dua
kasus penurunan Presiden dari jabatan pernah dilakukan MPRS (Presiden Sukarno
pada Sidang Istimewa MPRS tahun 1967) dan MPR (Presiden Abdurrahman Wahid pada
tahun 2000). Perubahan konstitusi diikuti
dengan pergeseran dari sistem pemerintahan semi presidensial ke presidensial
murni tidak memungkinkan lagi MPR memberhentikan Presiden seperti sebelumnya.
Era MPR sebagai superbody sudah berakhir.
Dalam
sistem presidensial murni perkara impeachment yang mengajukan permohonan adalah
DPR. DPR selaku pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya
mengenai dugaan: a. Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau b. Presiden dan/atau
Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam
permohonan pemohon/DPR wajib menyertakan keputusan DPR dan proses pengambilan
keputusan mengenai pendapat
DPR sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7B ayat (3) UUD 1945, risalah dan/atau berita acara rapat DPR, disertai
bukti mengenai dugaan. MK menyampaikan permohonan yang sudah dicatat dalam Buku
Registrasi Perkara Konstitusi kepada Presiden dalam jangka waktu paling lambat
7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara
Konstitusi.
Dalam
hal Presiden dan/atau Wakil Presiden mengundurkan diri pada saat proses
pemeriksaan di Mahkamah Konstitusi, proses pemeriksaan tersebut dihentikan dan
permohonan dinyatakan gugur oleh Mahkamah Konstitusi. Apabila MK berpendapat
bahwa permohonan tidak memenuhi syarat, amar putusan menyatakan permohonan
tidak dapat diterima.
Jika
MK memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden, amar putusan menyatakan membenarkan pendapat DPR.
Apabila MK memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak terbukti
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau tidak
terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, amar putusan menyatakan permohonan
ditolak.
Putusan
MK mengenai permohonan atas pendapat DPR tersebut, wajib diputus dalam jangka
waktu paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak permohonan dicatat dalam
Buku Registrasi Perkara Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pendapat
DPR wajib disampaikan kepada DPR dan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Sejak
MK berdiri kasus impeachment belum pernah terjadi. Seperti terjadi di Ameerika,
kasus impeachment tidak pernah berhasil.
[2]
Staf Ahli
MKRI/Sekretaris Ketua MKRI, Dosen FH dan Pasca Unsri, Univ. Pancasila, Unib
Bengkulu, dan beberapa universitas
swasta di Jakarta
[3]
Jimly
Asshiddiqie, Model-model Pengujian
Konstitutional di Berbagai Negara, Cet.I, Konpress, Jakarta, 2005
[4]
Baca juga Jimly
Asshiddiqie, Pembubaran Partai Politik
dan Mahkamah Konstitusi, Cet.I, Konpress, Jakarta, 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar